Kamis, 18 Juni 2025
2Kor 11:1-11.
Mzm 111:1-2,3-4,7-8.
Mat 6:7-15.
DOA adalah napas iman. Tapi tidak sedikit manusia yang memperlakukan doa seperti tombol ajaib, semacam layanan cepat tanggap untuk memenuhi segala keinginan.
Ketika kebutuhan mendesak, suara doa makin kencang. Ketika segalanya lancar, doa seakan menguap.
Ironisnya, kita bisa begitu percaya kepada “kuasa doa” hingga melupakan siapa yang sesungguhnya menjadi sumber kuasa itu.
Apa yang terjadi di sini? Doa beralih fungsi. Dari sarana berelasi dengan Allah menjadi alat transaksi spiritual. Kita menjadi lebih percaya pada mantra doa ketimbang pada kehendak Tuhan. Kita lebih sibuk mengejar hasil daripada mencari hadirat-Nya.
Kita mengagungkan kemanjuran doa, bukan kehadiran Allah. Kita lebih peduli apakah doa dikabulkan, daripada apakah doa kita selaras dengan kehendak Tuhan.
Bahkan kadang, tanpa sadar, kita bisa berdoa kepada apa saja, asal mujarab, asal bekerja. Kita mulai melibatkan unsur mistik, benda-benda, atau keyakinan lain yang tidak berakar pada relasi dengan Allah yang hidup.
Padahal, dalam doa, yang terutama bukanlah permintaan kita dikabulkan, melainkan kehendak Allah terjadi dalam hidup kita. Tuhan Yesus sendiri memberi teladan saat berkata, “Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendak-Ku.”
Doa bukan tentang seberapa kuat suara kita, tetapi seberapa tulus hati kita dalam berserah.
Doa bukan untuk membuat Tuhan mengikuti rencana kita, tapi untuk membawa kita tunduk pada rencana-Nya yang jauh lebih bijak dan sempurna.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,” Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.
Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.”
Dalam hidup rohani, doa sering kali menjadi jembatan utama antara kita dan Tuhan. Namun dalam praktiknya, kita bisa tergoda untuk berpikir bahwa doa yang panjang, rumit, dan penuh pengulangan akan lebih berkuasa atau lebih didengar Tuhan.
Yesus sendiri menegur cara berdoa seperti ini. Ia berkata, “Janganlah kamu bertele-tele dalam doamu.”
Mengapa?
Karena Tuhan bukan Allah yang jauh dan tidak peduli. Dia bukan sosok yang harus dibujuk dengan banyak kata sebelum bertindak.
Dia adalah Bapa. Dan seorang Bapa sejati tidak butuh dirayu panjang lebar oleh anak-Nya untuk mengasihi dan menolong.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku percaya bahwa Tuhan mendengarku bahkan saat aku hanya bisa berdoa dalam diam?