
AWAL Program Sosial Kardinal Darmojuwono.
Kesadaran bahwa Gereja Katolik Indonesia tidak boleh tinggal diam terhadap nasib para tapol dan keluarga mereka yang distigmatisasi, telah mendorong Romo Stanislaus Sutopanitor Pr yang saat itu menjabat sebagai pastor tentara, kemudian membicarakan persoalan ini kepada Bapak Justinus Kardinal Darmojuwono, Uskup ABRI (kini: TNI) dan atasan langsung Rm. Suto juga saat itu.
Sebagai pastor tentara yang bertugas pada pembinaan rohani para anggota ABRI, termasuk juga anggota ABRI yang berada dalam Rumah Tahanan Militer (RTM), Romo Suto tahu betul nasib memprihatinkan dari para tahanan politik itu.
Hasil dari pembicaraan itu adalah dibentuknya Program Sosial Kardinal (dulu disingkat: PSK) pada tahun 1971 yang tugasnya antara lain memberikan pelayanan pastoral kepada para tapol.

Kendati tidak secara langsung, program ini nyatanya mendapat gayung bersambut dari pihak Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang waktu itu dikepalai oleh Pangkopkamtib Jenderal TNI Soemitro.
Jenderal ini langsung menunjuk Romo Suto secara khusus sebagai kordinator tim “pembina mental para tapol”. Dengan demikian, ia bisa leluasa keluar-masuk berbagai penjara dan Instansi Rehabilitasi (Inrehab). Istilah ini adalah nama sebutan bikinan Pemerintah Orde Baru saat itu untuk menamai tempat penahanan para tapol.
Romo Suto mulai aktif memberikan pelayanan kepada mereka dan keluarganya juga yang berada di rumah. “Karena karya saya seperti ini, banyak tentara dan rekan sekantor menjuluki saya ‘Pastor Tapol’; bahkan ‘Pastor Komunis’ – tentu sambil bergurau,” kata Romo Suto dengan senyuman.


Tweede klas priester
Namun kepada para tapol, Romo Suto lebih menampilkan diri sebagai imam – hal yang diakui olehnya bukan perkara mudah. “Mereka takut dengan seragam tentara yang saya kenakan”, katanya.
Posisi ini dirasakan Romo Suto sungguh sulit. “Seperti telur di ujung tanduk. Salah sedikit bisa bahaya,” ungkapnya sekali waktu,.
Akan tetapi imam diosesan yang saat memulai karyanya sebagai pastor muda pernah dihina sebagai tweede klas priester (imam kelas dua menurut istilah bahasa Belanda waktu itu) karena nama itu merupakan sebutan Gereja Kolonial terhadap imam diosesan pribumi saat itu oleh para pastor kulit putih, tapi juga “Belanda kulit hitam” waktu itu.
Namun, nyatanya Romo Suto terkenal tak pernah pantang menyerah dan kehendaknya sekeras baja. Dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati, sambil tetap waspada akan persoalan yang bisa datang dari posisinya ini, Romo Suto lama-kelamaan mendapatkan hati dari para tapol dan keluarganya di satu pihak. Juga memperoleh keleluasaan dari pihak militer terhadap pelayanannya pada pihak lain.
“Ada sembilan penjara di Jakarta yang saya layani; belum termasuk yang di luar Jakarta atau luar pulau.“ kata Romo Suto.

Perayaan Ekaristi, pelayanan utama di PSK
Pelayanan PSK, utamanya dengan perayaan Ekaristi, mulanya memang diberikan kepada para tapol beragama Katolik. Setelah itu, ia mulai menjadi penghubung antara para tapol di penjara dan keluarga mereka di luar yang selama ini saling kehilangan jejak satu sama lain.
Lama-kelamaan, pelayanan Romo Suto jadi meluas dan merangkul semua tapol; tidak ekslusif lagi untuk pihak Katolik. Di Jakarta saja waktu itu ada sekitar 20.000 keluarga.
Problem mereka dan keluarganya amat kompleks menyangkut ekonomi, kesehatan, pendidikan dan terutama soal psikologis. “Mereka itu kan dianggap ‘sampah’ masyarakat yang harus dijauhi dan dimusuhi,” jelas Rm. Suto.
Untuk membantu para keluarga tapol yang hidup hariannya mencekam, Romo Suto kali ini sudah mendapatkan bantuan dari para suster dan awam– yakni mengumpulkan mereka sepekan sekali agar bisa melakukan syering satu sama lain. Mula-mulanya berlangsung di salah satu susteran di Jakarta Barat. Karena jumlahnya makin banyak, lokasi syering bersama ini kemudian pindah ke aula Gereja Paroki Katedral Jakarta.
Selain itu, pada pekan yang lain ia mengajak keluarga tapol mengunjungi Kebun Binatang di Ragunan atau Taman Ria Senayan, Jakarta Pusat.

Romo Suto pernah juga menampung 39 bayi yang sebagian besar lahir di penjara-penjara perempuan, dan merawat bayi ini selama beberapa waktu pada semacam rumah penampungan di bilangan Tebet. “Malam hari saya bangun, membuatkan susu dan mengganti popok mereka,” ceritanya sambil tersenyum.
Ada dua hal yang membuat Romo Suto merasa terinspirasi dan bangga bercampur haru dari pengalaman pelayanannya selama ini.
Pertama, kesetiaan para isteri tapol menunggu suami mereka yang tengah mendekam di penjara, bahkan juga di daerah pembuangan seperti Nusakambangan atau Pulau Buru di wilayah Maluku Tengah.
Kendati kepastian bahwa mereka pulang terasa amat tipis, para keluarga tapol ini tidak sirna harapannya bahwa kelak mereka akan bersatu kembali. Hal yang sama diperlihatkan oleh para tapol sendiri di berbagai tempat penahanan.
Kendati diperlakukan kasar secara fisik dan mental, banyak dari mereka mempunyai ketabahan dan daya juang untuk tetap hidup yang tinggi dengan melakukan aktivitas fisik bahkan intelektual. misalnya dengan bertani atau membuat alat pertukangan, bermain musik, bahkan mengarang. Solidaritas di antara sesama tapol amat kuat.
Hal kedua yang membuat haru hati omo. Suto adalah pengakuan tulus dari pihak tapol dan keluarga mereka bahwa mereka sungguh mengalami “diwongke” (bahasa Jawa: martabatnya diakui dan dihormati – dimanusiakan) melalui pelayanan ini.
Ini jelas pengakuan yang diarahkan bukan saja kepada Romo Suto secara pribadi, namun juga kepada Gereja Katolik yang mengutus imamnya dengan tugas sangat spesial dan khusus ini. (Berlanjut)