
GARA-gara lagu lawas berjudul Mon Crédo yang dilantukan penyanyi kawakan Perancis bernama Mireille Mathieu, saya selalu ingat almarhum Theodorus Surasto Pramuji (1962-2025).
Kisah ceritanya sungguh sederhana. dan mungkin bagi almarhum Rasto, peristiwa sanja dolan ke kamar Bruder van Dooren SJ suatu malam itu tak terlalu mengesankan.
Bagi saya, ini sungguh meninggalkan karena. Karena bagi saya, lagu Mon Crédo membersitkan kesan mendalam bahwa bahasa Perancis itu memang indah. Kalau berhasil mengucapkan ejaan kata-kata dan kalimat bertasrif bertingkat-tingkat, maka ujaran bahasa ini menjadi indah di telinga. Belum lagi kalau lidah orang Jawa seperti penulis berhasil mengucapkan dan melantukannya lazimnya orang Perancis bicara bahasa ibunya.
Alkisah, Bruder van Dooren sengaja “memancing” kegairahan kami berdua agar bisa menikmati lagu dan budaya Perancis. Maka buru-buru dia ambil piringan hitam di mana tersaji koleksi lagu-lagu lawas berbahasa Perancis. Salah satunya adalah tembang Mon Crédo yang dinyanyikan oleh Mireille Mathieu.
Namun tembang yang indah ini anehnya sama sekali membuat Rasto bergeming. Tak beringsut. Ia tetap tak berminat mau belajar bahasa yang ucapannya menjadikan telinga saya ingin mendengar dan mendengarkan lagi.
Apalagi beberapa hari kemudian Br. van Dooren SJ juga “memamerkan” koleksi tembang-tembang lawas khas anak-anak Perancis seperti l’Eau Vivre karya Guy Beart (1958), Marie-Josée Neuville yang melantunkan Les Petites Pestes (1956) dan Gentil Camarade (1958). Lagi-lagi Rasto tak beringsut.
Akhirnya, Rasto benar-benar tidak berminat belajar bahasa Perancis seperti saya yang mulai tahun 1980-an ngebet luar biasa untuk menguasai bahasa dengan lantuan sangat indah ini.
Warung Soto Paku Buwono
Setelah sama-sama copot jubah dari perjalanan hidup menuju imamat, kami berdua tidak pernah menjalin kontak lagi. Sampai akhirnya sekali waktu, Rasto menghubungi saya ingin bersua kembali.
Saya sangat bersemangat merespon ajakannya untuk makan enak bersama. Maka kami pun bertemu makan enak di Warung Soto Semarang di Jalan Pakubuwono, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tahun itu kiranya 1995.
Saat itu, saya sedikit kaget dan tentu saja kagum bahwa Rasto kini sudah menjadi seperti pejabat tinggi di sebuah perusahaan swasta berkelas. Maklumlah, di tahun 1995 itu dia sudah bekerja di sebuah perusahaan -entah bergerak di bidang apa- di wilayah Gresik, Jawa Timur.
Ia datang dengan mobil sedan; ditemani seorang sopir. Ia tawari saya makan enak dan mahal – untuk ukuran saya waktu itu. Di tengah makan enak itu, Rasto banyak bicara tentang bisnis investasi finansial. Dan ia beberapa kali menyebut nama seorang pebisnis besar yang beberapa tahun kemudian -selain berbisnis dan menguasai jaringan media televisi- juga merabah ke dunia politik dengan mendirikan sebuah parpol.
Menghilang tanpa jejak
Saya tidak tertarik mengikuti kisah dari sang tokoh pebisnis ini. Lebih berminat mendengarkan bagaimana hidup Rasto pasca copot jubah. Tak banyak yang bisa dia ungkapkan saat itu dan tiba-tiba beberapa tahun kemudian dia malah “menghilang”.
Semua jalur komunikasi dengan Rasto tiba-tiba hilang. Email dan nomor HP susah dikontak. Bahkan dikirimi pesan apa pun tiada berbalas. Di mata saya tiba-tiba Rasto yang ramah dan hangat berubah menjadi “misteri” yang menimbulkan saya bertanya-tanya.
Orang mirip Rasto di gerbong KA
Setelah lebih dari 20 tahun tidak pernah bersua, tiba-tiba saya dibuat “kaget” ketika dalam dalam perjalanan menuju Semarang, kok saya seperti “melihat” Rasto lagi. Ia duduk persis di belakang jok kursi KA di mana saya dan Rasto rupanya duduk di dalam satu gerbong yang sama.
Sekilas, saya merasa kok kenal dengan “orang itu” tapi tidak berani bertanya siapa dia. Dalam hati, saya kepikiran jangan-jangan “orang itu” Rasto; lengkap dengan senyumnya yang khas dan brengos-nya yang tebal.
Keraguan kuat membuat saya tak beringsut dari rasa cuek. Tak bertegur sapa sama “orang” mirip almarhum Rasto. Bahkan ketika saya dalam perjalanan menuju Wisma Nazareth di belakang Gereja St. Athanasius Paroki Karangpanas Semarang, saya juga tidak peduli bahwa “Rasto” pun berangkat ke arah yang sama.
Barulah ketika kami berdua tiba di tempat yang sama dan Rasto menegur saya saat kami berdua bertemu di Refter, saya barulah ngeh beneran bahwa “orang itu” benar-benar Rasto. Reunian angkatan alumni Seminari Mertoyudan untuk KPP78 dan KPA81 -belakangan dikenal dengan sebutan Merto TuLus- berlangsung di Wisma Nazareth Karangpanas Semarang, 12-14 Juli 2019.
Tahun-tahun berikutnya, Rasto kembali “hilang”. Bertemu kembali saat kami reunian kecil di Wisma Mahasiswa Depok di mana waktu itu Romo Ignatius Swasono masih berkarya di sana. Dalam perjalanan menumpang mobilnya Yosi Sasono, maka di situ ada Rasto dan Widiatmoko. Kami bicara lancar layaknya kawan lama.
Widiatmoko kini sudah meninggal dunia dan Rasto pun menyusulnya beberapa tahun kemudian.
Tanpa ba-bi-bu lagi, tiba-tiba Rasto minta dibantu untuk menyelesaikan sebuah kasus kemanusiaan – seorang perempuan muda yang kata dia menjadi korban perdagangan orang di Kamboja. Atas kebaikan Sr. Fransiska CP dari Caritas Indonesia KWI, kasus ini menemukan solusi cepatnya.
Pertemuan terakhir 12 Agustus 2025
Pertemuan fisik terakhir dengan almarhum Rasto terjadi tanggal 12 Agustus 2025 di Plasa Bintaro, Tangsel, menemani pasutri Heri Respati dari Bali yang ada urusan di Jakarta. Dalam dua sesi pertemuan ini, Rasto datang bersama Ipung Marsudi (KPA81). Juga ada Yosi Sasono (KPA81). Dari Bandung datanglah Meiyanto (KPP78). Juga ada Doni Kamagi (KPP78) dari Cibubur. Saya bersama Kukuh (KPP85) datang belakangan.
Dalam reunian kecil ini, Rasto tampil seperti dulu sedia kala. Ceria, banyak cerita dengan senyum mengembang sana-sini. Tak ada firasat apa pun bahwa pertemuan kecil ini menjadi pertemuan terakhir saya dengan almarhum Rasto.
Kini Rasto sudah bersama Sang Khalik Pencipta Kehidupan. Rasto doakan saya dan teman-teman alumni KPP78 dan KPA81 yang masih lanjut dalam peziarahan sehari-hari ini.
Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam. (Selesai)
Baca juga: In memoriam Th. Surarto Pramuji, catatan kotbah dan kalung emas (3)