In Memoriam Romo John Mansford Prior SVD: Teologi, Antara “Jalan” dan “Kamar” (6)

0
337 views
Ilustrasi - Berdoa sendirian dengan diam. (Pexel)

TULISAN mini ini saya tulis saat masih sebagai seorang Frater Teologan tingkat akhir di Fakultas Teologi Pontifikal Wedabhakti (FTW) Universitas Sanata Dharma dengan kampus di Kentungan Jogjakarta. Tahun 2012 yang lalu.

Salah seorang tokoh yang menginspirasi alur pikir dari ide-ide sederhana di dalam tulisan ini adalah Pater John M. Prior SVD.

Saya tidak mengenal beliau secara pribadi. Berjumpa juga tidak pernah. Menjadi dosen saya pun tidak.

Saya hanya mengenal beliau melalui buku dan tulisan-tulisannya yang luar biasa, yang sudah tentu sempat pula saya baca.

RIP Romo John M. Prior SVD (Ist)

Hari ini, 2 Juli 2022, beliau berpulang kembali ke Sang Khalik.

Dan saya teringat akan tulisan ini. Tulisan yang bisa dibilang lahir dan terinpirasi dari remah-remah pemikiran beliau.

Dan sebenanrya awalnya (tahun 2012), tulisan ini hadir sebagai sebuah bentuk autokritik pribadi atas satu-dua sisi dari pembelajaran teologi.

Yang tujuannya bukan untuk menjauhi teologi, tapi justru untuk makin membuat saya dan kita -para pembaca- lebih mencintai teologi.

Tapi hari ini, kalau diizinkan, tulisan ini saya hadirkan ulang untuk mengenang jasa dan pemikiran seorang John M. Prior.

Ilustrasi: Untuk mencapai puncak, orang butuh “sparring partner” agar bisa mencapai solusi yang lebih baik. (Ist)

Butuh sparring partner

Mengawali bagian tulisan ini, saya akan mengutip kata-kata dari teolog Srilanka, Aloysius Pieris SJ, yang mengatakan berikut ini.

“…teolog yang ide teologisnya tidak menyentuh yang lain (realitas) akan menjadi teolog yang kesepian, yang hanya mencari kenyamanan dan kemewahan dalam dirinya sendiri.”

Rasa saya, seorang teolog harus mempunyai “sparing partner”. Teolog yang tidak memiliki sparing partner adalah seorang teolog yang kesepian, seorang teolog yang sedang galau dengan gagasan dan dirinya sendiri.

Teolog asal Srilanka – Aloysius Pieris SJ

Ia hanya akan bermain dengan ide-ide teologisnya yang abstrak-idealis, yang kadang kala hanya berpusat pada satu permainan ide teologis tertentu.

Misalkan saja, ide teologis yang hanya berpusat pada liturgi atau ekaristi atau tema-tema teologis tertentu rasa-rasanya akan sangat memiskinkan kekayaan dari refleksi teologis yang ada.

Teolog yang tidak berani keluar dari dirinya untuk bisa menyentuh realitas yang lain harus bisa dikatakan bahwa ia adalah seorang teolog yang sedang “galau”.

Ia hanya berani dan berlari dari kesepiannya lalu akhirnya akhirnya hanya bergumul dengan Tuhannya sendiri (baca: spesialisasi ilmunya saja).

Kegalauan nampak dalam ketidakberaniannya ini.

Ilustrasi – Galau dan ragu. (Ist)

Locus theologicus

Rasa saya, kegalauan seperti ini disebabkan oleh kurangnya perhatian kita atau para teolog kita (konteks kita) dalam memperhatikan dan mementingkan “locus teologicus” kita sebagai orang Indonesia.

Seorang teolog Jepang bernama Kosuke Koyama pernah mengatakan begini: ”Saya tidak bekerja di Roma dan Swiss atau bekerja dengan Thomas Aquinas atau Karl Barth, tetapi dengan para petani di Thailand”.

Apa yang menarik dari kalimat ini bahwa berteologi itu ada locus teologicus-nya dan seorang teolog harus bermain dalam locus teologi ini.

Dalam konteks kita, ada banyak gagasan teologis yang muncul dan dikembangkan. Bahkan diabadikan dalam karya-karya mahaagung dan mahatebal, tapi pertanyaannya apa semua itu dapat dipahami?

Juga sesuai dengan konteks kita? Ataukah hanya mengulangi gagasan-gagasan teologi Barat atau diktat kuliah yang dulu pernah dipelajari?

Saya mengambil contoh tentang diskusi teologis di seputaran ruang kelas.

Yang sangat jelas menunjukkan adanya tegangan antara liturgi yang hanya terbatas di altar dengan berbagai penekanan ritus, tata gerak, dan macam-macamnya dengan liturgi yang diharapkan bisa menyentuh dan menjawabi persoalan praktis umat.

Ilustrasi: Benda-benda Liturgi untuk Misa di Lingkungan. (Laurensius Suryono)

Tentu saja, dari perbedaan gagasan teologis-akademis yang muncul ini, rasanya harus diapresiasi. Karena menunjukkan adanya pluralitas dalam berteologi, tapi menjadi tidak bijak jika kita hanya berhenti pada kepuasan pluralitas ini.

Kita kembali pada diskursus tadi bahwa penekanan yang terlalu berlebihan pada hal-hal ritualis dengan macam-macam soal tanya-jawab seputar: apa perlu tidak menggunakan kalimat “Tuhan sertamu atau Tuhan bersamamu” dan perlu tidaknya menjawab “Amin” pada bagian-bagian tertentu dari upacara liturgi ekaristi, rasa saya belum membawa kita pada teologi yang sesungguhnya.

Kita harus berani keluar dari diskusi dan perdebatan soal ini untuk bisa menjawab dan menyentuh apa yang sebenarnya dibutuhkan umat atau apa yang pas, tepat dan cocok dengan cita rasa umat beriman.

Kita masih terlalu merasa nyaman dalam berteologi.

Merasa tidak nyaman dan mencari solusinya

Karena itu, rasa saya, seorang teolog harus selalu merasa tidak aman dengan situasi sekitarnya. Teolog harus merasa ada yang selalu menggangu dirinya, mengejar, dan berusaha untuk memunculkan gagasan-gagasan yang baru.

Saya mengambil contoh beberapa teolog Asia seperti Kosuke Koyama, Masao Takenaka, atau pun Marianne Kattopo, selalu saja merasa tidak tenang dengan situasi lingkungan hidup mereka.

Ilustrasi: Pusing pikiran cari solusi atas masalah. (Ist)

Mereka berteologi dengan sungguh-sungguh berangkat dari realitas di mana mereka ada. Bila kita menyimak karya dan kisah-kisah mereka akan ditemukan bahwa mereka menulis sesuatu yang sederhana, sesuatu yang berakar dari locus dan tempus mereka hidup.

Tulisan-tulisan mereka pun tidaklah terlalu panjang dan tebal yang sebenarnya ingin menunjukkan bahwa ada situasi yang selalu mengancam dan mengejar mereka.

Karena itu, dengan tidak bermaksud menyinggung pribadi tertentu, rasa-rasanya bahwa bila ada teolog kita yang memiliki karya dan tulisan yang bertebal-tebal dan panjang-panjang bisa dikatakan bahwa ia terlalu berada dan merasa nyaman.

Dalam menulis dengan duduk manis di “kursi malasnya” dan tidak merasa bahwa ada realitas dil uar dari dirinya yang sangat membutuhkan sentuhan atau uluran tangan dan ide-idenya yang membumi.

Maka, rasa saya akan menjadi lebih baik kita menjadi seorang “teolog jalanan” dari pada seorang “teolog kamaran atau sekolahan” yang hanya bergelut dan bergumul dengan diri dan gagasan kita sendiri.

Teologi yang membumi

Hal menarik lain yang perlu diterima dan diakui bahwa teologi kita adalah teologi tulisan. Aspek teoritis tidak heran menjadi fokus utama pembelajaran kita.

Kegalauan teologi justru berawal dari sini. Dari teologi kita yang adalah teologi sekolahan atau teologi hafalan.

Keterjebakkan dalam kedua model ini “sekolahan” dan “hafalan” ini membuat kita tidak bisa menjadi teolog atau calon teolog yang kreatif dan bisa menemukan sendiri suatu bentuk teologi yang autentik, padahal kita telah dibantu dan dilatih dalam teologi proyek, teologi kontekstual atau sejenisnya untuk bisa berteologi.

Ilustrasi: Gubug Romo Mangun di bibir Pantai Grigak Gunung Kidul kurun waktu 1986-1990 –Ist

Pada dasarnya, teologi itu mengajari kita untuk berpikir dan berefleksi. Tapi kadang kita hanya berhenti pada diskursus teologi sebagai “technical dicipline” sehingga tidak dapat membantu dan membuat orang tidak tahu akan apa yang bisa direfleksikan dari teologi.

Teologi justru jatuh pada omongan manis dan indah yang tidak menyentuh realitas dan tidak bisa menjawab banyak pertanyaan.

Teologi kita seolah terbatas dan terkungkung dalam sangkar, kamar, tembok biara dan pikiran kita sendiri. Kita menjadi tidak tahu apa yang terjadi dan pergulatan hidup semacam apa yang sedang dihadapi sesama kita.

Berteologi sebenarnya mengangkat pergulatan-pergulatan praksis seperti ini, apalagi dalam konteks kita di Indonesia.

Meminjam kata-kata Steve Jobs yang pernah mengatakan: “Teolog itu konsumer dan bukan produser”.

Dalam arti bahwa berteologi itu pertama-tama bukan apa yang aku, kita pikirkan, tapi apa yang dipikirkan oleh umat. Maka teologi harus lebih bersifat pastoral dan jangan lebih dogmatik yang justru semakin melebarkan jurang antara: doktrin, ritus, struktur dan realitas.

Kegalauan teologi tidak hanya berhenti di situ, tapi akhir-akhir ini makin nampak pada beberapa realitas hidup menggereja.

Rasa saya, teologi tidak boleh merasa aman, meski sekarang keadaan Gereja kelihatan aman dan menggembirakan.

Gereja-gereja penuh. Koor hidup. Doa dan devosi adorasi ekaristi lancar. Imam-imam dihargai dan dihormati umatnya.

Ilustrasi – Niat untuk refleksi.

Teologi harus curiga

Teologi seharusnya tidak harus berhenti saja, karena keamanan dan kemapanan ini. Teologi harus selalu curiga. Teologi harus selalu merasa resah dengan segala yang ada di sekitarnya.

Oleh karena itu, rasa-rasanya teologi harus berani memecah kesempitan akalnya sendiri dan mulai belajar untuk terbuka pada yang lain, terbuka pada pikiran-pikiran baru ataupun pada agama yang lain.

Misalkan saja dalam konteks kita (baca: Indonesia), bila teologi kita hanya asyik dengan ajaran dan ilmunya sendiri dan tidak menyentuh realitas atau agama lain, maka teologi kita sudah berada di ambang “kematian suri”.

Teologi harus berani melawan tantangan ini.

Keberanian itu nampak dalam keberanian untuk keluar dari dirinya. Maka pokok-pokok teologi tak hanya lagi soal dogmatik, ekaristi, hukum gereja, teologi sistematik, eksegese, atau pun moral.

Kegalauan teologi menjadi nyata, bila kita hanya ada dalam lingkaran ilmu-ilmu Kristiani saja.

Maka teologi harus berani berwacana secara interdisipliner dengan ilmu dan agama-agama lain entah itu sejarah agama-agama, sosiologi agama-agama juga dengan filsafat dan ilmu budaya.

Kardinal Carlo Martini SJ.

Pada akhir tulisan ini, saya suka dan kembali mengutip kata-kata Kardinal Carlo Maria Martini, beberapa hari menjelang kematiannya.

Kata Kardinal Martini: “The Church was 200 years behind the times”.

Liturgi Gereja memang megah dan meriah, busananya gemerlap indah, tapi berhadapan dengan zamannya, Gereja sendiri sesungguhnya kehilangan nyali dan menjadi penakut.

Mengutip Karl Rahner pula, Kardinal Martini mengatakan: “Gereja sekarang seperti bara api yang tidak kelihatan nyalanya lagi karena tertutup abu. Kita mesti menyingkirkan abu itu, sampai kita bisa menemukan apinya lagi”.

Rasa-rasanya, Gereja, teologi dan para teolog sekarang juga sedang lelah dan berbeban berat dengan sikapnya yang harus membela struktur keseragaman, yang demikian mewarnai zaman ke zaman.

Itulah sebabnya di tengah tuntutan keanekaragaman zaman, Gereja, teologi dan para teolog cukup terseok-seok (bisa dibaca: galau), dalam membangun komunikasi di dalam dirinya sendiri maupun dengan dunia di luar dirinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here