REKAN-rekan yang baik,
Injil Minggu Biasa IV Tahun C, yakni Luk 4:21-30, amat erat hubungannya dengan petikan yang dibacakan Minggu lalu, yakni pengajaran Yesus di sebuah rumah ibadat di Nazaret. Orang-orang terpesona oleh pengajarannya tetapi mereka juga menginginkan dia berbuat mukjizat di situ seperti di tempat lain.
Yesus tidak menuruti keinginan mereka. Ia mengatakan bahwa Yang Mahakuasa mengutus Nabi Elia untuk menolong seorang janda di Tanah Sidon. Juga banyak orang kusta di Israel pada zaman Elisya, tapi hanya Naaman orang Siria disembuhkan.
Mendengar ini semua, marahlah orang-orang yang tadinya mengaguminya. Bahkan mereka menyeretnya keluar kota dan mau menjatuhkannya ke dalam tebing…
Apa arti kejadian ini?
Diskusi
ANI: Belum jelas Injil hari ini. Konteksnya kan Luk 4:21 seperti dibacakan hari Minggu yang lalu. Di situ ada dikatakan “Orang-orang membenarkan dia dan heran akan kata-kata yang indah yang diucapkannya…” Lalu mereka mulai kurang percaya dan berkata, “Bukankah ia ini anak Yusuf?”
LEX: Nanti dulu. Ungkapan “Bukankah ia ini anak Yusuf” jangan ditafsirkan sebagai ungkapan keraguan begitu saja. Lain sama sekali dari ungkapan mencibir seperti “Lha itu kan anaknya Minto Areng itu ta?” yang diucapkan orang di pasar ketika melihat Slamet anak Pak Minto penjual arang itu kini maju dalam pilkada.
ANI: Habis artinya apa?
LEX: Orang-orang di Nazaret sudah tahu betapa kondangnya Yesus. Mereka juga menyaksikan sendiri penampilannya di sinagoga mereka. Lalu mereka mbatin, lho, orang kita ini bikin macam-macam hal hebat di lain tempat. Kok tidak di sini lebih dulu. Dia itu kan anak Yusuf yang kita kenal itu. Masakan tidak ingat orang sekampung, mentang-mentang sudah jadi orang besar.
ANI: Apa ini juga menjelaskan perkataan Yesus selanjutnya?
LEX: Ia tahu orang-orang itu mengharapkan supaya ia membuat mukjizat di Nazaret. Mereka iri Yesus mulai di tempat lain, kok tidak di kotanya sendiri.
ANI: Ah sekarang jadi jelas mengapa Yesus kemudian juga berbicara mengenai Elia dan Elisya. Ia mau mengatakan, kalian ingat, nabi-nabi sakti zaman dulu pun tidak mengerjakan hal-hal besar di kampungnya sendiri, melainkan di wilayah lain dan bagi orang-orang luar. Tapi ini justru perkara yang membuatku heran. Kenapa ia tidak mulai di Nazaret?
LEX: Mereka mengharapkan yang tidak-tidak. Mereka mau melihat yang menakjubkan tok.
ANI: Maksudnya mereka menginginkan mukjizat?
LEX: Demam mukjizat memang penyakit kronik hidup beragama. Dan tuh, orang-orang Nazaret murka bagai kesurupan dan menyeret Yesus ke tebing mau menghempaskannya ke bawah.
ANI: Wah, wah, serem. Tadinya mengagumi kok sekarang malah mau bikin celaka ya?
LEX: Eh, kita jangan cuma kasih gong moral pada Injil! Mesti ditafsirkan dulu!
ANI: Lha gimana, wong saya tahunya cuma ini. Lupa-lupa ingat kuliah di Seminari dulu. Eh, mungkin orang-orang itu bukan mau membantingnya ke dasar tebing sampai lumat… boleh jadi mereka bermaksud memaksa Yesus membuat mukjizat bagi dirinya sendiri: dilempar ke jurang tapi kakinya tak terantuk ke batu!
LEX: Bingo! Itulah maksud orang-orang itu! Mereka bertindak seperti Iblis yang mendorong-dorong Yesus supaya menerjunkan diri dari wuwungan Bait Allah untuk memaksa Allah menyelamatkan dia.
ANI: Karena mereka tidak melihat mukjizat di Nazaret lalu mereka berpikir satu-satunya cara ialah mendorongnya jatuh dan supaya ia terpaksa bermukjizat bagi dirinya sendiri. Kagak abis ngerti nih!
Andaikata saja…
Seandainya orang-orang Nazaret itu menyadari apa yang sedang terjadi, mereka akan merasa sebagai orang-orang yang paling berbahagia di muka bumi ini. Tapi mereka tak puas, jadi berang dan bermaksud memaksa Yesus membuat mukjizat. Ironi.
Yang mereka peroleh sebetulnya jauh lebih besar dan lebih khusus dari segala perbuatan yang mengherankan yang terjadi di tempat lain. Tapi mereka tak menangkap. Kepada mereka ditegaskan bahwa nubuat Yesaya (Luk 4:18-19=Yes 61:1-2, Injil Minggu lalu) menjadi kenyataan.
Di tengah-tengah mereka – “hari ini” – hadir Mesias yang dikabarkan kedatangannya oleh nabi-nabi dan dinanti-nantikan orang selama berabad-abad. Ia datang membawakan keleluasaan batin dan kemerdekaan berpikir. Namun demikian, mereka menginginkan hal-hal yang lebih spektakuler. Mereka menolak kehadiran Yang Ilahi demi keinginan melihat mukjizat.
Kita tidak tahu persis bagaimana cara Yesus meloloskan diri dari keberingasan massa itu. Tapi hal ini bukan hal pokok yang hendak disampaikan Lukas. Memang ada yang mengatakan bahwa perbawa Yesus sedemikian besar sehingga massa dapat diredamnya dan ia pergi dengan tak kurang suatu apa. Tetapi kalau betul begitu mengapa tadi mereka berani menyeretnya ke pinggir tebing?
Orang-orang di Nazaret itu bukan Iblis yang bisa dibentak pergi dengan mengutip Ul 6:16 seperti terjadi dalam Luk 4:12. Amat boleh jadi orang-orang itu akhirnya tidak jadi menghempaskan Yesus ke jurang karena melihat Yesus tak mau bermukjizat seperti mereka kehendaki. Boleh jadi ada salah satu dari mereka yang mencegah. Imaginasi kita boleh bermacam-macam dan memang Lukas membiarkan orang membaca Injilnya secara kreatif.
Lukas hanya memberitahukan bahwa Yesus “lewat dari tengah-tengah mereka dan pergi”. Yang penting dalam seluruh episode ini bukan bagaimana Yesus meloloskan diri, melainkan apa yang terjadi dengan orang-orang Nazaret itu. Tingkah mereka membuat kehadiran Yesus lepas dari tengah-tengah mereka. Mereka kehilangan dia.
Dengan kisah ini, Lukas hendak mengajak orang mewaspadai sikap beragama dan perilakunya. Demam mukjizat bisa berakhir dengan hilangnya sumber mukjizat sendiri seperti yang terjadi di Nazaret. Dan memang setelah peristiwa ini, dusun Nazaret yang berperan besar dalam bab-bab sebelumnya tidak terucap lagi dan dilupakan orang.
Perannya telah selesai. Nama dusun ini selanjutnya hanya diingat dalam sebutan “Yesus dari Nazaret”, yang kehadirannya justru tidak diterima dengan baik oleh orang-orang Nazaret sendiri.
Penyakit kroni hidup batin
Agama mengajarkan agar orang mengimani Yang Ilahi, pasrah kepada kekuatan-kekuatanNya. Namun, sikap pasrah yang asal saja sering malah menggiring orang ke tujuan lain.
Beberapa kenyataan dalam penghayatan agama menunjukkan hal ini. Iman yang unsur pokoknya adalah keteguhan dapat menjadi sikap fanatik dan intoleran.
Tata upacara atau ritus yang tujuannya membantu orang merasakan batas-batas antara yang duniawi dengan Yang Ilahi bisa menjadi serangkai tindakan magi yang justru mengaburkan batas-batas tadi.
Akibatnya, barang-barang yang berhubungan dengan tata upacara beralih peran menjadi jimat dan guna-guna. Doa beralih fungsi menjadi jampi-jampi mendatangkan roh. Hukum agama yang menata hidup beragama bisa menjadi aturan-aturan yang mencekik kerohanian dengan rasa takut yang bisa dimanipulasi demi tujuan-tujuan tertentu.
Spiritualitas yang muncul dari pengalaman akan kehadiran yang ilahi bisa menjadi praktek ulah batin yang kurang sehat bila tak terolah terus.
Penyakit kronik dalam hidup batin ini juga dikenali oleh Paulus.
Dalam 1Kor 12:31-13:13 ia mengatakan bahwa macam-macam karunia khusus bila tak disertai perhatian kepada sesama dalam kasih, Yunaninya “agape”, akan tidak bermakna. Kemampuan berbicara bahasa malaikat dan manusia, bernubuat, menguasai ilmu gaib, iman sempurna, sikap mau berkorban bisa jadi satu saat tak lagi dibutuhkan, akan tetapi, menurut Paulus, kasih tidak ada habisnya. Ia menggambarkan pelbagai kenyataan yang menunjukkan adanya kasih: sikap sabar, baik hati, tak cemburu, tak besar kepala dan sombong, jauh dari sikap tak sopan dan egoist, bukan pemarah, bukan pendendam, memihak kebenaran dan menjauhi ketakadilan, telaten, bisa mempercayai, penuh harap, tahan uji. Daftar ini tentu dapat diperpanjang.
Namun, semuanya sama-sama mencerminkan sikap apa adanya, tidak mengada-ada. Dalam bahasa orang sekarang: integritas, bersikap apa adanya. Itulah penerapan kasih bagi zaman ini. Agama dapat membawakan keleluasaan batin bila dihayati secara apa adanya.
Bila tidak, akan gampang kena penyakit kronik demam mukjizat yang mengaburkan kehadiran Yang Ilahi di tengah-tengah manusia. Paulus mengajak orang-orang di Korintus dan kita semua agar waspada dan jangan sampai mabuk roh.
Salam hangat, A. Gianto