In Memoriam Th. Surasto Pramuji: Rawon dan Lotek Buatan Bu Kahar dari Panca Arga Magelang (1)

0
567 views
RIP Theodorus Surasto Pramuji, alumnus Seminari Mertoyudan KPP 78. (Merto Tulus)

MERTOYUDAN tahun 1978.

Sekali waktu di hari Minggu, para seminaris Seminari Menengah Mertoyudan mendapat kesempatan langka: ambulasi – istilah untuk waktu istirahat ketika mereka boleh keluar asrama. Di antara mereka ada seorang remaja dari Paroki Panca Arga, Surasto Pramuji – kelak dikenal sebagai pribadi bersahaja dengan tawa khasnya yang hangat plus kumis tebal.

“Dolan ke rumahku, yuk,” katanya sederhana.

Saya yang satu angkatan dengannya di Seminari (KPP 1978–1982) tak berpikir dua kali. Kami pun berjalan kaki melewati jalanan kecil di belakang kompleks seminari, menembus dusun-dusun di Mertoyudan, Pandansari, yang kala itu masih rimbun oleh pohon-pohon salak.

Rumah keluarga Surasto -atau Rasto begitu kami biasa memanggilnya- berada di kompleks militer Panca Arga, Magelang. Ayahnya seorang serdadu, sehingga keluarga mereka mendapat rumah dinas di sana. Tak jauh dari situ berdiri Gereja Paroki Panca Arga, tempat Romo Tjiptoprawoto Pr, pastor almusenir Angkatan Laut, melayani umat setelah pensiun dari TNI AL.

Bu Kahar

Di sepanjang perjalanan, kami melewati rumah Kabul dan almarhum Romo Krismanto Pr – yang kala itu dikenal sebagai juragan mebel. Tak lama, tibalah kami di rumah sederhana keluarga Rasto. Di situlah saya untuk pertama kalinya bertemu dengan sosok yang kemudian lekat dalam ingatan: Bu Kahar, ibunda Rasto.

Begitu kami tiba, Bu Kahar langsung menyambut dengan keramahan khas Jawa. “Mau makan, Le?” tanyanya.

Dan ketika ia menyebut menu hari itu –rawon dan lotek dengan congor sapi sebagai topping– saya tak mampu menolak. Sebagai anak seminari, makan enak dan kenyang bukanlah keseharian kami.

Maka hari itu terasa seperti pesta kecil di tengah kesederhanaan. Aroma kluwek dari rawon berpadu dengan rasa gurih lotek buatan Bu Kahar; semuanya disajikan dengan penuh kasih.

Itulah pertama kalinya saya mengenal menu lawuk enak bernama rawon ala Surabaya dan lotek dengan congor sapi – kombinasi yang sampai kini, hampir setengah abad kemudian, masih saya ingat.

Setelah makan, kami bahkan masih disuguhi cemilan pemberian Romo Tjiptoprawoto dari pastoran.

Ilustrasi: Menu lawuk enak Rawon khas Surabaya. (Ist)
Lotek yang sedikit berbeda dengan pecel. (Kompas.com)

Yani dan Murti

Saya masih ingat keluarga Rasto dengan jelas: adiknya, Yani, waktu itu masih duduk di SMP Katolik Magelang, dan si bungsu Murti, siswa SD kelas 3 atau 4. Belakangan, Murti juga menempuh jalan panggilan religius — ia menjadi imam Jesuit dan dikenal sebagai ahli perfilman sebelumnya di Studio Audio Visual PUSKAT dan kemudian di Universitas Sanata Dharma.

Namun bagi saya, kenangan paling kuat tentang almarhum Theodorus Surasto Pramuji (1962-2025) bukan hanya kisah panggilan atau keluarganya. Melainkan aroma rawon, pedesnya lotek dengan congor sapi, dan tawa hangat di rumah Bu Kahar hari itu – sebuah momen sederhana yang mengikat persahabatan kami sepanjang masa di Seminari Mertoyudan kurun masa tahun 1978–1982. (Bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here