Home BERITA Injil Minggu Biasa XXXI/C: Kok Dia Numpang di Situ

Injil Minggu Biasa XXXI/C: Kok Dia Numpang di Situ

1
IIustrasi (Ist)
Zacheus welcomes Jesus - Luke 19:1-10

Luk 19:1-10

REKAN-rekan pemerhati kisah Zakheus.

Peristiwa yang dikisahkan dalam Luk 19:1-10 dan dibacakan pada hari Minggu Biasa XXI tahun C ini tidak asing lagi bagi kita.

Dalam perjalanannya menuju ke Yerusalem, Yesus singgah di Yerikho dan menumpang di rumah kepala pemungut cukai yang bernama Zakheus.

Kejadian ini membuat orang banyak kurang senang.

Mereka menggerutu (ayat 7), “Ia menumpang di rumah orang berdosa.”

Tapi Yesus menegaskan (ayat 9-10), “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada seisi rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia (= Diri-Nya, yakni Yesus) datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”

Apa maksudnya?

Dan apa tujuan Lukas menceritakan peristiwa ini?

Yang kehilangan arah

  Ungkapan “yang hilang” (ayat 10) itu maknanya “yang kehilangan arah dan mengalami bahaya maut”.

Yesus menerapkan gagasan itu kepada Zakheus. Memang di mata orang banyak orang ini “kehilangan arah” dan sudah tak tertolong lagi.

Bayangkan, seorang Yahudi yang bekerja memungut cukai dari bangsa sendiri bagi penguasa asing. Pekerjaan ini dianggap kotor.

Memang tak sedikit dari mereka yang menjadi kaya dengan memeras. Zakheus bukan hanya seorang pemungut cukai, ia kepala pemungut cukai. Lukas juga menyebutnya sebagai orang kaya.

Pembaca Injil ini dapat membayangkan bagaimana anggapan orang banyak mengenai si Zakheus ini. Ia pendosa besar. Ia sudah terhukum di mata banyak orang.

 Namun Lukas juga menyiapkan pembacanya agar mengerti apa yang sedang terjadi pada Zakheus.

Dalam Luk 15:1-7 dicatatnya perumpamaan domba yang sesat. Dari tiga ayat pertama jelas bahwa perumpamaan itu disampaikan Yesus untuk menanggapi gerutuan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang melihatnya

bergaul dengan para pemungut cukai dan pendosa lainnya. Kelompok yang dijauhi oleh orang-orang yang merasa diri saleh ini diumpamakan sebagai seekor domba yang tersesat – tidak menemukan jalan yang ditempuh ke-99 ekor lainnya. Tetapi pemilik kawanan domba tadi merasa kepunyaannya tidak lagi utuh – tidak lagi bulat seratus – bila satu saja hilang. Maka ia pergi mencarinya sampai ketemu.

Dan ia baru lega ketika menemukannya kembali. Ia bahkan mengajak handai taulannya ikut bersukacita. Kata yang dipakai untuk menyebut domba yang hilang dalam Luk 15:4 itu – “to apoloolos” – sama dengan yang digunakan untuk mengibaratkan Zakheus dalam Luk 19:10.

Ajakan bernalar

Perumpamaan mengenai domba yang sesat itu menggambarkan kesungguhan Tuhan untuk membuat kawanannya utuh kembali.

Orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang merasa diri saleh dan tahu kehendak Tuhan diminta agar berusaha melihat apa yang sungguh dilakukan Tuhan kepada manusia dan tidak hanya puas dengan praktek kesalehan dan rumusan doktrin mereka sendiri.

Kini dalam kisah Zakheus, bukan hanya mereka yang dihimbau, melainkan juga orang banyak, termasuk orang-orang yang mengagumi Yesus dan mengiringinya dari tempat ke tempat. Mereka ini mudah berubah sikap bila melihat tokoh yang mereka kagumi itu tidak menepati bayangan mereka.

Tetapi Yesus tetap mengajak mereka berpikir. Zakheus ini ialah domba yang kehilangan arah – tidakkah kalian iba?

Tidakkah kalian ingin agar kawanan menjadi utuh kembali, tanpa meninggalkan seorangpun mencari-cari arah dan menghadapi bahaya?

Apakah kalian tidak ingin ikut bergembira dengan pemilik kawanan tadi, dengan perempuan yang menemukan dirham yang terselip (Luk 15:8-10), dengan sang ayah yang mendapati anaknya yang hilang yang kini telah kembali (Luk 15:11-32)?

Putar haluan? Siapa yang mesti begitu?

 Zakheus bergembira karena rumahnya didatangi Yesus. Tentu ia juga sadar bahwa dengan tindakannya ini Yesus mempertaruhkan gambaran tentang dirinya sendiri di hadapan banyak orang.

Tapi Zakheus juga percaya bahwa public figure yang satu ini tidak membiarkan diri ditentukan oleh pandangan umum. Dari manakah integritas yang seperti itu? Pasti Zakheus bertanya-tanya dalam hati demikian. Ia tahu ada kekuatan yang mendampingi Yesus.

Dengan mendatanginya, Yesus berbagi kekuatan dengannya. Ia sendiri kini juga mendapatkan kekuatan tadi. Zakheus kini berani “putar haluan”.

Ia mau berbagi milik dengan orang miskin dan siap mengembalikan hasil pungutan liar empat kali lipat. Ini bukan hanya antusiasme sesaat belaka. Kesediaannya berbagi harta dan mengembalikan pungutan tak sah itu menjadi usahanya yang nyata untuk menelusuri kembali arah yang bakal membawanya pulang ke jalan yang benar.

 Apakah peristiwa di Yerikho itu dimaksud sebagai imbauan bagi pembaca agar berputar haluan seperti Zakheus?

Boleh jadi kita cenderung cepat-cepat menafsirkannya demikian. Tapi bila kita tempuh arah itu, warta petikan ini akan mudah terasa hambar karena tampil sebagai cerita contoh kelakuan baik belaka. Kita

malah akan ikut-ikutan menggarisbawahi sikap orang banyak yang mengadili Zakheus dan akhirnya juga mengadili Yesus sendiri.

Maklum, bagi orang-orang itu, satu-satunya jalan bagi Zakheus agar bisa menjadi lurus kembali ialah “bertobat”. Dan satu-satunya cara bagi Yesus untuk naik kembali dalam skala moral mereka ialah hanya bergaul dengan orang yang sudah bertobat, bukan pendosa lagi. Akan tetatpi Injil mengajak kita melihat ke arah lain.

Yang diharapkan putar haluan dan bertobat justru orang banyak tadi.

Dapatkah mereka melihat apa yang sedang terjadi kini? Utusan Tuhan yang sedang berjalan ke Yerusalem singgah menumpang di rumah orang yang tak masuk hitungan mereka. Maukah mereka berusaha menangkap isyarat ilahi ini? Bagaimana bila kita juga termasuk orang banyak itu?

Kata-kata Yesus pada akhir petikan ini (ayat 10) mendorong agar orang berani memikirkan pandangan mereka mengenai siapa dia itu dan apa yang dilakukannya.

Ia itu Anak Manusia, salah satu dari kemanusiaan yang diutus untuk mencari sampai ketemu dia yang kehilangan arah dan meluputkannya dari bahaya maut.

Ia diutus untuk melepaskan orang dari ikatan-ikatan yang menyesatkan, kedatangannya bukan untuk dielu-elukan belaka.

Menyelamatkan “seisi rumah”

Dikatakan penyelamatan terjadi “pada seisi rumah ini” (ayat 9). Ungkapan ini luas cakupannya. Yang dimaksud ialah siapa saja dan apa saja yang ada di situ: Zakheus, harta miliknya, dan… orang banyak juga.

Yang terjadi pada Zakheus sudah jelas. Kini giliran harta miliknya diselamatkan karena mendapat arti yang baru. Kekayaan yang tadi menyendirikannya kini dapat membuatnya mendapat banyak rekan.

Harta mati itu kini menghidupkan!

 Juga orang-orang yang tadi tidak puas melihat Yesus kini mau tak mau akan mulai memikirkan kembali kembali perangkat ukuran kesalehan mereka. Penyelamatan pun terjadi pada mereka.

Entah diterima atau tidak adalah tanggung jawab orang-perorangan. Itulah yang terjadi pada hari itu. Orang kini mau tak mau harus keluar dari persembunyian di balik pendapat umum, tidak lagi bisa jadi “orang banyak”.

Dalam teks aslinya, dipakai kata “sooteeria”, yang lebih baik diungkapkan kembali sebagai “penyelamatan”, dan bukan “keselamatan” karena yang ditekankan ialah kegiatan menyelamatkan bukan melulu hasilnya, yakni “keselamatan”.

Ini lebih dari sekadar latihan tatabahasa atau perkara terjemahan belaka.

Bila dipakai kata “keselamatan”, akan sulit dimengerti keselamatan terjadi pada orang banyak yang kurang suka menerima kelakuan Yesus tadi. Belum tentu mereka menerima keselamatan.

Tetapi bila yang tampil itu gagasan “penyelamatan”, maka akan lebih terang maksudnya. Yesus berusaha menyelamatkan orang banyak tadi dari anggapan-anggapan mereka sendiri mengenai kaum pendosa dan mengenai Tuhan.

Mereka menerima atau tidak adalah soal lain.

Abraham, bapak semua orang beriman

Zakheus diselamatkan karena ia pun anak Abraham. Tak sukar memahami maksud Yesus. Ia mengajak orang-orang yang merasa diri pewaris iman Abraham agar juga mau berlaku seperti Abraham sendiri, yakni mau membiarkan Tuhan leluasa menuntun orang di jalan-Nya dan tidak menghalang-halangiNya dengan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai apa yang harus dikerjakan-Nya atau apa yang tak sepantasnya diperbuatNya.

Dapatkah Warta Gembira hari ini dibawa ke zaman kita? Abraham, yang juga diucapkan sebagai Ibrahim itu, adalah bapak iman dalam tiga agama yang mengakui keesaan Tuhan.

Dia yang Mahaesa itu memperkenalkan diri dengan macam-macam cara kepada keturunan orang yang dikasihi-Nya itu. Boleh jadi lebih tepat dikatakan, Ia membiarkan diri dikenal dengan pelbagai cara untuk memperkaya manusia-manusia yang menghayati iman Abraham/Ibrahim.

Kebesaran-Nya tak bakal selesai diwartakan dan tak bakal tuntas diajarkan.

Tiap anak Abraham atau Ibrahim berhak mendapatkan yang diinginkan Yang Mahakuasa sendiri. Bagaimana dengan kenyataan yang kita lihat?

Ada keretakan, bahkan ada saling kebencian. Ironi. Namun tak perlu sisi suram kemanusiaan ini membuat orang mencari-cari wajah Tuhan yang mangkir. Dia masih ada dan masih sama, kerahimanNya masih ditawarkan bagi semua orang.

Dan syukurlah masih ada orang yang percaya akan hal ini. Dan kekuatan iman mereka ini membuat wajah Tuhan makin terlihat. Pemeluk iman yang dipercontohkan Abraham-Ibrahim dapat membuat wajahNya makin tampak.

 Salam hangat

A. Gianto

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version