- Luk 9: 11b-17
- Rekan-rekan yang budiman,
KISAH Yesus memberi makan lima ribu orang dalam Lukas 9:11b–17 dibacakan pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus tahun C.
Peristiwa ini juga hadir dalam Injil Matius (14:13–21), Markus (6:30–44), dan bahkan Injil Yohanes (6:1–14), meskipun Yohanes menempatkannya dalam konteks pewartaan Yesus sebagai “roti hidup”.
Uniknya, ketiga Injil Sinoptik mencatat kisah ini setelah kabar kematian Yohanes Pembaptis diterima Yesus, namun Injil Lukas menampilkan kekhasan yang penting untuk diperhatikan.
Yang Khas dalam Lukas
Lukas mengaitkan mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini secara langsung dengan perutusan dua belas murid (Luk 9:1–2). Mereka diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah dan menyembuhkan orang sakit, bukan berdasarkan keterampilan pribadi, melainkan atas dasar “kuasa dan wibawa” yang diberikan oleh Yesus.
Menariknya, hanya Lukas yang mengaitkan secara eksplisit pengalaman kerasulan itu dengan peristiwa pemberian makan orang banyak.
Kita membaca dalam Lukas 9:10 bahwa para murid baru saja kembali dari misi mereka. Yesus membawa mereka ke Betsaida—mungkin untuk beristirahat dan berefleksi bersama.
Namun orang banyak mengikuti mereka, karena mereka telah mengalami kuasa dan penyembuhan melalui para murid. Kini, mereka ingin mendekat ke Sumber kuasa itu sendiri: Sang Guru.
Berkerumun di Betsaida: Sebuah kenduri yang tak disangka
Murid-murid yang baru saja kembali dari “merasul” mungkin membayangkan momen kenduri kecil: semacam slametan sederhana bersama Sang Guru, untuk merayakan keberhasilan misi mereka.
Wajar bila mereka ingin menyendiri sejenak, mengisi ulang batin setelah pelayanan intens.
Namun Lukas menunjukkan realitas lain. Orang banyak yang mendengar kabar mukjizat dan kesembuhan tidak tinggal diam. Mereka datang berkerumun.
Bagi mereka, inilah kesempatan langka: berada di tengah para penyembuh, di sekitar Sang Guru, di mana dynamis (tenaga) dan eksousia (kuasa) ilahi terpancar.
Mereka tidak datang karena doktrin atau argumen teologis, tetapi karena harapan akan hidup.
Bagi mereka, Kerajaan Allah bukan ide abstrak, melainkan kehadiran nyata yang memberi semangat, menyembuhkan luka, menguatkan jiwa. Pencarian seperti ini, walau tanpa kata-kata, adalah pengakuan akan Allah yang hadir.
Dan bagi Lukas, Kerajaan Allah justru hadir dalam pengalaman hidup seperti inilah. ‘
“Kamu harus memberi mereka makan”
Ketika murid-murid meminta agar orang banyak dibubarkan, Yesus menjawab, “Kamu harus memberi mereka makan!” (Luk 9:13).
Perkataan ini kerap ditafsirkan sebagai ajakan Yesus untuk menumbuhkan tanggung jawab sosial murid-muridnya. Namun kita juga bisa membacanya lebih manusiawi: sebagai undangan untuk membuka kenduri kecil mereka agar menjadi perjamuan bersama.
Yesus tampaknya hendak mengatakan: “Ayo, undang mereka masuk. Jangan hanya kita yang berpesta. Bukankah kita ada di Betsaida, kota yang kalian kenal baik, tempat usaha lama kalian? Kalian punya kenalan, jaringan, dan sumber daya untuk menjamu mereka.”
Bacaan seperti ini mengangkat Injil dari langit ke bumi – membumi dalam relasi dan realitas hidup. Bahkan murid-murid pun berusaha mencari jalan: mereka punya lima roti dan dua ikan, dan jika perlu bisa membeli tambahan makanan.
Filipus, yang disebut dalam Injil Yohanes sebagai murid asal Betsaida (Yoh 1:44), mungkin yang paling repot sebagai “tuan rumah lokal”.
Ketika Yesus menyodorkan kemungkinan perjamuan besar, para murid pun dilibatkan secara utuh—dengan akal sehat, tanggungjawab, dan rasa peduli.
Perjamuan yang membuka mata dan hati
Kisah Lukas mencapai puncaknya ketika Yesus mengambil lima roti dan dua ikan, menengadah ke langit, mengucap syukur, memecah-mecahkannya, dan membagikannya kepada para murid, untuk diteruskan kepada orang banyak (Luk 9:16).
Tindakan ini bukan sekadar pembagian makanan—ia adalah tanda dari kehadiran Allah yang memberi kehidupan.
Lukas akan mengulangi tindakan serupa dalam kisah para murid Emaus (Luk 24:30–31).
Saat Yesus memecahkan roti, mata mereka terbuka: mereka mengenali Dia yang bangkit. Dan dalam keterpukauan itu, Yesus menghilang, meninggalkan mereka dengan kegembiraan dan semangat baru.
Maka, pemecahan roti bukan hanya tindakan praktis, tapi juga sakramental—membuka hati pada kehadiran Tuhan.
Tak heran bila Gereja Perdana menjadikan kisah ini dasar Perayaan Ekaristi.
Dalam Kisah Para Rasul, kita membaca bahwa para murid “bertekun dalam pemecahan roti”, berbagi milik, dan bersukacita dalam kebersamaan (Kis 2:44–46).
Ekaristi bukanlah ritual formal, melainkan agape -perjamuan kasih- yang menjadi nyata dalam hidup bersama.
Ekaristi: tanda keberlimpahan dan kehadiran
Lukas mengakhiri kisahnya dengan catatan bahwa semua makan sampai kenyang, dan masih tersisa dua belas bakul penuh (Luk 9:17).
Ini bukan hanya keajaiban logistik, melainkan tanda bahwa dalam perjamuan Tuhan, selalu ada cukup—cukup untuk semua, bahkan yang belum hadir.
Dua belas bakul sisa itu seolah menyimpan berkat bagi siapa saja yang kelak akan dijumpai oleh para rasul. Termasuk kita.
Ekaristi menjadi tanda bahwa Kristus yang bangkit terus hadir, memberi kehidupan, mengundang semua orang masuk dalam perjamuan kasih.
Ia tak sekadar memberi makan, tapi menjadi makanan. Ia tak sekadar menyatukan, tapi menjadi sumber kesatuan.
Penutup: Sebungkus roti dari anak kecil
Dalam Injil Yohanes, ada detail menarik: Andreas menemukan seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan (Yoh 6:9).
Mungkin ibunya menyuruhnya membawa bingkisan kecil itu sebagai tanda terima kasih. Dan dari pemberian kecil itu, dengan berkat Tuhan, lahirlah jamuan bagi semua.
Bahkan catatan bahwa “di tempat itu banyak rumput” (Yoh 6:10) pun punya makna.
Siapa makan rumput? Domba.
Maka, orang banyak itu seperti domba yang duduk berkerumun di padang hijau. Dan Sang Gembala Baik – Yesus- menyediakan makanan bagi mereka.
Ekaristi hari ini membuka mata dan hati kita, agar kita juga menjadi roti yang dipecah, dibagikan, dan memberi hidup bagi sesama. Amin.