PASANGAN muda itu nyaris putus asa. Pandemi Covid-19 mencampakkan mimpi indah hidup keluarga barunya. Sudah dua tahun tidak bekerja dan usaha memperoleh pekerjaan baru yang bak tanpa harapan memperbesar rasa gusar.
Dalam situasi seperti itu, siapa yang berani mengatakan kepada mereka bahwa semua indah pada waktunya? Tatkala diajak merenungkan tentang 40 tahun perjalanan bangsa Israel di padang gurun, mereka spontan menjawab, “Kami tidak mau dalam situasi ini 40 tahun.”
Masuk akal. Bukankah bangsa Israel juga mengeluh dan menolak pengalaman itu?
Semua ada waktunya, karena Tuhan telah mengaturnya secara tepat (Pengkhotbah 3: 1-11). “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3: 11).
Manusia kerap gagal menyelami pekerjaan Tuhan, antara lain karena memandang hidup secara kurang seimbang. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; tetapi manusia hanya ingin tertawanya saja. Ketika diliputi duka, mengira bahwa di luar sana sukacita sama sekali sudah tak ada.
Di mata Tuhan, manusia yang tak ubahnya seperti angin dan hari-harinya bagai bayang berlalu itu (Mazmur 144: 4) amat berharga. Siapakah manusia sehingga Tuhan selalu mengingatnya (Mazmur 144: 3)?
Kini waktunya melihat dan menjalani hidup secara adil; menerima sisi terang dan gelapnya; memeluk suka dan dukanya. Pernahkah Tuhan membiarkan seluruh hidup manusia berisi kesulitan dan penderitaan semata?
Bukankah segala yang negatif dan terasa menyakitkan kerap menjadi proses dan sarana hadirnya sesuatu yang baru, indah, dan membahagiakan (bdk Yohanes 12: 24)?
Injil hari ini (Lukas 9: 18-22) mengingatkan akan semangat itu. Yesus mengajar untuk memasuki kebangkitan lewat sengsara dan kematian.
“Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”.(Lukas 9: 22).
Kematian, ratap tangis, dan kehilangan ada bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengajar orang agar mampu menghargai yang sebaliknya dan mengalaminya dengan penuh syukur.
Singkatnya, derita dan kematian yang disatukan dengan sengsara dan wafat-Nya berujung pada kebangkitan. Saat merayakan kebangkitan orang sadar bahwa hidup itu memang indah pada waktunya.
Jumat, 23 September 2022
Peringatan Santo Pius dari Pietrelcina