DI bawah terik matahari siang yang menaungi Perbukitan Drini, Joni melangkahkan kakinya menuju Pantai Krakal. Langkahnya perlahan namun mantap, menyusuri jalan setapak yang berdebu putih.
Butiran-butiran kapur menempel di sandalnya, seolah menjadi saksi bisu dari setiap jejak yang ia tinggalkan. Namun, Joni tidak merasakan beratnya langkah atau panasnya mentari. Hatinya ringan, dipenuhi oleh kedamaian yang tak terlukiskan.
Bagi Joni, perjalanan ini bukan hanya sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi sebuah ziarah batin yang terus-menerus. Ia bagaikan seorang peziarah yang berbekal harapan dan cinta, menapaki jalan kehidupan yang terbentang luas di hadapannya.

Saat berjalan, kenangan demi kenangan berkelebat di benaknya, layaknya film bisu yang diputar ulang dengan cepat. Setiap kenangan membawa aroma dan nuansa yang berbeda.
Dia teringat hutan belantara Sumatera yang lembap, di mana bau tanah basah bercampur dengan aroma pepohonan yang rindang. Di sana, ia bertemu dengan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam, mengajarkannya arti kesederhanaan.
Jeritan burung yang tak dikenal dan bisikan angin di antara pepohonan menjadi melodi yang mengiringi setiap langkahnya, memberikan kedamaian yang mendalam.

Kemudian, ingatannya beralih ke Papua, dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi, seolah-olah ingin menggapai langit. Suara-suara alam yang harmonis, mulai dari kicauan burung cenderawasih hingga gemuruh air terjun, membentuk sebuah simfoni alam yang tak tertandingi.
Di sana, ia menyaksikan keindahan yang murni dan tulus, mengingatkannya bahwa keajaiban Tuhan hadir dalam setiap sudut dunia. Pengalaman ini mengukuhkan keyakinannya bahwa setiap tempat memiliki cerita dan keindahan tersendiri yang layak untuk dihargai.

Tak hanya di Nusantara, petualangan Joni membawanya hingga ke mancanegara. Ia mengenang perjalanan di Luzon utara, di mana ia menyusuri sawah terasering yang hijau membentang luas. Lanskap yang memukau itu mengajarkannya tentang ketekunan dan kesabaran para petani yang dengan gigih mengolah tanah.
Ia juga mengingat pertemuan singkat di perbatasan Thailand dan Myanmar, tempat di mana ia menyaksikan kisah-kisah perjuangan dan harapan yang tak pernah padam di tengah keterbatasan.

Namun, dari semua tempat yang pernah ia singgahi, perjalanan dari Ho Chi Minh City hingga Jakarta adalah yang paling berkesan. Perjalanan ini bukan hanya menempuh jarak ribuan kilometer, tetapi juga melintasi batas-batas budaya, bahasa, dan keyakinan.
Di setiap kota, ia bertemu dengan berbagai wajah dan mendengar berbagai cerita hidup yang berbeda. Setiap pertemuan, setiap percakapan, dan setiap bantuan yang ia berikan atau terima, semuanya bertemu dalam satu titik: cinta.
Joni teringat percakapannya dengan tiga sahabatnya: Ardi, Rita, dan Nina. Suara mereka seakan terdengar jelas di telinganya, seolah mereka masih berada di sampingnya. “Kita melakukan ini karena cinta,” kata Ardi, matanya bersinar penuh keyakinan.

Kata-kata itu begitu sederhana namun begitu kuat, menjadi landasan bagi semua tindakan mereka. Cinta menjadi kompas moral yang membimbing mereka dalam setiap misi. Kemudian, Rita menambahkan, dengan mata yang teduh dan penuh makna, “Tuhan sudah memberikan segalanya, dan segalanya itu kita kembalikan kepada-Nya.”
Pernyataan tersebut menjadi pengingat bagi Joni bahwa hidup ini adalah sebuah anugerah, dan anugerah itu perlu disyukuri dengan cara melayani sesama. Mereka tidak mencari imbalan atau pengakuan, tetapi hanya ingin membalas kebaikan Tuhan yang tak terhingga.
“Cukup cinta dan rahmat-Nya yang menemani perjalanan kita,” bisik Nina, senyumnya yang hangat seolah memudar ke dalam angin, namun makna dari kata-katanya tetap terukir jelas dalam hati Joni.
Mereka sadar bahwa mamusia tidak perlu membawa banyak bekal atau mengandalkan kekuatan diri sendiri. Yang terpenting adalah keyakinan dan rahmat Tuhan yang senantiasa menyertai, menjadikan setiap tantangan terasa lebih ringan.
Joni tersenyum. Ya, cinta. Itulah yang mendorongnya, yang membimbingnya melewati setiap rintangan. Sebagai seorang peziarah, dia terus bergerak, meskipun gerakannya tak selincah dulu. Rambutnya kini dipenuhi uban, kulitnya yang keriput menyimpan peta perjalanan hidup, tetapi semangatnya tetap membara. Ia tahu bahwa tubuhnya menua, tetapi jiwanya tetap muda dan penuh gairah untuk melayani.
Matahari mulai condong ke barat saat Joni tiba di bibir Pantai Krakal. Pemandangan yang terbentang di hadapannya sungguh menakjubkan. Pasir putih yang lembut membentang luas, kontras dengan birunya air laut. Deburan ombak menyambutnya, seolah-olah memberikan salam hangat kepada seorang peziarah yang telah menempuh perjalanan panjang.
Di kejauhan, perahu-perahu nelayan tampak seperti titik-titik kecil di atas lautan, melengkapi lukisan alam yang sempurna.

Joni duduk di atas sebongkah karang, memandang cakrawala yang tak bertepi. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Hidup ini adalah kesempatan, pikirnya, kesempatan untuk berbuat baik. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Ia sadar, bahwa keberadaannya di dunia ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain, untuk alam, dan yang paling utama, untuk Tuhan yang telah memberikannya segalanya.
Joni memejamkan mata, merasakan angin laut yang sejuk membelai wajahnya. Dia bukanlah peziarah yang mencari harta karun atau kemuliaan duniawi. Dia hanyalah seorang pengembara yang mencari arti, dan ia menemukannya dalam setiap langkah, dalam setiap senyuman yang ia berikan, dan dalam setiap pengorbanan yang ia lakukan.
Dengan hati yang penuh rasa syukur, Joni melanjutkan perjalanannya.
Karena bagi seorang peziarah, yang terpenting bukanlah di mana tujuan akhir berada, melainkan bagaimana perjalanan itu dijalani, dengan hati yang penuh cinta dan harapan.