Jeritan Pilu Sang Anak Allah

0
282 views
Yesus disalibkan (Ist)

Jumat, 18 April 2025

Yes. 52:13 – 53:12;
Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9;
Yoh. 18:1-19:42

JUMAT Agung adalah hari hening yang penuh makna.

Di hari ini, kita mengenang penderitaan dan wafatnya Yesus Kristus di kayu salib, bukan sebagai kekalahan, tetapi sebagai puncak cinta kasih Allah kepada manusia. Tidak ada kata lain yang lebih kuat menggambarkan Jumat Agung selain: pengurbanan.

Yesus, yang tak berdosa, memilih jalan salib demi menyelamatkan manusia yang berdosa.

Ia disiksa, dihina, dipaku, dan ditinggalkan, bukan karena Ia lemah, melainkan karena kasih-Nya tak terbatas. Jumat Agung adalah bukti bahwa kasih sejati itu rela menderita demi yang dikasihi.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Eli, Eli, lama sabacthani.”“Allah, ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku?”

Seruan Yesus ini begitu pilu, penuh luka, dan menyayat hati. Ini bukan hanya ungkapan rasa sakit fisik, tetapi jeritan batin dari Sang Anak Allah yang merasakan keterpisahan sejenak dari Bapa-Nya karena dosa seluruh umat manusia yang Ia tanggung.

Yang menggetarkan hati adalah bahwa seruan ini tidak disembunyikan. Injil tidak menghapus bagian ini. Justru sebaliknya, pekik kehancuran itu dicatat dan diwariskan agar kita tahu: Yesus sungguh-sungguh masuk ke dalam penderitaan manusia, dalam rasa kehilangan, kesepian, dan keputusasaan terdalam.

Seruan ini begitu penting untuk kita dengar karena itulah wujud kasih yang sejati. Di kayu salib, Yesus tidak hanya mati secara fisik, Ia mengalami kegelapan yang paling manusiawi, agar kita yang hidup di dalam kegelapan bisa menemukan terang. Ia merasakan keterpisahan dari Allah, agar kita tak perlu mengalaminya selamanya.

Yesus tidak datang untuk menjauh dari penderitaan. Ia datang untuk masuk ke dalamnya, mengambilnya, dan menebusnya. Seruan “Eli, Eli, lama sabacthani?” adalah bukti bahwa Ia mengerti derita kita, bahkan sampai ke dasar yang paling kelam.

Maka, ketika kita merasa sendiri, tertinggal, atau hancur, ingatlah bahwa kita tidak sendirian. Kristus telah lebih dulu berjalan di jalan itu. Seruan-Nya menjadi pelukan bagi jiwa yang tersesat, dan salib-Nya menjadi jembatan menuju hidup yang penuh harapan.

Jeritan doa itu menjadi jeritan pengharapan, pembelajaran, bahkan peneguhan terhadap kita di saat harus mengalami kesulitan, kehancuran, kengerian hidup, dan kematian yang sama.

Maknanya, ketika kita menghadapi jalan buntu, saat berada dalam kegelapan tanpa cahaya dan seolah-olah tidak ada jalan keluar, maka kita harus tetap mengingat, tetap berharap, dan percaya bahwa Allah tidak meninggalkan kita sendirian.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku percaya Tuhan tidak meninggalkanku bahkan ketika hidupku terasa hancur?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here