PERJALANAN hidup selama 82 tahun pria kelahiran Desa Nyandang di pedalaman Kalimantan yang penuh warna itu akhirnya berujung purna di sebuah kamar tidur di Rumah Provinsialat Kapusin Pontianak, Jl Adi Sucipto, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Tidur siangnya pada hari pertama di bulan Februari 2017 menjadi akhir denyut nadi dan tarikan nafasnya.
Sore berhujan di hari Rabu itu cukup menggemparkan. Rumah Provinsialat Kapusin yang menyatu dengan kompleks Rumah Retret Santo Fransiskus Tirta Ria sedang penuh dengan aneka kegiatan. Ada agenda Temu Pastoral (Tepas) se-Keuskupan Agung Pontianak, juga ada kelompok lain menggelar retret.
Baca juga:
- RIP Pastor Matthius Sanding OFM Cap, Pastor Kapusin Pribumi Pertama
- In Memoriam RP Matheus Sanding OFMCap, Pastor Kapusin Dayak Pertama (1)
“Kakek Sanding masih sempat ikut Tepas hari pertama dan kedua. Tidak seperti biasanya, kakek kelihatan lemah, sedikit bicara. Biasanya dia senang bercanda,” kata Pater Leonard Nojo OFMCap–akrab disapa Pater Leo– kepada saya yang bergabung bersama ratusan pelayat Rabu malam itu.
Dalam peti berhias bunga-bungaan itu, Sang Kakek terbujur kaku dengan jubah cokelat dan cap yang dipasang pada kepalanya, serta stola berwarna kuning gading diselempangkan ke lehernya.
Tepas dimulai 31 Januari. Hampir seluruh pastor dari 26 paroki di Keuskupan Agung Pontianak, juga tarekat-tarekat lain bertemu dalam forum itu. Hampir seratusan orang.
Mengikuti forum Tepas Keuskupan Agung Pontianak
Kakek Sanding, meski sudah “pensiun” dan sedang menjalani hari senjanya di Provinsialat Kapusin, rupanya mengikuti pertemuan itu. Jika biasanya hari-hari disibukkan dengan mengurus kebun atau membuat aksesoris rohani, dalam pertemuan itu dia duduk di sebuah kursi, mendengarkan paparan, sambil mencatat di buku agendanya. Kelihatan agak lesu, mengantuk.
“Kakek persis duduk di depan saya. Sesekali saya panggil, tapi tidak menjawab. Letih sepertinya,” kenang P. Andreas Deri OFMCap, seorang imam muda yang baru kembali dari studi di Filipina.
Hari pertama Tepas, Kakek bisa menuntaskan pertemuan. Sore harinya, dia terlihat memberi pakan bagi ikan-ikan lele di kolam. Pater Leo turut menemani.
“Kamu mau ikan lele? Ambillah, bawa ke GB,” ucap Kakek Sanding sebagaimana diingat Pater Leo.
GB maksudnya Gembala Baik, nama Biara Kapusin yang berada di dekat Pelabuhan Senghie, Kota Pontianak. Di biara ini, Pater Leo tinggal bersama beberapa imam sepuh lain, termasuk Uskup Agung Pontianak Emeritus, Mgr. Hieronimus Bumbun OFMCap.
“Saya bilang, terima kasih kakek. Kebetulan di sana, kami juga pelihara ikan lele,” tutur Pater Leo.
Nah, di hari kedua Tepas, kakek ‘menghilang’ dari ruang pertemuan sekitar pukul 09.00. Sampai jam makan siang, pria kelahiran 23 Desember 1935 di Nyandang, Rantau Parapat, Kabupaten Sanggau ini tak kunjung muncul.
“Kami peserta Tepas mengira, Kakek makan siang di Provinsialat. Mungkin mereka yang di Provinsialat juga mengira, Kakek makan siang bersama kami di rumah retret,” tutur Pater Leo.
Meninggal dunia di kamarnya
Tiba saat minum kopi sore, sekira pukul 15.00, Kakek tak kunjung muncul. Pria yang di masa tuanya selalu kelihatan enerjik itu tidak pernah lupa selalu ikut minum kopi pada jam-jam itu. Orang-orang bertanya-tanya, kemana gerangan Sang Kakek?
Jarum jam terus bergerak menuju pukul 16.00. Minister Provinsi Kapusin Pontianak Pater Amandus Ambot OFMCap meminta seseorang mencari Kakek, termasuk mengecek ke kamar tidurnya. Dan… rupa-rupanya, hari pertama bulan Februari itu sekaligus hari terakhir pengembaraan Kakek Sanding di dunia fana.
Dia ditemukan telah terbujur kaku, dengan tangan terkatup di dada, membentuk sikap doa. Pater Leo yang turut menyaksikan jasad Kakek di kamar tidur menduga, kemungkinan Kakek meninggal dunia ketika sedang berdoa. Dia tidak berbaring. Kakek duduk menyandar di ranjangnya, dengan sebuah bantal dijadikan ganjal di punggung.
Kabar itu segera menyebar, terutama di kompleks rumah retret. Di ruang Tepas, Pastor Pius Barces CP, Sekretaris Uskup Agung Pontianak, mengumumkan kabar duka itu. Peserta Tepas tekejut. Sebab beberapa jam sebelumnya, Kakek masih bersama mereka.
Br Kris Tampajara MTB, Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Pontianak, yang juga mengikuti Tepas ketika itu sedang melakukan presentasi.
“Saya sedang presentasi di forum Tepas, ketika tiba-tiba ada pengumuman, Kakek telah berpulang. Pertemuan segera kami hentikan untuk segera menengoknya,” kata Br Kris.
Kabar itu segera menyebar di lini masa media sosial. Sosok Kakek memang terkenal di mana-mana. Orang-orang menyampaikan belasungkawa. Ruang tengah Provinsialat penuh sesak. Di sana, sosok Kakek dibaringkan.
Ada Uskup Emeritus Mgr. Bumbun, adik kelas Kakek. Uskup Keuskupan Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus, ratusan pastor, suster, bruder, dan umat mengantre untuk menengok dia terakhir kalinya.
Di sela-sela keramaian itu, muncul Andreas Deri OFM Cap. Dia membawa sebuah clear bag berisi beberapa kertas dan buku catatan berwarna hitam.
“Ini buku catatan kakek, baru saja saya ambil dari kursi pertemuan. Mau saya kembalikan ke beliau,” ucap Deri.
Clear bag itu berisi agenda Tepas, beberapa materi pertemuan, dan sebuah buku catatan tebal yang pada covernya tercetak tahun 2014. Bukan buku agenda mahal, melainkan semacam souvenir dari sebuah bank.
Deri meletakkan clear bag itu di sebuah meja tempat menyandarkan salib yang sudah bertuliskan nama Mattheus Sanding OFM Cap, tanggal lahir dan tanggal wafat, di ujung peti mati. Sementara para pelayat datang dan pergi.
Model imam Kapusin
Pater Leo berujar, sosok Kakek Sanding menjadi ‘model’ bagi hidup berkomunitas dalam Persaudaraan Kapusin. Sebab, hingga akhir hayatnya, Kakek tak pernah meninggalkan beberapa keutamaan “Korps Jubah Cokelat”, seperti hidup doa, ketaatan, dan hidup kerja.
Usianya berhenti di angka 81 tahun. Dan tahun lalu, Kakek telah merayakan HUT ke-50 tahun imamatnya.
Hujan di Rabu malam itu telah reda. Udara terasa lembab di tempat yang luas dan asri dengan aneka pepohonan. Tempat penziarahan terakhir bagi Kakek sebelum menjejak langkah di Firdaus yang Agung.
Mengapa Mattheus Sanding kerap disapa Kakek oleh sebagian besar orang yang mengenalnya? Tentu tidak semua memiliki susur galur kekerabatan keluarga, termasuk saya. Ini sudah menjadi kebiasaan yang melekat, tak terbatas di kalangan saudara se-Ordo, tetapi meluas pada banyak umat.
Dia pastor tertua. Semua orang yang mengenalnya, sepertinya lebih afdol memanggil dia dengan sebutan “kakek”. Saya sendiri terbilang belum terlalu lama mengenalnya.
Ketika mengecek catatan, baru saya sadari, perjumpaan perdana saya dengan Kakek terjadi pada tanggal cantik: 11-11-11. Ya, sekitar lima tahun lalu, persis pada 11 November 2011 itu, saya bersama tiga rekan wartawan Katolik lain di Pontianak, Budi Miank, Bas Andreas, dan Alexander Mering, diminta memberi pelatihan menulis dan fotografi selama dua hari bagi para pastor muda dari Ordo Kapusin.
Kakek yang sudah tua, mungkin tetap merasa muda. Itu sebab, dia selalu hadir dalam kegiatan seperti ini. Saya sendiri sempat sungkan.
Para imam muda ini menyebut diri Imud KAP, akronim dari Imam Muda Kapusin Keuskupan Agung Pontianak. Pastor yang usia tahbisannya masih di bawah 10 tahun tergabung dalam kelompok ini, dan rutin menggelar pertemuan tahunan.
Salib Tao
Segera yang saya bicarakan dengan Kakek Sanding usai berkenalan adalah kalung salib Tao. Ini menjadi ciri religius Fransiskan. Salib Tao berbentuk huruf T, sering terlihat dipakai oleh para religius Fransiskan. Awam pun rupanya boleh mengenakan kalung ini.
“Ya, saya punya kalung Tao,” ucap Kakek kala itu, sambil menunjukkan kalungnya yang melingkar di leher.
“Kalau Kakek masih punya yang lain, sepertinya bagus juga untuk kenang-kenangan bagi saya,” kata saya berharap.
Kakek merogoh saku celananya, dan dari sana dia menggenggam sebuah plastik bening ukuran kecil dengan sesuatu terbungkus di dalamnya. Kalung Tao! Saya dan Mering berebutan. Benar-benar berebutan untuk mendapatkannya sampai tarik-tarik tangan!
“Tenang, masih ada satu lagi,” komentar kakek melihat perangai kami.
Lagi dirogohnya dari saku sebuah kantong kecil yang serupa. Jadilah, saya pun mendapat bagian.
(Terkait kegiatan pelatihan itu, bisa dibaca tulisan saya di link ini: Kakek Pastor: Jadilah Wartawan Kristus di http://pujangga78.blogspot.co.id/2011/11/kakek-pastor-jadilah-wartawan-kristus.html)
Kakek dikenal sebagai pekerja tekun. Dia tidak mau bersantai di usia tuanya. Berkebun, menggali tanah, memelihara ikan, sampai membuat aneka pernak-pernik liturgi seperti kalung, sebagian dijual di kios kecil di Rumah Retret Tirta Ria.
Usai perjumpaan perdana itu, beberapa kali saya sempat bertemu lagi, semuanya dalam kesempatan informal. Suatu kali dalam sebuah retret untuk siswa di Tirta Ria, menjelang akhir 2016, tiba-tiba sosok Kakek melintas.
Dia mengenakan topi lebar ala koboi. Di kakinya terpasang sepatu boot dari karet. Hujan memang sedang turun rintik-rintik. Saya dan beberapa teman menyapanya, menahan sejenak untuk sekadar berbincang. Kebetulan kami juga sedang berbincang dengan seorang misionaris dari Swiss, Pater Fritz Budmiger OFM Cap.
“Wah sibuk, Kakek? Hujan nih…”
“Ya, biasa, memantau kebun,” ucapannya khas, bersuara dengan intonasi yang pasti.
Iman Dayak Kapusin Perdana
Perjumlaan lain dengan Kakek yang saya ingat, ketika digelar Expo Panggilan bertajuk “Sahabat Yesus”, yang berlangsung 15-17 Januari 2016 di Gedung Bina Remaja, Kompleks Yayasan Pendidikan Sekolah Bruder, Pontianak, Kalimantan Barat. Lokasi itu terletak persis di belakang Katedral St. Yosef, Keuskupan Agung Pontianak.
(Tentang ini pernah saya tulis untuk web berita Katolik Sesawi.Net di link ini http://www.sesawi.net/2016/01/17/expo-panggilan-di-pontianak-uskup-cilik-jepretan-favorit-pengunjung/)
Di stand milik Ordo Kapusin Pontianak, foto kakek berukuran manusia dewasa terpasang di sana, lengkap dengan jubah cokelatnya. Pastor Iosephus Erwin OFM Cap, yang berjaga di stand mengatakan, informasi dan brosur disediakan agar pengunjung memahami visi misi ordo itu, sekaligus untuk generasi muda ada penjelasan tentang cara bergabung jika mereka merasa terpanggil.
“Foto Kakek Sanding berukuran besar sengaja dipajang untuk memotivasi agar para imam teguh dalam panggilannya hingga mencapai usia tua,” ujar Pastor Erwin.
Kakek Sanding juga ada di lokasi expo. Di usianya yang kala itu 81 tahun, dia masih terlihat sehat, berjalan pun tanpa bantuan tongkat. Harus setengah berteriak untuk berbicara dengan dia, karena pendengarannya mulai menurun.
“Kegiatan seperti ini tak pernah terbayangkan di masa mudanya. Namun kini, generasi muda yang ingin menjawab panggilan Tuhan, sudah memiliki banyak pilihan tarekat yang bisa dimasuki.”
“Zaman saya dulu, tahunya ya cuma Kapusin. Sekarang sudah banyak. Melihat keceriaan anak-anak ini, saya merasa seperti muda kembali.”
Itulah sebagian ucapan Kakek yang saya catat. Diucapkan dengan nada yang pasti, dengan suara dalam, sambil tersenyum.
“Saya ditahbiskan tahun 1966 dan merupakan kakak kelasnya Mgr Bumbun,” tambah Pastor Sanding.
Mgr Bumbun yang dimaksud adalah Uskup Agung Emeritus Keuskupan Agung Pontianak, Mgr Hieronimus Bumbun OFM Cap.
Dalam web Ordo Kapusin Pontianak di link http://www.pontianak.kapusin.org/2017/02/pastor-sanding-telah-berpulang-ke-rumah.html dikisahkan, Sanding merupakan orang Dayak pertama yang menjadi Pastor Kapusin.
Ia berasal dari keluarga petani sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Keinginan menjadi pastor karena mengagumi figur pastor-pastor misionaris Ordo Kapusin dari Belanda dan mulai tertarik dengan jubah cokelatnya.
Akhir pengembaraan
Waktu berlalu, melalui perjuangan keras, Sanding muda mendapat restu dari Pater Honorius van den Heijde, OFMCap, Pimpinan Umum Persekolahan Nyarumkop, untuk menjadi calon novis Ordo Kapusin. Usai menuntut ilmu di Pulau Kalimantan tanah kelahirannya, dia “menyeberang” ke Pulau Sumatera untuk menempuh pendidikan tahap pertamanya di Novisiat Santo Fidelis, Parapat, Sumatera Utara dan diterima sebagai calon novis pada 01 Agustus 1959.
Kaul perdananya diucapkan setahun kemudian, pada 02 Agustus 1960 di hadapan Pater Marianus van den Acker, OFMCap, Magister Novisiat dan Superior Regularis Ordo Kapusin Indonesia kala itu.
Dalam web Ordo Kapusin itu, disebutkan, dengan penerimaan kaulnya ini, Sanding dinobatkan sebagai orang Dayak pertama yang menjadi imam dalam persaudaraan Ordo Kapusin di Indonesia. Baru pada tahun berikutnyam yakni 1961, Hieronimus Bumbun menyusul untuk mengikuti jejaknya. Kelak, sang adik kelas ini, ditunjuk Tahta Suci Vatican menjadi Uskup Agung Pontianak.
Jejak yang sudah ditapaki Sanding, diikuti oleh adik kandungnya. Pada 12 Januari 1976, sang adik memulai pendidikan sebagai calon novis Kapusin, dan beberapa tahun kemudian menyandang nama: Pastor Paduanus Aga, OFM Cap.
Menariknya dalam situs itu, diungkap kelakar Sanding muda, saat menjalani pendidikannya di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) yang kala itu berpusat di Parapat. Ada 13 dosen yang dengan mengajar Sanding, dan apa komentarnya?
“Saya selalu menjadi juara pertama di kelas!”
Maklum, Sanding merupakan mahasiswa satu-satunya, semata wayang.
Ref: http://pujangga78.blogspot.co.id