In Memoriam Pastor Antonius Martinus van Ooij SCJ: “Ah, Ia Belum Mati” (2)

0
715 views
Bersama Romo Martin van Ooij di India tahun 2010.

TAHUN 1980-an

Gara-gara orang itu aku selalu diejek di kelas. “Ih anak Kompeni.  Nanti, matinya kayak babi.”  Begitu kata teman-teman lain kepadaku.  Aku memang tidak bisa menolak atau menghindar dari orang itu.

Bagaimana aku menghindar? Lah wong setiap hari Minggu aku mengikuti misa yang dipimpinnya.  Ia satu-satunya imam yang bertugas di parokiku.  Ia selalu mengunjungi keluargaku dan umat katolik yang lainnya.

Kami anak-anak katolik di paroki ku senang dengan orang yang dipanggil Kompeni oleh teman-teman lain.  Setiap pulang dari negerinya, katanya sih indah sekali Negeri Kincir Angin itu, ia selalu membagikan rosario, medali Bunda Maria dan gambar selipan buku.  Kami anak-anak kecil duduk teratur memandang ia yang senyumnya lebar, memamerkan giginya yang rapi.  Ia menanyakan rapor kami masing-masing.

Aku membayangkan dengan badan besarnya ia seperti Sinterklas memimpin pasukan kurcaci.  Setelah menjawab, anak-anak baru mendapat oleh-oleh itu.  Haduhhhh susahnya.

Itulah yang membuatku ‘jatuh hati’ pada orang itu.  Kendati aku kena akibatnya dengan diejek teman-temanku di sekolahan karena mengenal orang itu, aku tetap kagum padanya.

Suatu kali ia berkata, “Tri, ayo sini kubonceng.”

Aku terbelalak.

“Aku mau lewat depan rumahmu.”

Sebagai anak kecil, aku tak bisa menjawab.  Aku seperti terhipnotis olehnya.  Ia memakai topi berwarna biru seperti topinya Pak Tinosidin, bak seorang seniman.

Aku diangkat dengan mudah sekali ke boncengan ‘sepeda unto’ Belanda yang ada planthangan-nya. Kakiku dilipat biar terbebas dari bahaya jari-jari sepeda.

RIP Romo Antonius Martinus van Ooij SCJ. (1935-2018)/Ist

Aku bangga sekali duduk di sepeda itu. Dan sialnya atau bangganya, aku bingung. Aku harus melewati rumah teman-temanku. Mereka pasti akan melihat aku dan semakin mengejek aku. Tetapi ketika aku melewati rumah-rumah mereka dan kulihat teman-temanku bermain pasir di halaman rumah Junaidi, aku melihat wajah-wajah yang melongo.

Aku lemparkan senyum kemenangan karena tidak satu pun kata keluar dari mulut mereka saat itu.  Ha…ha…hah… mereka takut dengan Kompeniku.

Tahun 1990-an

Aku ingat sekali, saat masa novisiat, aku bersama rekanku sedang membersihkan sebuah kamar yang berisi buku-buku.  Kamarnya berdebu.  Aku buka salah satu buku stensilan dengan judul Retret Kerajaan Allah oleh Martinus Van Ooij SCJ.

Mengunjungi Romo Martin van Ooij di India.

Aku buka halaman demi halaman.  Berisi penjelasan tentang Ajaran Sosial Gereja, live in umat dan penjelasan seputar Hati Kudus Yesus.  Nama itu, Van Ooij,  sangat familier di telingaku.

Hanya sejak tahun 1986 aku tidak bersua lagi dengan orang itu. Sejak tahun itu aku hanya mendengar kabar tentang orang itu yang katanya berkarya di Kalirejo dan Kota Gajah atau mana aku kurang tahu.

Tapi kini aku temukan buku tulisannya.  Aku merasa senang sekali.

Salah seorang romo bercerita kalau Romo Martin van Ooij SCJ menjalani masa-masa perutusan ke mana-mana karena memberikan retret Kerajaan Allah.  Berkat kerasulan Hati Kudus itu, ia menginjakkan kakinya di Jawa dan Kalimantan.  Ia mendampingi para religius untuk menghayati kehadiran Hati Kudus Yesus dalam masyarakat.

Pada tahun 1997, yang aku dengar tentang orang yang semasa kecil begitu kukagumi itu telah berada di India. Ia diutus Kongregasi untuk menghadirkan SCJ di India. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa aku kembali terhubung dengannya.

Tahun 2000-an

Aku merasa sedikit nervous.  Karena Romo van Ooij SCJ menyambutku di muka pintu Skolastikat para teologan di Andhra Pradesh, India.  Ia memelukku.  Akhirnya aku bertemu dengan orang itu, si Kompeni yang membuatku terinspirasi ingin menjadi seorang imam.  Ia bilang ke semua para frater yang ada di sekitar kami, “Ini Romo Wahyu.  Bapaknya aku kenal sekali.”

Pesonanya yang hangat dan akrab membuatku terharu.

Lalu kami berjalan berdua di halaman itu.  Untunglah India pada bulan-bulan itu udara dan cuacanya tidak terlalu panas.  Sambil bolak-balik melintasi jalan di komplek itu, ia tanyakan satu persatu umat Katolik yang ada di desaku.

Tentu saja setelah ia korek habis kabar keluargaku.

In Memoriam Pastor Martin van Ooij SCJ: Truly, This Man is a True, Real, Genuine Priest (1)

  • Piye kabaré Pak Muhadi. Anaké saiki wis tinggal nang di wae? (Gimana kabarnya Pak Muhadi? Anak-anak yang sudah dewasa kini ada di mana saja?”
  • ”Yang rumahnya kulon rowo kae…iya Pak Tamin. (Nah yang rumahnya di sebelah barat rawa itu eh namanya Pak Tamin, gimana kabarnya?”

Dalam hal ini aku harus acungi jempol.  Ingatan Romo  Martin van Ooij terhadap domba-domba yang pernah digembalakan cukup dahsyat.

Tahun 2010-an

Aku sering bertemu beliau. Sekarang sudah tua, setahuku ia ‘berkepala’ 8 karena ia lahir tahun 1935.  Namun terlihat sehat dan rapi serta hangat.  Setiap kali aku mampir ke Pastoran Stefanus Cilandak, menu utamaku adalah ngobrol dengan Romo Martin.

Tentu saat itu Romo Joko Susilo SCJ harus digeser dari perhatian sejenak.  Namun dengan cantik, Romo Martin tetap melibatkan romo lain dalam obrolan kami.

Suatu pagi, pada tahun 2016, kami berkonselebrasi bersama di Gereja St. Stefanus.  Ia persilahkan kami para romo muda (kalau tidak salah ada empat orang) untuk duduk di muka.  Namun sebelum berkat penutup Romo  van Ooij, panggilan saya kepadanya, menyerobot mikrofon untuk memperkenalkan kami kepada umat. “Mereka ini adalah pemikir-pemikir masa depan.”

Aku malu tetapi juga bangga mendengar kerendahan hati yang mengalun di kata-katanya.

Seorang imam misionaris yang pengalamannya sudah sangat banyak, menjelajah banyak negara, dan berusia matang, mengatakan itu kepada kami yang menjadi imam saja belum genap 10 tahun.  Tetapi itulah Martin van Ooij yang aku kenal. Ia selalu membesarkan sesama imamnya. Ia tidak cemburu. Ia tidak merasa disaingi. Yang ada hanya kasih dan perhatian demi kemajuan bersama.

Tahun 2018

Malam itu, 22 Maret 2018 pukul 22.00 aku dengan seksama mendengarkan penjelasan dari Romo Joko Susilo SCJ mengenai kesehatan romo Martin Van Ooij SCJ.  Ia mengatakan, “Ada kemajuan setelah pengobatan tadi pagi untuk ginjalnya.  Tetapi kemungkinan hidupnya hanya tinggal 30%.  Ia harus istirahat agar tubuhnya dipulihkan.  Kami umat di Cilandak memanjatkan Novena 3x Salam Maria.”

Sejak hari itu, setiap Perayaan Ekaristi harian selalu aku selipkan 3x Salam Maria untuk beliau.  Aku percaya bahwa Romo Martin pasti akan kembali sehat.  Ia adalah seorang pribadi yang luar biasa.  Ia pasti sehat demi umatnya.  Tetapi ketika bangun pagi pada Minggu 25 Maret, tepat pada hari Minggu Palma, aku menemukan semua DP teman-temanku bertuliskan: RIP Romo Antonius Martin Van Ooij SCJ.

Aku merasa itu hanya status. Bagiku ia belum mati. Aku sama sekali tidak merasakan kehilangan ia. Itu tanda bahwa ia masih hidup. Walau intensiku bersama umat dalam Minggu Palma adalah untuk Romo Kompeni ini, aku merasa ia belum mati. Dan tidak akan mati bagiku. Karena ia selalu hidup di dalam hatiku. Ia selalu hidup di rumah Bapa.

Aku hanya menunggu waktuku untuk dapat berkunjung dan bertemu dirinya.  Sambil membahas paroki di mana aku dulu pernah dibonceng olehnya.  Tempat di mana ia membawa ibuku ke Kotabumi untuk pengobatan dengan Toyota hardtop hijaunya.  Tentang orang-orang yang ku kenal sejak masa kecilku.

Ah Romo Martin…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here