DALAM sekuel film Avengers ada dialog berikut, “Be Careful, look out for each other. This is the fight of our life and we are gonna win. Whatever it takes.”
(Berhati-hatilah, saling menjaga satu sama lain. Ini adalah pertarungan hidup kita dan kita akan memenangkannya. Apa pun yang terjadi).
Saya pribadi, merasa bahwa kutipan pernyataan di atas cukup relevan dengan kondisi kita dalam saat-saat krisis akibat pandemi Covid-19 ini.
Kita semua dituntut untuk selalu berhati-hati dalam aktivitas harian kita, saling mendukung dan mengingatkan akan protokol kesehatan, dengan optimisme bahwa kita akan mampu melewati ini semua, tentu dengan memohon berkat dan perkenan Tuhan.
Momen pandemi Covid-19 merupakan momentum bagi kita semua untuk berefleksi. Termasuk kita, umat Katolik.
Habitus baru-baru
Pandemi ini “memaksa” Gereja mengambil kebijakan untuk menyesuaikan berbagai hal, termasuk dalam hal perayaan ekaristi yang dilakukan secara online.
Adalah anak saya, Daniel Antonio Seda (Nio), dengan mainan robotnya yang mendorong saya merefleksikan misa online lewat tulisan ini. Nio, si bungsu yang baru beranjak 6 tahun, tentu tahu bahwa orang-orang, termasuk keluarga kami, belum boleh ikuti misa di gereja karena adanya wabah virus corona.
Namun, jelas dirinya belum paham kenapa bisa ada misa dalam bentuk streaming atau online. Ada hal sederhana dan menarik dari Nio, nanti akan saya ceritakan pada beberapa paragraf setelah ini.
Dalam masa-masa sebelum pandemi, ketika misa di gereja, bukan suatu perkara mudah bagi saya dan istri untuk mengatur Nio ketika ikut hadiri misa. Tidak bisa tenang untuk duduk di bangku gereja merupakan hal lazim yang kami alami dari perilakunya.
Ada saja alasan dan rengekan agar dirinya bisa sekadar berjalan atau berlarian di luar gereja.
Cuma dua hal yang bisa membuat dirinya tenang di tempat duduk ketika misa, kalau dia ngantuk dan tertidur atau kalau dia memainkan mainannya yang sudah dibawa dari rumah.
Lantas bagaimana Nio saat misa online di rumah?
Ternyata, sebagian besar kondisi sama saja alias sami mawon.
Memang, Nio tidak meminta untuk jalan atau main ke luar rumah, tetapi kelakuannya untuk main mainan atau malah ketiduran saat misa tetap saja terjadi ketika misa online di rumah sekalipun.
O ya, kami sekeluarga biasanya sesekali misa lewat streaming di YouTube atau Facebook, tetapi lebih sering dengan mengikuti misa setiap Minggu pada pukul 11.00 WIB lewat siaran langsung di TVRI.
Kembali ke Nio…, meski tindak tanduknya sama saja seperti ketika hadiri misa di gereja, tetapi ada kejadian-kejadian khusus yang membekas di ingatan saya.
Pernah suatu waktu, sesaat setelah dimulainya misa di TVRI, Nio bisa ikut menyadari akan semacam relief wajah Yesus pada kubah bagian dalam Gereja Katedral Jakarta.
Pada lain kesempatan, ketika altar kecil sudah disiapkan, patung salib juga sudah ada, lilin sudah dinyalakan, dan misa di TVRI baru akan dimulai.
Tiba-tiba, Nio maju ke depan dan meletakkan mainan robot Iron Man miliknya menghadap ke arah televisi, sambil berujar dengan polos, “Iron Man mau ikut misa”.
Kalau boleh jujur, saya atau mungkin sebagian umat Katolik pasti merasakan hal yang sedikit “janggal” dengan pelaksanaan misa yang dilakukan secara online ini, apalagi saat berbulan-bulan tidak bisa menerima komuni secara langsung.
Namun, dari kejadian kecil yang ditunjukkan oleh putra saya, Nio, membuat saya pribadi bisa berefleksi dan mendapat perspektif baru.
Kalau seorang bocah kecil saja bisa mengajak sebuah benda mati berupa mainan robot untuk “mengikuti” misa online, seharusnya saya harus lebih bisa menerima dan meresapi makna perayaan misa walau secara online.
Saya percaya, banyak umat dan keluarga Katolik bisa juga berefleksi dan merasakan tanda kehadiran dan kasih Tuhan meskipun dilakukan secara online dalam perayaan ekaristi.
Kita semua juga tentu berharap dan berdoa, semoga wabah pandemi ini boleh cepat berlalu, agar kita bisa bersama-sama lagi, bersekutu sebagai umat Allah secara langsung dalam perayaan ekaristi di gereja.
Sebagai penutup, saya kutip kembali penggalan dialog dalam film Avengers, “The world has changed and none of us can go back. All we can do is our best, and sometimes the best that we can do is to start over.”
(Dunia sudah berubah dan tidak ada dari kita yang bisa kembali. Yang bisa kita lakukan adalah yang terbaik, terkadang yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah memulai dari awal).
Ya…, kita bisa memulai dari awal. Dari diri kita, keluarga, dan komunitas kita masing-masing.