In Memoriam Paus Benedictus XVI, Warisan Ajaran Penting tentang Dialog Antar Agama (1)

0
939 views
Paus Emeritus Benedictus XVI (San Diego Union) ok

PAUS Benediktus XVI berpulang di penghujung tahun 2022. Pada zamannya, beliau sangat dikenal luas sebagai sosok pribadi yang berpendirian kuat tentang iman Katolik.

Sejak November 1981, ia yang kala itu bernama Kardinal Joseph Ratzinger memang diserahi tugas sebagai Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, sebuah lembaga sangat penting di Vatikan yang mempunyai tanggungjawab untuk menjaga doktrin iman Katolik.

Juga berfungsi untuk menilai berbagai laporan berdasarkan Hukum Kanonik; memberi surat peringatan kepada para klerus yang ajarannya tidak sesuai dengan iman Gereja.

Dialog antar agama

Dalam tugasnya ini, dia dianggap sebagai seorang dengan pendirian teologis yang keras.

Itulah sebabnya, saat beliau terpilih menjadi Paus ke-265 tanggal 19 April 2005 menggantikan almarhum Paus Yohanes Paulus II yang meninggal 2 April 2005, orang-orang tidak punya harapan bahwa Paus baru ini nantinya akan mengembangkan dialog antar agama.

Hal ini berkaitan dengan kekukuhannya atau ketepatan iman yang pernah dituliskan di dalam dokumen Dominus Iesus terbitan Kongregasi Ajaran Iman yang dipimpinnya.

Namun, dalam sejarah masa kepausannya yang diakhiri dengan pengunduran dirinya pada 11 Februari 2013 karena kesehatan dan usia tua, almarhum Paus Benediktus XVI ini justru merupakan sosok Paus yang mengembangkan dialog agama dalam ranah yang lebih dalam; terutama dalam hal dialog antar umat Islam dan Katolik.

Sementara banyak orang lebih suka membicarakan ruang-ruang bersama antar identitas agama, Paus Benediktus XVI justru dengan berani menegaskan ruang perbedaan.

Usaha ini bukan pertama-tama untuk memicu konflik dan perlawanan, tetapi lebih sebagai usaha untuk membangun dialog yang jujur.

Orang harus berani mengatakan, kita memang tidak sepenuhnya sama; dengan demikian memungkinkan terjadinya persaudaraan yang justru lebih mendalam.

Paus Benedictus XVI (1927-2022)

Dialog dalam Gereja dan Kontroversi “Dominus Iesus”

Bagi Gereja Katolik, Konsili Vatikan II yang berlangsung kurun waktu tahun 1962-1965 adalah sebuah harta berharga. Terutama kalau harus mengingat di dalamnya dihasilkan keputusan-keputusan penting tentang banyak hal.

Salah satunya tentang dialog agama.

Munculnya Dignitatis Humanae (Martabat Pribadi Manusia), sebuah pernyataan tentang “Kebebasan Beragama” dianggap sebagai langkah maju mengingat selama sekian abad Gereja ingin menghadirkan dirinya sebagai yang lebih dari yang lain.

Akibatnya, pernyataan macam itu merupakan hal yang tidak mudah diterima.

Hal ini dilengkapi dengan Nostra Aetate (Pada Zaman Kita) yakni “Pernyataaan Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Non-Kristiani” yang membicarakan tentang sikap Gereja yang ingin berdialog dengan yang lain.

Di dalamnya, orang Katolik menemukan dasar untuk membangun kebersamaan dengan pemeluk agama-agama dan kepercayaan lain.

Salah satu pernyataan yang sangat kuat adalah sebagai berikut.

“Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri; tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.

Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni ‘jalan, kebenaran dan hidup; (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” (Nostra Aetate 2).

Ilustrasi: Konsili Vatikan II. (Ist)

Penegasan niat untuk berdialog ini menjadi sikap baru yang lalu mewarnai cara kehadiran Gereja Katolik di tengah dunia saat ini (aggiornamento) yang terbukti dengan berbagai upaya dialog dari Gereja maupun keterlibatan dialog yang diinisiasi oleh berbagai pihak di dunia.

Gereja tidak lagi menutup diri dari upaya mengupayakan damai melalui jalan dialog. Orang sering menyebut, Gereja yang dulunya seperti “menara gading”.

Tetapi sekarang ini, kok malah terkesan ingin “berjalan bersama” dengan saudara-saudari sesama manusia di dunia ini.

Penegasan keinginan untuk berdialog ini seakan dihancurkan oleh pernyataan tegas dalam dokumen Dominus Iesus – dokumen yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman waktu itu pimpinan Kardinal Joseph Ratzinger sebelum beliau menjadi Paus.

Di sana ditegaskan kembali posisi final Yesus sebagai jalan keselamatan yang khas sekaligus universal.

Pada artikel 2 dokumen itu dikatakan sebagai berikut.

“Sebagai penyembuh bagi mentalitas relativistik, yang semakin lazim, pertama-tama sungguh perlulah menegaskan ulang corak definitif dan lengkap perwahyuan Yesus Kristus.

Memang, harus diimani secara teguh bahwa dalam misteri Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma, yakni ‘jalan, kebenaran, dan kehidupan’ (Yoh 14:6), dianugerahkan perwahyuan penuh-purna kebenaran ilahi: ‘Tidak seorang pun mengerti Putera kecuali Bapa, dan tak seorang pun mengerti Bapa kecuali Putera, lagi pula siapa pun juga, yang kepada mereka Putera hendak mewahyukan Dia.” (Mat 11:27).

Dengan ketegasan sikap ini, orang menangkap seakan Gereja ingin meninggalkan sikap baru yang dilahirkan oleh Konsili Vatikan II.

Hal inilah yang membuat orang-orang ragu akan pilihan sikap Benedictus XVI sebagai Paus. Orang bertanya apakah ini akan menjadi senjakala dari upaya-upaya dialog di dalam Gereja Katolik.

Kardinal Joseph Ratzinger dari Jerman memilih nama “Paus Benedictus XVI” saat terpilih menjadi Paus Baru. (L’Osservatore Romano)

Kuliah umum di Universitas Regensburg, Jerman

Situasi ini menjadi cukup memanas tatkala Paus Benedictus XVI dituntut untuk menarik pernyataannya di dalam kuliah umum di Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006.

Di sana Paus mengutip percakapan pada abad ke-14 antara Kaisar Byzantin, Manuel II Palaiologos dan seorang Muslim dari Persia. Pernyataan itu menyinggung cara pewartaan orang Islam.

Banyak orang Muslim di seluruh dunia mengecam pernyataan itu. Orang bisa membela bahwa hal itu adalah bagian dari kutipan, tetapi dalam posisi sebagai Paus, orang menyayangkan pilihan untuk mengutip bagian yang sensitif tersebut.

Di sinilah lalu mulai terjadi situasi yang tidak nyaman. Di masa kepausannya yang belum genap dua tahun, orang melihat adanya sikap yang tidak sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II.

Ketegasan beliau kepada relativisme agama dan ungkapan di dalam kuliah di Universitas Regensburg dianggap sebagai blunder, karena telah mengaduk-aduk ketenangan relasi yang selama ini sudah terjadi.

Kalau saja semuanya berakhir demikian, tentu kita tidak bisa meneladan apa yang dilakukan oleh Paus. Tetapi rupanya semua pernyataan ini adalah bagian dari kegigihan seorang yang ingin menegaskan posisi Gereja; sambil mengakui bahwa memang ada “luka-luka” di sepanjang sejarah hidup bersama.

Ia sedang memimpin Gereja Katolik sedunia menuju kesadaran akan posisi unik iman Katolik dan cara yang benar di dalam dialog antar agama.

Ilustrasi: Kunjungan ke Kantor Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PICD) di Vatikan: Rombongan delegasi Indonesia anggota Wantimpres Yahya Cholil Staquf dan Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus. (Romo Andreas Kurniawan OP)

Ruang perjumpaan Teologis

Peristiwa “Kuliah Umum di Universitas Regensburg” itu paling tidak telah melahirkan dua hal besar yang kemudian menjadi warisan penting untuk hubungan Gereja Katolik dengan Umat Islam.

Pada tanggal 13 Oktober 2007, setahun setelah “Peristiwa Regensburg” itu, ada 138 tokoh Muslim di seluruh dunia dari berbagai mazhab yang menandatangani surat terbuka yang berisikan ajakan guna mencari titik temu.

Semangatnya adalah bukan pertama-tama memperlebar jurang pemisah, tetapi memperluas ruang perjumpaan teologis.

Dokumen itulah yang dikenal sebagai A Common Word Between Us and You (Sebuah Kata yang Sama Antara Kami dan Kalian).

Menanggapi hal itu, menurut penuturan Pastor Markus Solo Kewuta SVD -pastor Indonesia di Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama (PCID)- Paus menghendaki sebuah upaya baik menanggapi surat terbuka tersebut.

Catholic Muslim Forum

Maka, lalu dibentulah sebuah komisi khusus yang terdiri dari para teolog dan ahli Islam dari pihak Katolik guna mengadakan Forum Internasional yang dinamai “Catholic Muslim Forum” (CMF).

Forum itu mengundang para penandatangan surat terbuka itu untuk bertemu langsung, duduk semeja dan membahas apa yang dimaksudkan dengan surat tersebut.

Harapan lebih jauh adalah terbentuknya forum berkala guna membahas permasalahan dalam relasi Katolik-Muslim supaya bisa dicari solusi bersama (Markus Solo Kewuta, Jurnal Ledalero, Vol. 12, No. 2, 2013).

Sampai akhir masa kepausan Benedictus XVI, forum ini sudah diadakan sebanyak dua kali.

  • Forum pertama diadakan pada 4-6 November 2008 di Vatikan dengan tema “Kasih kepada Tuhan, Kasih kepada sesama.”
  • Sementara forum kedua diakakan pada 21-23 November 2011 di tepi Sungai Yordan dengan tema “Akal Budi, Iman, dan Pribadi Manusia.”

Forum ini masih berlanjut pada masa kepausan Paus Fransiskus dan menjadi warisan yang berharga sebagai upaya menjalin kebersamaan. Di dalam perjumpaan teologis yang mendalam, umat Katolik dan Islam bisa mencari jalan perjumpaan.

Perjumpaan mendalam yang membahas mengenai kepercayaan kedua belah pihak inilah yang menjadi buah dari sikap tegas Paus Benediktus XVI. Beliau tidak ingin sikap relativisme iman ini sampai menyebar di kalangan umat Katolik.

Relativisme secara sederhana bisa diartikan sebagai sikap menganggap bahwa agama itu relatif dalam arti semua sama. Paus ingin menegaskan, orang Katolik harus yakin dengan apa yang diimani dan dipercayai.

Dialog agama bukan berarti ajakan untuk menyamakan saja semua agama. Melainkan harus membawa nilai masing-masing agar bisa berkontribusi bagi kebaikan bersama.

Dengan cara demikian, buah-buah kebaikan dari agama-agama menyumbang bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. 

Ilustrasi: Imam Masjid Agung Roma mendapat kunjungan silahturahmi anggota Wantimpres RI Yahya Staquf, Mgr. Agustinus Agus dari Keuskupan Agung Pontianak, tiga imam Ordo Dominikan Indonesia, dan Romo Markus Solo SVD dari Kantor Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama di Vatikan. (Romo Andreas Kurniawan OP)

Sebuah warisan dialog

Di dalam Gereja Katolik dikenal ada empat macam dialog antar agama yang dinyatakan di dalam dokumen Dialog and Proclamation yang diterbitkan oleh Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama (PCID) pada 1991.

Pertama, Dialog Kehidupan.

Di dalam dialog ini, orang Katolik diundang untuk berjuang hidup dalam semangat terbuka dan bertetangga, berbagi suka dan duka, masalah dan kesibukan manusiawi mereka.

Kedua, Dialog Aksi.

Dalam hal ini, umat Kristiani dan lainnya bekerja sama untuk pembangunan integral dan pembebasan manusia. Umat Katolik diundang untuk bekerjasama dengan yang lain guna membawa kebaikan.

Upaya-upaya penanggulangan bencana bersama dengan berbagai pihak bisa menjadi salah satu contohnya. Di dalamnya mungkin tidak disebutkan dari agama apa, tetapi di sana terkandung upaya mempertemukan orang lintas batas.

Ketiga, Dialog Teologis.

Di sini para ahli berusaha untuk memperdalam pemahaman mereka tentang warisan agama masing-masing, dan saling menghargai nilai-nilai spiritual.

Keempat, Dialog Pengalaman Religius.

Di dalamnya, pribadi-pribadi yang berakar pada tradisi keagamaannya sendiri, berbagi kekayaan spiritualnya, misalnya dalam hal doa dan kontemplasi, iman dan cara-cara mencari Tuhan atau Yang Mutlak (Dialogue and Proclamation Artikel 42).

Di antara keempat ajakan ini, Dialog Teologis menjadi bentuk dialog yang paling banyak dihindari mengingat ada hal-hal sensitif yang ada di sana. Namun, justru di titik inilah Paus Benedictus XVI mengambil peran kunci.

Warisan penting

Paus Benedictus XVI, yang diragukan bisa berbicara atau berjuang banyak dalam dialog, rupanya mampu mewariskan sebuah ajakan untuk jujur dalam dialog.

Ruang dialog Teologis yang sering kali dihindari karena sensitif, telah dimasuki olehnya. Dengan satu tindakan ini, beliau telah mewariskan dua hal penting.

Paus Benedictus XVI (1927-2022).

Pertama, dalam hal beriman, orang Katolik harus yakin bahwa imannya memiliki kebenaran yang khas. Orang tidak boleh suam-suam kuku di dalam menghidupi imannya.

Kedua, dalam hal dialog, orang Katolik tidak sekedar mencari persamaan dengan pihak lain, tetapi juga mengakui bahwa ada perbedaan di antara kita.

Paus Benedictus XVI memanggul tugas berat guna menegakkan kebenaran iman Gereja. Di hadapan arus relativisme, ia mengambil posisi yang beda. Ia dikecam dan mengambil posisi yang tidak populer.

Namun, dari dialah kita belajar soal dedikasi terhadap tugas dan peran hidup yang harus dimainkan.

Terimakasih Paus Emeritus Benedictus XVI atas teladan hidup dan kegigihan cara beriman Bapa Suci. Kami mengantar engkau pulang dengan doa-doa kami, sembari mengenang warisan dialog yang masih harus terus kami lanjutkan.

Selamat jalan menuju keabadian.

Romo Martinus Joko Lelono Pr

Pastor Paroki St. Mikael Pangkalan TNI-AU Adisutjipto;

Pengajar Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here