“MAS Rasto,” begitu saya biasa memanggilnya – panggilan akrab untuk almarhumTheodorus Surasto Pramuji (1962-2025) sahabat seangkatan ketika kami kuliah di IFT Kentungan dan Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta.
Kami memang tidak pernah bertemu saat di Seminari Mertoyudan, karena berbeda angkatan. Rasto KPP 78 dan saya KPP79. Namun, di Kentungan, persahabatan kami malah bisa terjalin erat.
Saya masih ingat satu kebiasaan kecilnya yang sederhana, tapi begitu berkesan. Setiap kali saya tidak ikut Misa pagi, Mas Rasto selalu meninggalkan secarik kertas berisi catatan kotbah hari itu. “Hardi, kotbah hari ini bagus, yaitu tentang…” begitu selalu ia tulis dengan tulisan tangannya yang khas.
Catatan-catatan pendek itu saya simpan rapi di buku harian. Kini, setiap kali mengingatnya, saya seakan mendengar kembali suaranya yang lembut dan ramah.
Sahabat yang menyapa dan menghidupkan
Suatu liburan kuliah, Mas Rasto ikut saya pulang ke rumah di Jakarta. Ia cepat akrab dengan kedua orangtua saya. Sampai hari ini, ayah saya masih mengingatnya dengan hangat. Ketika pagi tadi saya mengabarkan kabar duka tentang kepergiannya, ayah saya terdiam lama, terkejut, dan tampak kehilangan.
Selepas tahbisan, kami sempat kehilangan kontak. Saya hanya mendengar kabar bahwa Mas Rasto pernah menjadi pamong di Seminari Mertoyudan mulai tahun 1990-an dan sempat bertugas pastoral di Binjai, Sumatera Utara.
Perjumpaan kami yang berikutnya justru terjadi setelah almarhum tanggalkan jubah meninggalkan imamat. Ia yang lebih dulu mencari tahu di mana saya tinggal, lalu datang berkunjung beberapa kali.
Kalung emas dan persahabatan yang tak lekang
Suatu hari, Mas Rasto datang lagi. Wajahnya tenang, tapi dari sorot matanya saya tahu ia sedang memikul beban. Dengan suara lirih, ia meminta bantuan. Ia ingin menyerahkan kalung emasnya sebagai jaminan pinjaman yang kelak akan dikembalikannya.
Saya menolak menerimanya. Saya membantunya tanpa syarat, dengan ikhlas. Kalung emas itu, bagi saya, adalah simbol ketulusan dan kejujuran seorang sahabat yang pernah menaruh percaya.
Mas Rasto dikenal sebagai pribadi yang pandai, kritis dalam berpendapat, namun juga rendah hati dan hangat. Ia supel, murah senyum, dan selalu menjadi orang pertama yang menyapa. Saat saya pindah ke Lippo Cikarang, ia bahkan menyempatkan diri dua kali datang berkunjung.
Momen-momen yang menggugah
Saya tidak menyangka bahwa Mas Rasto akan dipanggil Tuhan secepat itu. Belum lama ini, kami juga kehilangan satu lagi teman seangkatan, Mas Wageyono.
Dalam duka yang berlapis, saya teringat pada kata-kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 7: “Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup – yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah.”
Selamat jalan, Mas Rasto.
Terimakasih atas catatan kotbahmu. Atas kalung emas yang tak pernah saya terima tapi selalu saya kenang, dan atas persahabatan yang sederhana namun dalam.
Berkah Dalem.
Baca juga: In memoriam Theodorus Surasto Pramuji, Yani naik pentas drama Hansel and Gretel (2)