Kalau tak Ikhlas, Percuma!

2
2,537 views

[media-credit name=”google” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]SUATU saat, di akhir pendidikanku sebagai sebagai seminaris di Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang aku menyampaikan kegelisahanku kepada pembimbing rohaniku, almarhum Romo Sadana Hardi SJ. Aku bingung bagaimana seharusya mengambil sikap bila ada pengemis atau pengamen datang kepadaku.

Kegelisahanku kuceritakan pada pastor yang biasa kudatangi setiap Jumat malam minggu pertama dalam bulan untuk melakukan konsiderasi bersama. Aku mengungkapkan bahwa aku sering pergi naik bis kota. Dalam sekali perjalanan naik bus, paling tidak lima kali bisa kutemui pengamen yang show di dalam bus yang kutumpangi.

Aku pun harus mengeluarkan kocek yang waktu itu menurutku masih berharga sekali meski hanya 500 rupiah. 500 kali lima 2.500 rupiah. Waktu itu, buatku uang segitu cukup banyak. Aku bisa jajan nasi goreng magelangan favorit kami, anak-anak seminaris. Dapat dua piring lagi. Itu pun masih menyisakan uang 500 rupiah.

Sama halnya ketika berhadapan dengan pengemis. kegelisahanku datang kalau yang menodongkan tangannya itu orang yang masih muda dan kuat. Tentu saja aku tidak mau begitu saja mengeluarkan uang untuk orang yang aku anggap malas.

Apa yang harus kulakukan dengan situasi seperti ini? Demikian aku bertanya pada pastor. Mungkin waktu itu pertanyaanku itu tidak penting. Tapi, bagiku pertanyaan itu menjadi dasar penting bagi langkahku selanjutnya untuk menentukan sikapku dalam setiap mengambil keputusan.

Pastor menjawab “Asal kamu ikhlas, lakukan saja. Kalau tidak ikhlas, percuma saja!” dan beliau tidak menjelaskan lebih lanjut apa maksudnya. Aku kembali ke kamar belajar dengan pikiran masih bertanya-tanya meski gelisah hatiku sudah mulai mereda.

Mantra penting
Waktu pun berjalan dan aku pun mulai menyadari bahwa kata ikhlas menjadi mantra penting dalam perjalanan orang Jawa. Aku sendiri orang Jawa. Lahir di kota Semarang, Jawa Tengah dan besar di kota ini meski kemudian hijrah ke Magelang untuk belajar di sekolah menengah atas dan kemudian setelah lulus ke Jakarta.

Orang Jawa menganggap nrimo (menerima) adalah sikap khas yang dinilai sebaga tanda kematangan moral. Tapi aku masih belum mengerti sesungguhnya apa arti kata ini. Apakah aku harus pasrah dengan segala hal yang terjadi atau bagaimana?

Ternyata, memang benar filosof Franz Magnis Suseno, yang juga dosenku saat aku kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang juga menulis buku berjudul Etika Jawa menyebutkan, nrimo berarti menerima apa pun yang mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan.

Tapi sikap ini seringkali membingunganku. Kalau aku menerima tanpa pemberontakan, lantas segala sesuatu yang menimpaku dengan tidak adil harus aku apakan? Padahal aku tidak tahan bila melihat ketidakadilan.

Tapi, kata Romo Magnis, nrimo sebenarnya merupakan sikap hidup positif. Sikap ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak bisa dielakkan tapa membiarkan diri kita hancur olehnya. Maka, kemudian nrimo bagi orang Jawa dekat sekali dengan ‘ikhlas’.

Karena ikhlas bagi mereka memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Wah, hal semacam butuh tenaga luar biasa untuk bisa mencapainya.

Pengalaman sehari-hari
Ada banyak masalah yang setiap hari aku, Anda, dan kita temui. Setiap hari, mereka yang tinggal di Jakarta pasti merasakan situasi yang disebut macet, angkot yang berhenti di tengah jalan dan menghalangi kendaraan kita yang sedang melaju atau mungkin jalan yang rusak gara-gara galian kabel PLN yang tak kelar-kelar. Tanpa kesabaran, setiap hari sumpah serapah bakal keluar dari mulut kita.

Mungkin juga kita menemui situasi di rumah yang tidak sesuai harapan, suasana di kantor yang kurang menggembirakan bagi aktivitas kita akan menuntut kita bereaksi seperti apa. mau protes atau menerima segalanya dengan ikhlas. Pilihan sikap ini dilematis. Kalau protes, marah, dengan kata-kata buruk keluar dari mulut tentu saja akan menimbulkan suasana tidak menyenangkan, bahkan menimbulkan perkelahian.

Seperti pengalamanku di jalan. Gara-gara sebuah mobil menyerobot jalur yang kulalui lantas aku tidak terima dan melaju mendahului mobil tersebut, kemudian dengan perlahan aku berjalan di depan mobil tersebut. Mobil tersebut tidak terima dan marah, dan aku pun ikut marah. Meski tidak ada perkelahian, kondisi ini tentu saja membuat energi habis. Bila setiap hari terjadi seperti ini, ini yang dinamakan makan hati. Dan hidup menjadi tidak tenang karenanya.

Karena itu, ‘ikhlas’ menjadi mantra paling ampuh dalam hal ini. Bagaimana dengan Anda?

2 COMMENTS

  1. Jalanan Jakarta yg padat merayap anggap saja Jalan Salib, masih bagus Jalan Salib kita cuma jalanan macet, sedangkan Jesus lebih luar biasa yg kalau kita tentu tidak sanggup … Dengan demikian biasanya hati ini jadi adem, bagaimana mas ?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here