Jelang Satu Abad SD Xaverius Pringsewu Lampung, Reuni Agung 19-20 Mei 2023 (1)

0
206 views
Kompleks SD Fransiskus yang dulu sekali bernama SD Xaverius di Pringsewu, Lampung. (Sr. Yovita FSGM)

SEKOLAH Dasar Xaverius Pringsewu, Lampung adalah nama resminya dahulu. Saat ini sudah resmi ganti identitas dan kemudian bernama SD Fransiskus. Umurnya sudah 91 tahun.

Menuju satu abad usianya, sekolah ini semakin memantapkan diri sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan kecerdasan dan kepribadian (karakter) kepada anak didiknya.

Dalam dinamika perubahan yang sangat cepat karena dipicu perkembangan teknologi komunikasi dan informatika, anak didik yang masih bertumbuh membutuhkan kecerdasan. Tapi juga kepribadian berkarakter.

Untuk memeringati harijadinya, berbagai acara digelar dan puncak perayaan akan dilaksanakan pada 19 Mei 2023 untuk Reuni Agung. Lalu tanggal 20 Mei 2023 untuk Perayaan Yubelium.

Satu tekad, seribu giat

Demikian penegasan Sr. M Yovita FSGM selaku Kepala Sekolah SD Fransiskus. Juga oleh Ketua Alumni SD Xaverius-Fransiskus Pringsewu Harry H Limaran (lulusan tahun 1974) kepada media Minggu (30/04/2023).

Perayaan ini mengambil tema “Satu Tekat Seribu Giat Membangun Pendidikan Lebih Maju di Era Milenial.“

Keduanya sepakat membawa “Utamakan Cinta Kasih agar Menjadi Berkah bagi Sesama” sebagai spirit yang harus dibawa oleh setiap alumnusnya di mana pun berada.

Kepala Sekolah SD Fransiskus Pringsewu Lampung Sr. Yovita FSGM dan Ketua Alumni Harry Limaran. (Ist)

Sejarah awal mula SD Xaverius Pringsewu

Pada awalnya, sekolah katolik ini didirikan tanggal 11 Juli 1932 oleh Sr. Engelmunda FSGM dengan nama sekolah HIS St. Beda School di Pringamba, Pringsewu.

Sr Engelmunda FSGM adalah salah satu dari empat misionaris pertama Kongregasi Suster-suster Fransiskan dari St. Georgeus Martir Thuine dari Jerman.

Keempat suster itu datang tanggal 4 Juni 1932; dengan tujuan membantu karya misi bidang pendidikan. Juga memberikan perhatian dan membantu kebutuhan anak-anak transmigran Jawa di Pringsewu dan sekitarnya.

Pada zaman itu, banyak transmigran Jawa berpindah ke daerah Pringsewu di Lampung untuk dipekerjakan pada kawasan perkebunan milik Belanda.

Murid pertama berjumlah 35 orang yang berusia antara 4 sampai 16 tahun. Nama St Beda diambil dari nama Sr. Maria Beda, Moeder Jenderal General Kongregasi Suster-suster Fransiskan di Thuine, Jerman.

Hingga 1 Agustus 1946, sekolah belum menetap dan masih berpindah-pindah. Lalu, secara administratif berada di bawah naungan Yayasan Xaverius Palembang.

Kongregasi Suster-suster Fransiskan dari St. Georgeus Martir Thuine dari Jerman yang menjadi misionaris di wilayah Pringsewu, Lampung, kira-kira tahun 1932. (Dok. FSGM)

Kepala sekolah pertama

Gedung sekolah mulai didirikan secara permanen pada tahun 1951 dengan Pawit Padmowihardjo sebagai Kepala Sekolah.

Dari Yayasan Xaverius Palembang, sekolah ini kemudian bergabung dengan Yayasan Xaverius Tanjungkarang pada 4 Februari 1984. Empat tahun kemudian yakni 1988, sekolah ini dikelola oleh Yayasan Xaverius Pringsewu, Lampung.

Seiring dengan perkembangan karya Kongregasi Suster–suster Fransiskan dari St. Georgius Martir Thuine, mulai 1 Juli 1997, SD Xaverius berganti nama SD Fransiskus (Assisi) di bawah Yayasan Dwi Bakti Pringsewu.

“Oleh karena itu, jika dilihat dari kelahiran SD Xaverius, kami berusia 91 tahun. Tetapi jika dilihat dari nama Fransiskus, kami merayakan yubelium dan perayaan ini sebagai awalan Menyongsong Satu Abad 1932–2032. Dan tema yang diusung adalah Satu Tekat, Seribu Giat Membangun Pendidikan Lebih Maju di Era Milenial,” ujar Sr Yovita FSGM.

Menurut Sr Yovita FSGM, perayaan yubelium sudah dimulai tahun lalu dengan serangkaian acara. Berharap puncak perayaan akan dihadiri para alumni SD Xaverius dan SD Fransiskus yang saat ini telah tersebar di berbagai tempat.

SD Fransiskus Assisi di Pringsewu, Lampung. (Sr. Yovita FSGM)

Harapan ke depan

“Kami harus bersyukur atas kesetiaan dan penyertaan Tuhan yang telah mengiringi perjalanan panjang SD Xaverius – Fransiskus Pringsewu yang kini telah mencapai usianya 91 tahun dan menyongsong satu abad.

Berbagai peristiwa sejarah telah dilalui oleh para pendiri dan pendahulu sekolah yang dengan penuh semangat dan hati yang tulus demi mewujudkan insan cerdas dan berkarakter,” ujar Sr Yovita FGSM yang di tahun 1985-an tinggal di Susteran Fransiskus Kampung Ambon di Jl. Bangunan Barat, Jakarta Timur.

Sementara, Harry H Limaran sebagai Ketua Alumni menyatakan segenap alumnni SD Xaverius Fransiskus Pringsewu menyambut baik dan mendukung penuh semua kegiatan perayaan ini dalam menyongsong Satu Abad.

Perayaan ini juga disebutnya sebagai reuni agung karena merupakan momen berkumpul semua angkatan.

Reuni agung ini akan berlangsung pada 19 Mei 2023 dan Perayaan Yubelium pada 20 Mei 2023 dan pihaknya akan menyiapkan buku Menyongsong Satu Abad 1932–2032 SD Xaverius Fransiskus Pringsewu.

“Apa pun nama sekolahnya, mulai dari Santo Beda, Xaverius yang diambil dari nama pelindung Santo Fransiskus Xaverius atau Fransiskus yang diambil dari nama pelindung Santo Fransiskus Assisi, yang paling penting adalah spirit yang harus dibawa. Utamakan ‘Cinta Kasih agar Menjadi Berkah bagi Sesama’ harus menjadi pondasi bagi setiap alumnusnya di mana pun mereka berkarya,” ujar Harry Limaran.

Rekan sekelas Harry Limaran, AM Putut Prabantoro, yang saat ini menjadi pengajar (TAPROF) Bidang Ideologi di Lemhannas menegaskan, tantangan masa depan Indonesia sangatlah komplek.

Ancaman dari dalam dan luar terhadap masa depan bangsa sangatlah bervariasi dan semua nyata sifatnya.

Bangsa Indonesia membutuhkan masyarakatnya yang tidak hanya cerdas tetapi juga berkepribadian yang berkarakter.

Menurut dia, tidak cukup seseorang menjadi pandai atau cerdas tetapi dia harus juga berkarakter. Oleh karena itu, baik lembaga pendidikan, anak didik dan orangtua harus mampu memahami dinamika perubahan yang begitu cepat jika tidak mau dimakan zaman.

Kegiatan karawitan di SD Fransiskus Pringsewu, Lampung. (Sr. Yovita FSGM)

Lokasi berpindah-pindah

Maria Cecilia Sukaptinah (85) lulusan SD Xaverius tahun 1954 menjelaskan, setelah berpindah-pindah gedung SD dibangun dengan lokasinya di kompleks SMP Xaverius dekat gereja lama.

Sebelum bernama Xaverius, sekolah ini bernama Hollandsch-Inlandsche School adalah sekolah pada zaman penjajahan Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka, HIS diganti nama Xaverius.

Ketika berpindah-pindah, persekolahan diselenggarakan di rumah-rumah penduduk; termasuk di rumah Yohanes Senu Kartopiyoga, orangtua Maria Cecilia Sukaptina.

Keluarga Kartopiyoga pindah dari Yogyakarta ke Pringsewu pada tahun 1932.

Ilustrasi – Sabak, alat tulis zaman dahulu. (Wiki)

Kisah sepatu Bata

“Pada zaman itu, tidak semua murid menggunakan sepatu atau alas kaki. Sebagian murid nyeker alias tidak beralas kaki. Saya dulu senang, sekolah menggunakan sepatu Bata warna putih.

Suasana damai dan rukun mewarnai sekolah dulu dan para murid sangat menghormati para guru. Murid sangat tenang kala di dalam kelas. Hukuman selalu tersedia bagi murid-murid yang tidak dapat diatur atau nakal,” ujar Sukaptinah.

Hal yang lumrah pada saat itu, menurut Sukaptinah, jika sekolah murid tidak membawa buku tulis, tetapi sabak – batu tulis. Jika mendapat nilai bagus dalam mata pelajaran, nilai yang tertulis di sabak, akan ditempel di pipi agar murid-murid lain melihat.

Ketika kelas VI, buku tulis baru dibawa karena merupakan syarat mengikuti ujian sekolah dan ujiannya menjadi satu dari berbagi sekolah dasar di Pringsewu.

Tahun 2023 ini, SD Fransiskus yang dulu bernama SD Xaverius di Pringsewu, Lampung, telah menggenapi usianya ke-91 tahun. (Sr. Yovita FSGM)
Santo Fransiskus Assisi kini menjadi pelindung SD Fransiskus di Pringsewu, Lampung. (Sr. Yovita FSGM)

Pindahan dari Lahat, Sumsel

“Kedisiplinan di SD Xaverius merupakan nilai yang tidak dapat ditawar. Seluruhnya baik guru, murid, pengurus sekolah akan memegang teguh kedisiplinan tersebut,“ ujar Martha Susanti Adwiyani, lulusan SD Xaverius tahun 1967.

Martha Susanti masuk ke SD Xaverius Pringsewu, Lampung, tahun 1963 dan merupakan murid pindahan dari SD St. Yoseph Lahat, Sumatera Selatan.

“Meski hanya mengenyam tiga tahun pendidikan, saya melihat bahwa selain disiplin, para gurunya sepertinya memang memiliki latar belakang pedagogi – ilmu mendidik. Dan saya melihat ketika diajar oleh Pak Ratum pada kelas 5 dan kelas 6 SD.

Beliau sangat teliti, sangat perhatian, dan sekaligus sangat melihat kondisi anak didiknya. Jika ada anak yang membutuhkan perhatian, Pak Ratum tidak akan segan-segan ke rumah murid,” ujar Martha Susanti.

Baginya, murid SD itu harus didorong untuk mau belajar, mau mendengar dan mau mengingat. Dan nilai itu ada pada Pak Ratum yang mempunyai keahlian mendorong para murid mau belajar, mendengar dan mengingat.

Belajar di SD itu, bagi Martha Susanti, adalah kecereiaan, kegembiraan dan tantangan. Dan itu tidak dimiliki sistem pendidikan sekarang yang lebih banyak memasukan begitu banyak beban kepada murid, tanpa memperhatikan nilai psikolagi anak. (Berlanjut)

Baca juga: Menuju Seabad SD Xaverius Pringsewu Lampung, Guru Redempta Wasitah Rindukan Menkeu Sri Mulyani (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here