INI bukan soal begaya atau sok metropolis. Pagi-pagi suka olahraga dan bahkan sampai ikut rempong naik sepeda onthel. Tujuannya ke “puncak” Magelang yakni kawasan wisata Ketep di lereng Gunung Merbabu yang kini makin terkenal.
Almarhum Romo Gustawan SJ sadar diri. Ia punya penyakit DM alias diabetes mellitus. Karena itu, ia selalu membiasakan diri berolahraga.
Kadang renang. Tapi Seminari Mertoyudan jelas tidak punya kolam renang. Karenanya, Romo Gustawan sering melakukan renang di Kolam Renang Soekoco Pusdik Akmil Magelang.
Murmer. Sekali renang, waktu itu, hanya Rp 2.500,00 saja.
Lain waktu, jenis olahraga yang dia maui adalah naik sepeda onthel. Bukan sembarang destinasi. Jalanan lurus aspal. Bukan. Ini jalan aspal, tapi menanjak naik.
Menuju arah Ketep, kawasan “Puncak” di Magelang di kaki Gunung Merbabu, titik pentokan antara Magelang, Kopeng, dan jalan menuju Boyolali.
Kami bertiga naik sepeda onthel menuju Ketep. Saya, almarhum Romo Gustawan dan seorang seminaris waktu itu yang sering dipanggil dengan nama pendek “Beni”.
Namun, di suatu titik perhentian, Romo Gus menyerah kalah. Ia memutuskan berhenti saja di titik peristirahatan ini. Sudah tidak sanggup lagi. Degup nafasnya sudah teramat ngos-ngosan.
“Suster lanjut saja bersama Beni, saya tunggu di sini,” kata Romo Gustawan waktu itu seraya duduk bersandar di sebuah saung di pinggir jalan yang kami lalui.
Ia mengakui keterbatasan diri.
Perhatian benar pada kesehatan
Olahraga kecil atau serius adalah bentuk perhatian Romo Gus pada kondisi kesehatannya yang rapuh.
Sebagai Rektor Seminari Menengah Mertoyudan waktu itu –di tahun 2007—Romo Gus tidak segan-segan sering “keluyuran” keluar dari Domus Patrum melihat sudut-sudut seluruh kompleks seminari.
Tak jarang juga, dia datang “menengok” Valet. Inilah hospice khas seminari di mana saya berdinas setiap hari sebagai suster perawat –tugas pengutusan dari Kongregasi CB.
Terhadap para pasien seminaris yang suka “bandel” alias tidak menuruti anjuran dokter dan perawat, maka Romo Gus sebagai Rektor tidak segan menegur mereka agar taat terhadap “perintah” dokter dan perawat.
Karena penyakit bawaan DM itulah, setiap pagi usai sarapan, Romo Gus selalu berjalan-jalan keliling kompleks seminari dan kadang juga mampir ke “ruang kerja” saya di Valet Seminari.
Lalu juga renang Soekoco di Pusdik Akmil di Magelang itu. Dan tentu saja pengalaman indah ngonthel bersama kami berdua menuju arah Ketep.
Seminari sebagai Sekolah Kasih
Sebagai Rektor seminari –sekolah khusus pendidikan calon frater dan juga imam, Romo Gus sungguh-sungguh menaruh perhatian besar pada mutu para siswa didikannya. Karena, setiap sebulan sekali rapat, Romo Gus selalu mendengarkan paparan setiap pamong dengan teliti.
Namun juga tetap berperilaku sangat tenang, kalem.
Yang menyenangkan bagi kami para suster CB yang dikaryakan oleh Kongregasi di seminari ini adalah keterlibatan para suster dalam upaya membina para seminaris, calon frater dan imam ini.
Suster-suster yang berkarya di bagian rumah tangga –khususnya dapur—ikut dilibatkan dalam rapat bulanan. Dan tentu saja juga kami yang berdinas di Valet.
Jadi, bidang tugas saya tidak hanya urusan pegang stetoskop, ambil darah untuk proses pemeriksaan lab, tapi juga “mendidik” para seminaris di bidang pembinaan karakter diri dan pengembangan rohani.
Saya dan teman-teman suster CB bahkan juga diajak menjadi tim wawancara dalam proses penerimaan siswa baru. Bisa jadi, tahun-tahun sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi.
Saya mulai berdinas di Seminari Mertoyudan tahun 2007, persis ketika Romo Gustawan SJ menjadi Rektornya.
Karena diikutkan terlibat dalam proses pembinaan karakter manusia dan pengembangan spiritualitas masing-masing seminaris inilah, saya sekali waktu berani menyebut hal ini.
Selain menjadi tempat persemaian bibit-bibit panggilan hidup bakti menjadi religius imam dan diosesan, Seminari ini adalah Sekolah Kasih. Inilah sekolah di mana afeksi masing-masing seminaris ditumbuh-kembangkan.
Topik ini pernah saya tulis di majalah internal CB International dan diterbitkan di Maastricht, Negeri Belanda.
Berkebun dan mengolah sampah
Saya punya hobi berkebun dan mengolah sampah. Waktu itu, saya membangun beberapa lokasi “perkebunan” kecil dengan menggunakan paranet. Di situ dipasanglah sejumlah tanaman seperti anggrek dan lainnya.
Koridor kecil dekat Rektorat dan Kapel terpasang “kebun” paranet. Juga di sekitaran Valet.
Rupanya, almarhum Romo Gustawan juga memiliki jiwa “keibuan”. Ia senang sekali berkebun dan sangat antusias pula memelihara anggrek-angrek ini dalam format “perkebunan” paranet.
Waktu itu setidaknya ada tiga paranet yang berhasil kami kembangkan di kompleks seminari.
Romo Gus selalu mengajak saya “berburu” anggrek dan kemudian ikut menanamnya di media sabut kelapa atau ditanam di pot-pot kecil.
Sekali waktu, saya sempat ngedumel pada Romo Gustawan perihal anjing. Bukan soal binatang anjing itu sendiri. Tapi soal bulu-bulu anjing yang sering kabur ke sana-sini dekat dapur dan valet.
Demi kebersihan dan higienis, saya memberanikan diri untuk “menegur” Romo Gustawan agar anjing-anjing jangan dibiarkan berkeliaran bebas di arena dapur dan valet.
Entah bagaimana, sekali waktu, anjing-anjing itu sudah tidak “ada lagi” di seminari. Padahal, anjing itu adalah “milik” Romo Gustawan sendiri.
Ia sering berjalan-jalan keliling seminari sembari mengajak anjing-anjing ini.
Orkestra di Solo
Sekali waktu, para seminaris diajak ekskursi keluar dengan program kunjungan ke paroki dan menampilan pentas musik orkestra. Di Solo tempatnya. Parokinya Romo Antonius Budi Wihandono Pr atau Romo Wihong.
Ikut dalam rombongan ini adalah Romo Handy Pr, staf formator seminari, dari Keuskupan Purwokerto. Dan tentu saja Ibu Budi (alm), guru konser seminari.
Saya sebagai Suster Valet diikutsertakan dalam program outreach ini.
Sebagai Rektor, Romo Gus jauh dari sikap jaim. Ia selalu komunikatif dan enak diajak bicara.
Bahkan dia juga mendukung ide personal saya agar saya boleh “terlibat” dalam karya eksternal di luar kompleks seminari. Khususnya di Gereja Paroki Mertoyudan yang memang hanya berbatasan tembok saja dengan seminari.
Karena izinnya, saya boleh “berdinamika” dengan karya parokial. Sekali waktu, di hari Minggu, saya melibatkan diri dalam program baksos Paroki Mertoyudan. Di situlah kemudian saya kenal dengan sejumlah dokter lokal.
Itu terjadi karena setiap kali usai misa, selalu diadakan pemeriksaan kesehatan oleh dokter dan perawat. Saya melibatkan diri di kegiatan ini.
“Supaya ada suasana lain,” begitu Romo Gus menyemangati saya.
Akhirnya dari perkenalan dengan para dokter dan kolega perawat di wilayah Paroki Mertoyudan inilah, karya kesehatan menjaga Valet Seminari juga kedatangan berkah.
Dokter-dokter ini dengan gampang bisa kami ajak untuk melakukan visit, periksa kondisi kesehatan para seminaris yang menjadi tanggungjawab saya.
Perhatian Romo Gustawan sebagai Rektor untuk para seminaris yangtengah sakit sangatlah besar. Ia sering datang berkunjung ke Valet.
Dengan senyum yang khas dan sumanak (ramah), ia menyapa saya dan para pasien seminaris yang sakit.
Saya hanya dua tahun saja bertugas di Seminari. Dan setelah sekian lama meninggalkan Seminari, saya baru bisa bertemu dua kali dengan Romo Gus hingga akhirnya tahu bahwa pekan lalu, ia meninggal dunia.
Tabah mengalami sakit
Romo Gus sudah sejak lama mengalami sakit. Namun, ia menerima sakitnya itu dengan jiwa tabah luar biasa. Tidak pernah mengeluh sakit.
Selain menerima sakit itu sebagai “anugerah”, dia juga mengimplementasikan semangat KPKC (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan).
Meski Laudato Si waktu itu belum terbit, namun semangat KPKC itu dia hayati dengan mencintai semua alam ciptaan. Salah satunya tentu saja anjing dan benda-benda hidup lainnya yakni tetumbuhan.
Karena itu, Romo Gus menyambut gembira usulan saya bahwa taplak-taplak altar itu sebaiknya didesain khusus dengan lipatan-lipatan. Juga diberi hiasan pot-pot bunga.
Pos pengeluaran bunga bisa dihemat dengan tampilnya pot-pot bunga di altar ini.
Memberi semangat
Sebagai imam pada umumnya, Romo Gus selalu punya semangat membombong dan memberi penghiburan dalam homili dan acara puncta. Intinya, selalu saja ada peluang untuk memperbarui hidup ini di tengah semua kelemahan manusiawi yang kita miliki masing-masing.
Dalam konteks itulah, Romo Gus selalu mengatakan bahwa Seminari Mertoyudan ini adalah Sekolah Kasih, Sekolah Iman. Demikian juga dengan keluarga-keluarga.
Sikap memberi semangat kepada orang lain itu dia ungkapkan dengan mudah senyum kepada siapa saja. Tidak jaim.
Senyum itu selalu tersungging di ujung bibirnya. Bahkan di saat sakit pun, dia selalu memulai sapaan ramahnya dengan senyum.
“Bagaimana Suster? Baik-baik saja kan?,” demikian sapanya.
Kini sapaan ramah itu sudah “hilang”. Tapi, kenangan indah selama tugas di Valet Seminari Mertoyudan itu tetap terngiang-ngiang di memori saya.
Matur nuwun Romo Gus. Kerana Romo sudah menjadi pemimpin teladan dan memberi contoh nyata bagaimana kita sebagai manusia harus selalu bersikap baik dan ramah kepada orang lain.