In Memoriam Romo Sutopanitro Pr: Pejuang Kaum Tertindas (6A)

0
237 views
Seminaris Suharyoso alias Sutopanitro (ke-4 dari kiri) saat bersekolah di Seminari Menangah KAJ di Tangerang tahun 1952. (Dok Romo Sutopanitro Pr via Romo Simon Lili Tjahjadi Pr)

ROMO Stanislaus Suharsoyo Sutopanitro Pr -akrab disapa: Rm. Suto- lahir di Wedi, Klaten, 16 Mei 1934. Karena terlambat mendaftarkan diri di Seminari Mertoyudan, Suto kecil lalu diajak oleh kakaknya, seorang karyawan Departemen Pendidikan dan kemudian tinggal bersamanya di Jakarta. Katanya waktu itu, kakaknya akan mengantarkan dan nanti diperkenalkan dengan P. Looymans SJ yang katanya akan menyiapkan Suto masuk seminari nantinya.

Tapi ternyata Suto remaja diminta belajar di SMA biasa dulu, yakni di SMA Budaya di Matraman, Jakarta Timur. Setelah sempat satu tahun bersekolah di sini, Suto yang tujuannya ke Jakarta adalah untuk masuk seminari dan menjadi imam itu, merasa tidak cocok dengan sekolah umum ini.

Ia pun keluar dari situ,dan masuk ke Seminari Menengah Jakarta yang baru saja diselenggarakan di kompleks Gereja Santa Maria Paroki Tangerang sekarang, setelah sebelumnya diadakan secara agak darurat di dekat pastoran Gereja Katedral, yakni di tempat berdirinya aula paroki Katedral sekarang ini.

Seminari Menengah KAJ di Tangerang

Seminari Tangerang ini didirikan tahun 1952 oleh Uskup KAJ waktu itu yakni Mgr. Willekens SJ. Namun kemudian malah ditutup oleh Uskup KAJ penggantinya yakni Mgr. Djajasepoetra setahun sesudahnya. Antara lain lantaran jumlah seminarisnya hanya sedikit.

Romo Suto dan semua seminaris lainnya dari Seminari Menengah KAJ di Tangerang kemudian dipindahkan ke Seminari Mertoyudan dengan status sebagai “seminaris Jakarta“. Maka setelah tamat dari Seminari Menengah Mertoyudan dan mau melanjutkan formasinya menjadi imam, Suto remaja lalu dikembalikan oleh P. van der Putten SJ, Rektor Seminari Mertoyudan saat itu, kepada Keuskupan Jakarta lagi dan menjadi calon imam KAJ yang menempuh studi filsafat dan teologinya di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan di DI Yogyakarta.

Tanggal 2 Juli 1963, Romo Suto menerima Sakramen Imamatnya dan ditahbiskan menjadi imam di Gereja Santo Antonius Padua Paroki Kotabaru Yogyakarta. Berikutnya, ia kembali ke Jakarta menjadi pastor rekan di Gereja Katedral Jakarta.

Menjadi pastor almusenir

Namun sejarah hidupnya berjalan lain, tatkala pada tahun 1967 Uskup KAJ waktu itu yakni Mgr. Djajasepoetra SJ kemudian menugasi Romo Sutopanitro menjadi pastor untuk melayani tentara. Semula ia amat keberatan dengan penugasan itu, sebab katanya: “Saya ini orang keras, dan hati saya dari batu. Saya tidak mau bahwa pelayanan untuk kalangan tentara malahan akan memperparah sikap keras saya.“

Namun demi ketaatan, ia menerima tugas itu juga pada akhirnya. Tapi siapa menyangka. Justru lewat ketaatan pada penugasan ini, Romo Suto malahan berkenalan dengan nasib buruk para tapol, khususnya dari keluarga (mantan) tentara yang dipenjarakan sebagai tahanan politik (tapol) lantaran tersangkut perkara G30S.

“Lewat pelayanan terhadap mereka dan keluarganya, saya malahan mengalami banyak peristiwa yang membuat hati saya terhenyak dan tersentuh. Saya kini melihat bahwa ketaatan pada penugasan dari uskup dahulu merupakan providentia Dei (penyelenggaraan ilahi) yang malahan mengubah kekerasan hati dan pribadi saya,“ kata Romo Suto sekali waktu.

Romo Suto menjadi pastor tentara (almusenir) dari tahun 1967-1992; memiliki pangkat tituler terakhir Letnan Kolonel. Sejak pensiun dari dinas militer, ia menjadi pastor rekan di Gereja St. Yakobus Paroki Kelapa Gading – suatu paroki padat dan dinamis yang kelahirannya ikut ia bidani bersama alm. Romo Wiyanto pada tahun 1976-1977. (Berlanjut)

Baca juga: In memoriam Romo Sutopanitro, keluarga dengan lima imam dan empat suster (5)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here