Injil Minggu Paskah II 27 April 2025: “Berbahagialah Mereka yang tidak Melihat, namun Percaya”

0
1,221 views
Thomas yang tidak mudah percaya.

REKAN-rekan yang baik,

Beberapa pokok dalam Yohanes 20:19–31 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah II kali ini saya bicarakan langsung dengan Pak (Yo)Hannes.

Ia tidak keberatan bila penjelasannya diteruskan kepada kalian. Bahkan, ia sudah mendengar tanggapan atas catatan pendek saya mengenai kebangkitan dari Minggu Paskah yang lalu. Ia pun menambahkan pendapatnya di akhir surat ini.

Selamat membaca

A. Gianto

————————————————

Bagian Injil yang kautanyakan itu (Yoh 20:19–31) kumaksudkan sebagai penjelasan bagi murid-muridku yang kerap bertanya bagaimana kami dulu bisa mulai percaya bahwa Yesus, yang baru saja dimakamkan, tidak ada di situ lagi dan toh tetap terasa dekat bagi kami.

Agak mirip dengan kenangan akan orang-orang terdekat yang sudah tiada, namun tetap menjadi bagian dari hidup kita. Namun, ada juga perbedaan yang sangat besar.

Ia kini tidak ada lagi di antara orang mati. Makamnya kosong. Kami merasa sungguh-sungguh gembira, bukan sekadar rindu seperti saat mengenang orang yang telah tiada. Bahkan, mengenangnya tidak menjadi hal utama.

Kami lebih merasa menjadi bagian dari Dia daripada Dia menjadi bagian dari kami. Aku ingin agar murid-muridku memahami pengalaman kami itu.

Yesus menampakkan diri kepada kami sewaktu kami sedang mengunci diri, karena takut terhadap para penguasa Yahudi yang memang memusuhi para pengikut-Nya. Penampakan itu tidak dialami banyak orang lain.

Murid-muridku tidak ada yang melihat penampakan Yesus. Paulus pun tidak mengalami seperti kami yang melihat tangan-Nya yang berlubang bekas paku dan lambung-Nya yang tertusuk tombak.

Bila ingin tahu lebih jauh tentang pengalaman Paulus, simaklah pengakuannya (1 Kor 15:8) atau baca cerita Lukas (Kis 9:3–9).

Murid-muridku ingin melihat Yesus yang bangkit seperti yang kami alami dulu. Keinginan itu tidak bisa dianggap remeh. Namun, Yesus tidak bisa diminta untuk menampakkan diri, bahkan harapan semacam itu tidaklah baik.

Lama kupikirkan cara menjelaskan bagaimana bisa percaya tanpa harus melihat.

Ingat kan, Tomas yang tidak percaya pada laporan kami akhirnya percaya setelah melihat sendiri?

Yesus menampakkan diri kepadanya dan memintanya meraba bekas luka agar ia percaya. Tomas tidak sungguh-sungguh meraba, cukup melihat, lalu percaya dan berseru, “Tuhanku dan Allahku.”

Melihat Yesus membuat orang melihat Allah Yang Mahatinggi yang mengutus-Nya ke dunia ini. Itulah sebabnya Tomas menyerukan dua sebutan itu. Aku ingat, Yesus sendiri pernah berkata, siapa mengenal Dia akan mengenal Bapa-Nya pula (lih. Yoh 8:19; 14:7, 9–11). Dan Bapa-Nya itu adalah Allah Yang Mahakuasa.

Camkan perkataan Yesus kepada Tomas pada akhir peristiwa itu (Yoh 20:29): “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

Kata-kata itu ditujukan kepada Tomas, tetapi kami semua yang ada di situ mendengarnya. Hal ini sering kuteruskan kepada murid-muridku yang percaya kepada Yesus meski tidak pernah melihat-Nya secara langsung seperti kami dulu, atau seperti Maria Magdalena sebelumnya.

Aku sendiri sebetulnya mulai percaya sebelum melihat-Nya secara langsung. Seperti telah kuceritakan, setelah mendengar berita dari Maria Magdalena, Petrus dan aku berlari ke makam. Kami mendapati kain kafan yang ditemukan Petrus tergeletak di tanah, dan penutup muka terlipat rapi (Yoh 20:8).

Saat itulah aku percaya bahwa Ia telah bangkit, meski belum melihat-Nya. Kemudian, ketika mendengar kata-kata Yesus kepada Tomas tadi, aku merasa sungguh berbahagia.

Namun memang, “melihat” itu penting.

Aku mulai memahami pentingnya hubungan antara melihat dan percaya dari kisah orang buta sejak lahir yang disembuhkan oleh Yesus (Yoh 9). Ketika ditanya siapa yang menyembuhkannya, ia menjawab (ayat 11), “Orang yang bernama Yesus itu.”

Beberapa waktu kemudian, saat orang-orang Farisi menanyainya lagi, ia menyatakan lebih tegas (ayat 17), “Ia itu nabi.”

Tapi orang Farisi justru berusaha mengintimidasinya. Ia kemudian bertemu Yesus kembali. Yesus bertanya apakah ia percaya kepada Anak Manusia.

Orang itu balik bertanya, siapa orangnya, agar ia dapat percaya. Yesus menjawab, “Engkau bukan hanya melihat Dia, tetapi Dia sedang berbicara denganmu.”

Maka, orang itu bersujud dan berkata (ayat 38), “Aku percaya, Tuhan.”

Bagi saya jelas, proses orang buta itu berkembang: dari mengenal Yesus sebagai penyembuh, lalu nabi, hingga akhirnya Tuhan yang pantas disembah. Dan proses ini juga terjadi ketika Yesus bangkit.

Maria Magdalena, para murid, dan Tomas adalah contoh nyata. Melihat bisa berkembang menjadi pengenalan batin, dan membuat orang mampu melihat kebenaran sejati. Tapi bila melihat tidak berkembang, orang bisa tetap tidak percaya. Orang-orang Farisi dalam kisah tadi melihat, tapi tidak percaya.

Mengapa? Karena mereka tidak terbuka untuk mengakuinya, apalagi mempercayainya. Maka, kita layak bersyukur atas sabda Yesus: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

Kita tak perlu mengalami langkah-langkah yang bisa saja keliru. Kalian itu sebetulnya lebih beruntung dibandingkan kami. Tak perlu dicobai dengan penampakan.

Kalian menemukan Yesus yang bangkit lewat pengenalan batin dan mengalami kehadiran-Nya di tengah-tengah kalian.

Sore hari Paskah itu, ketika menampakkan diri, Yesus mengembuskan Roh (Yoh 20:22). Seperti dalam penciptaan manusia (lih. Kej 2:7), saat itu kami menerima nafas hidup baru. Roh Kudus datang untuk membuat kami hidup dalam Yesus yang bangkit.

Dalam perjamuan terakhir, Ia telah menyatakan diri-Nya mau berbagi “sangkan paran” (asal-usul) dengan kami – istilahmu yang sangat kusukai. Maka, semua ini juga bisa sungguh terjadi pada kalian.

Namun untuk itu, kalian perlu belajar memakai penglihatan batin untuk mengenal Tuhan dan Allah – untuk mengenal Yesus yang kalian dengar dari kami. Bila sampai ke titik itu, kalian akan menyadari juga bahwa Allah itu boleh dipanggil “Bapa”, seperti yang diajarkan oleh Yesus. Dulu kami mengira Yesus melantur, tetapi sekarang aku mengerti.

Kau juga bertanya soal kebangkitan pada zaman sekarang. Bisa kukatakan: percaya bahwa Yesus bangkit dan hidup, itu sama bagi kami dulu maupun kalian sekarang. Mengenal-Nya juga akhirnya sama bagiku dan bagimu. Kami diutus oleh-Nya, setelah dikuatkan oleh Roh-Nya, untuk mewujudkan kepercayaan-Nya kepada Bapa. Hal ini diungkapkan dengan cara yang sesuai dengan konteks kami saat itu: mengampuni dosa atau menyatakan dosa tetap ada (Yoh 20:23).

Dosa yang dimaksud ialah penolakan terhadap Dia yang hadir di tengah umat manusia. Kami ditugaskan untuk hidup sesuai dengan semangat kebangkitan: menegakkan nilai-nilai yang sejalan dengan kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. Kalian pun menerima pengutusan yang sama.

Kita tak boleh berdiam diri bila martabat sebagai anak-anak Allah memudar. Aku mendengar di negerimu, kemelaratan dan kebodohan menjadi penyakit menahun. Banyak orang belum memiliki sarana dan bekal yang cukup untuk menjadi manusia yang layak.

Atau, dalam bahasa Injil: belum semua mendapat kesempatan untuk bebas dari kuasa dosa agar menjadi anak-anak Allah. Kami diutus untuk membuka kesempatan itu bagi semua orang. Kalian juga.

Seorang kenalan mengirim tembusan catatanmu yang menggarisbawahi perbedaan antara kebangkitan Yesus pada hari Paskah dengan penghidupan kembali orang mati.

Memang benar, kebangkitan berbeda dengan kembali hidup seperti Lazarus (Yoh 11), anak janda di Nain (Luk 7:11–17), atau anak perempuan Yairus (Mrk 5:35–43; Luk 8:49–56; Mat 9:23–26) yang dihidupkan kembali.

Kebangkitan berarti memasuki hidup baru bersama Yang Mahakuasa, bukan kembali ke dunia ini untuk lalu mati lagi. Tubuh juga bangkit dan tidak lagi terikat oleh keterbatasan jasmani seperti sebelumnya.

Rekan tadi juga menambahkan pendapatnya: “Jadi, ini menjelaskan mengapa Maria Magdalena tidak segera mengenali Yesus yang sudah bangkit. Saat berada di makam, ia tidak serta merta mengenali-Nya. Baru setelah Yesus berkata-kata, Maria berseru: Rabbuni (artinya ‘Guru!’). Demikian pula dua murid dalam perjalanan ke Emaus. Mereka baru mengenali-Nya saat Ia memecahkan roti.”

Tanggapan ini datang dari seorang yang tidak banyak mengenal ilmu teologi atau tafsir, namun mampu menangkap warta Injil. Memang itulah penjelasannya mengapa Yesus yang bangkit tak segera dikenali. Kita butuh waktu dan keberanian untuk menyadari apa yang terjadi. Secara konkret: membiarkan kisah-kisah tentang Yesus berkembang dalam maknanya—bukan sekadar cerita.

Beranilah mendalami gagasan tentang Kristus yang bangkit, jangan puas dengan yang lumrah dan rutin. Kematangan iman hanya dapat tumbuh bila kita menyertakan yang diimani. Tak dapat dicapai secara sepihak, sesaleh atau semulia apa pun niat kita.

Jalannya bisa macam-macam: ada yang merasa disapa batinnya ketika sedang gundah, seperti Maria Magdalena; ada yang menemukan-Nya dalam “pemecahan roti”, seperti dua murid di Emaus.

Inilah ungkapan paling pokok dari iman para murid: berbagi hidup bersama Dia yang telah bangkit. Dan masih banyak cara lain yang akan kalian temukan—bersama Yesus yang telah bangkit itu sendiri.

Salam

(Yo)Hannes

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here