- Yohanes 16:12-15
REKAN-rekan yang baik,
Injil Yohanes 16:12-15 yang dibacakan pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus tahun ini menyoroti kesatuan daya-daya ilahi yang menyertai para murid.
Petikan ini merupakan bagian dari amanat perpisahan Yesus, yang disampaikan seusai Perjamuan Malam Terakhir, sebelum Ia pergi ke Taman Getsemani.
Seperti pernah diuraikan dalam refleksi Minggu Paskah VI, pasal 15–17 Injil Yohanes berisi inti pewartaan Injil ini.
Meski para murid belum mampu menanggung semua yang hendak disampaikan Yesus (Yoh 16:12), Ia menjanjikan bahwa Roh Kebenaran akan datang dan membimbing mereka ke dalam seluruh kebenaran.
Roh Kebenaran
Roh Kebenaran akan membuat para murid mengenal siapa Yesus yang selama ini mereka ikuti. Roh inilah yang memungkinkan manusia menemukan Allah Yang Mahakuasa di tengah-tengah kehidupan.
Allah yang transenden, yang tak terjangkau dan menggentarkan, kini menjadi nyata dan dapat dikenali dalam diri Yesus.
Para murid belum sanggup memahami ini sepenuhnya, tetapi daya Ilahi -yakni Roh Kebenaran- akan memampukan mereka untuk masuk dalam kebenaran yang penuh.
Yesus sendiri, dalam pengadilan di hadapan Pilatus, bersaksi bahwa Ia datang ke dunia untuk menyatakan kebenaran (Yoh 18:37).
Namun respons Pilatus, “Apakah kebenaran itu?” (Yoh 18:38a), menandakan bahwa tanpa bimbingan dari Roh, manusia tidak akan sanggup menangkap kebenaran itu, meskipun sudah berada di hadapan-Nya.
Itulah ironi yang hendak disoroti Injil Yohanes: tanpa pencerahan dari atas, kebenaran akan tetap samar.
Kesatuan daya-daya ilahi
Misteri Tritunggal Mahakudus dapat didekati sebagai kesatuan antara asal, penyampai, dan penerus daya-daya ilahi. Allah sebagai sumber daya ilahi dapat ditemukan dalam pelbagai pengalaman religius. Namun, Dia tetap akan menjadi “Deus absconditus” – Allah yang tersembunyi.
Keberadaan-Nya dapat diandaikan oleh akal budi dan pengalaman mistik, namun tetap tak dapat dikenali secara pribadi.
Yesus datang memperkenalkan Allah yang jauh itu sebagai Bapa yang dekat. Dalam Injil Yohanes, ditekankan bahwa hanya Sang Putera yang melihat Bapa. Maka, siapa yang melihat Putera, melihat Bapa. Yesus, yang hidup, wafat, dan bangkit, menjadi wujud nyata dari Allah yang tak kelihatan. Dengan demikian, “Deus absconditus” menjadi “Deus revelatus” – Allah yang menyatakan diri.
Yesus membawa daya-daya ilahi ke tengah manusia: penyembuhan, pengampunan, pembebasan dari kuasa dosa. Dan ketika Ia tidak lagi hadir secara fisik, Roh Kebenaran hadir sebagai penerus daya ilahi itu.
Roh inilah yang membuat Allah tetap hadir dalam kehidupan umat manusia: dalam keadilan, rekonsiliasi, belas kasih, dan semua tindakan kasih sejati.
Roh itulah yang menjembatani antara Allah yang jauh dengan pengalaman nyata manusia yang rapuh.
Spiritualitas kristiani
Kepekaan untuk mengenali kehadiran ilahi dalam batin manusia merupakan dasar dari segala bentuk spiritualitas. Kepekaan ini bersifat alamiah, seperti kemampuan berbahasa. Namun, seperti halnya tidak semua orang dapat menjadi sastrawan, tidak semua orang mampu mengembangkan spiritualitas sejati tanpa bimbingan.
Spiritualitas Kristiani bertumpu pada pengalaman akan kesatuan daya-daya ilahi seperti yang diwahyukan oleh Kristus dan diterangi oleh Roh Kudus. Maka spiritualitas Kristiani tidak berhenti pada pengalaman religius yang umum, melainkan berakar pada perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus.
Dialah yang membawa manusia kepada pengenalan akan Allah sebagai Bapa yang penuh kerahiman.
Perbedaan pengalaman religius dan spiritualitas kristiani
Di sini letak perbedaan antara pengalaman religius dan spiritualitas Kristiani:
- pPengalaman religius dapat mencukupi secara emosional, tetapi hanya dengan mengikuti Kristus.
- Pengalaman itu disempurnakan menjadi kerohanian sejati.
Gereja dan kerohanian yang utuh
Kehadiran Gereja tidak cukup hanya menumbuhkan pengalaman religius.
Gereja menjadi bermakna ketika dapat menuntun umat pada kerohanian yang utuh, yakni yang berakar pada Kristus dan terbuka pada bimbingan Roh Kudus. Dengan demikian, Gereja membantu umat mengalami kehadiran Roh Kebenaran yang terus bekerja dalam sejarah.
Spiritualitas Gereja diperkaya oleh warisan tarekat-tarekat religius.
Sebaliknya, krisis dalam Gereja sering kali bermula dari kemiskinan kehidupan spiritual yang tidak lagi menyapa manusia zaman ini. Maka spiritualitas sejati harus selalu mencari bentuk baru untuk menyapa dunia: melalui advokasi kaum kecil, pembelaan terhadap perempuan, pelayanan bagi para pengungsi, pembangunan keadaban dalam masyarakat majemuk, pembaruan teologis, dan pencarian tafsir Kitab Suci yang segar dan hidup.
Spiritualitas yang hanya berputar dalam pengalaman batin belaka tanpa bersentuhan dengan realitas akan menjadi steril. Gereja semacam itu perlahan akan kehilangan daya hidup dan hanya menjadi monumen sejarah.
Salam hangat,
A. Gianto