Junjungan Itu Disebut Gelar

0
220 views
Ilustrasi - (ist)

KALAU tidak serius, mustahil Kompas mengangkat hingar bingar dalam tiga hari berturut-turut. Kali ini, soal maraknya perjokian dan plagiarisme di pendidikan tinggi.

Sabtu, 11 Februari 2023, dua artikel besar muncul di halaman muka. Judulnya provokatif: Usaha Perjokian Merajalela, Bagai Pabrik Karya Ilmiah.

Hari berikutnya tak kalah bombastis: Perguruan Tinggi Masih Mendewakan Gelar.

Kemarin, dua perempuan ilmuwan, menulis  di halaman 6. Halaman untuk menampung opini kaum terpelajar.

Salah satu penulis, Anita Lie, dosen Unika Widya Mandala Surabaya, melalui pesan WA, mendorong saya untuk ikut urun rembug. Saya “terpaksa” memenuhi permintaannya.

Tiba-tiba saya ingat kejadian sekira tahun 1976.      

Seorang teman kuliah yang terkenal mahir matematika, fisika dan kimia bercerita keberhasilannya meloloskan “anak asuhnya” untuk masuk di Perguruan Tinggi Negeri.

Singkatnya, sang teman menjadi joki ikut tes di GBK Senayan. Ia duduk di antara puluhan ribu peserta dengan nama, foto dan identitas yang berbeda.

Keprihatinan Kompas awal minggu ini terhadap perjokian, “terlambat” 47 tahun, atau bahkan mungkin lebih.

Cikal bakal menggunakan kepandaian dan keterampilan orang lain untuk mendapatkan status mahasiswa, dosen, lulus ujian, penulis jurnal, pangkat tinggi, manusia bergelar, atau malahan Guru Besar sudah  dianggap sesuatu yang “biasa-biasa” saja.

Konon, perjokian dalam bentuk  membocorkan bahan ujian atau ulangan di sekolah menengah sudah marak sejak setengah abad lalu. Guru memberi les di luar jam sekolah, sekaligus membisikkan bahan ulangan.

Proses penerimaan mahasiswa di akademi pemerintahan pun idem ditto. Pejabat di lingkungan internal mendapat jatah kursi yang bisa dipakai sendiri atau dijual dengan harga selangit. 

Sulit mengurai dan membenahi persoalan perjokian dengan segala kembangnya. Variasinya beraneka rupa, levelnya dari bawah hingga paling atas, ranahnya melebar tak keruan.

Selama masyarakat masih memandang seseorang menjadi istimewa karena gelar, maka karut-marut itu akan tetap bercokol di sana.

Dulu, pilih menantu harus S1, sekarang naik menjadi S2. Jangan kaget kalau sebentar lagi S3 menjadi kriteria. Perusahaan mewajibkan penerimaan pegawainya berdasarkan gelar, meski hampir sia-sia untuk bekerja. Bahkan syarat IPK tinggi menjadi syarat ikutan meski sejatinya nonsense.

Pegawai berlomba-lomba cari gelar S3 sementara dosen memburu predikat profesor. Tujuannya agar dilirik untuk naik pangkat, tambah remunerasi atau duduk di suatu jabatan tertentu. 

Tokoh-tokoh mengejar gelar Doktor Kehormatan atau Profesor Kehormatan agar namanya bertambah panjang. Tak peduli dari mana dan bagaimana cara mendapatkannya.

Jangan ditanya apa manfaatnya buat bangsa.

Bagaimana mungkin seorang Guru Besar, tapi tak pernah atau sudah tak mengajar lagi?  

Heran, masyarakat pun ikut terkesima dengan sandiwara itu.

Sikap-sikap ini lahir karena drama feodalisme. Ia sedang mempertontonkan arogansinya.  Kalau dulu gelar ningrat seperti “Raden”, membuat orang dihormati dan dipuja-puji, sekarang feodalisme itu berganti baju. 

“Feodal”, berasal dari bahasa latin, “feodum”, yang berarti “tanah”.

Penguasa, raja, mempunyai privilese untuk menguasai tanah. Bahkan bisa memaksa siapa saja yang hidup dari tanah untuk membayar upeti. Dari sinilah, kemudian makna feodal berubah wujud ke mana-mana.

Ia berkembang menjadi sistem politik dan sosial. Memberi kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk  berkuasa, tanpa kontrol dan imbangan yang memadai. Padahal sejatinya, tak berisi.

Penghormatan terhadap gelar akademis yang tidak proporsional adalah contohnya. Padahal, satu hari setelah gelar disematkan, maka tak ada manfaatnya bila berhenti untuk terus berusaha memperbarui pengetahuannya.

Di dunia kerja, feodalisme ditandai dengan hubungan atasan-bawahan yang jauh, kaku dan formal.

Profesor Antropologi Organisasi dan Manajemen Internasional dari Universitas Maastricht, Geertz Hofstede (1928-2020) mengkaitkannya dengan salah satu dimensi budaya kerja, yaitu “jarak kuasa” atau “power distance”.

Semakin jauh jarak kuasa, semakin berlaku adagium atasan tak bisa salah. “King can do no wrong”.

Ironisnya, indeks jarak kuasa  masyarakat Indonesia cukup panjang. Ini suatu tanda bercokolnya jiwa feodal. Budaya yang sulit luntur meski  kemerdekaan sudah dicanangkan 78 tahun lampau.

Hajriyanto Y Thohari, kala itu Wakil Ketua MPR-RI, ikut menenggarai hal ini.

“Feodalisme tidak tampak, tapi berbahaya sekali.  Ini menghancurkan bangsa. Feodalisme akar semua masalah di Indonesia. Feodalisme tidak hanya terjadi pada lapisan struktural saja, namun juga mengakar di dalam masyarakat itu sendiri. 

Feodalisme hanya bisa dihilangkan  bila dibuat UU (baca : sistem) yang menghalangi munculnya di seluruh lini dan lapisan masyarakat”. (Antara Sumbar, 27/05/2013).

Feodalisme yang merambah ke dunia pendidikan membuat orang sulit membedakan antara kompetensi dan gelar akademis. Orang dianggap kompeten bukan karena pencapaiannya tapi sepanjang apa gelarnya menempel di namanya.

Seperti benang kusut, karena feodalisme pendidikan sudah merasuk ke dalam mayoritas bangsa Indonesia dengan segala bentuk dan manifestasinya. Sering dinikmati, tak jarang pula dibenci.

“Feudalism is difficult to remove because we hate it and do it at the same time.” (David Brin – Ahli politik dan politikus Partai Demokrat Amerika)

@pmsusbandono

14 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here