Kamboja Sekarang dan 16 Tahun Lalu: Bekas Tempat Pengungsian di Battambang (10)

0
2,254 views

IDP Battambang 10 - 5SAYA mengunjungi tempat-tempat yang 16 tahun lalu menjadi lokasi “pengungsi dalam negeri” (internally displaced people – IDP) di Rattanak Mondul, Battambang. Enam belas tahun yang lalu mereka tinggal di pinggir jalan dan di sekitar kuil.

Saya mulai melibatkan diri dalam karya bagi para IDP di pada awal bulan Maret 1996 dan berakhir pada bulan Juni 1997. Ketika pertama kali saya tiba di Battambang, Khmer merah belum menyerah dan masih bergerilya di hutan-hutan.

Salah satu basis kuat Khmer merah di daerah utara adalah di kota Pailin, sekitar 80 km sebelah barat Battambang. Sepanjang jalan yang menghubungkan Pailin dan Battambang itu terhampar ribuan IDP yang terpaksa meninggalkan desa-desa mereka karena konflik bersenjata antara Khmer merah dan tentara pemerintah Kamboja (RCAF – Royal Cambodia Army Forces).

Para pengungsi tinggal di pinggir jalan dan di sekitar “watt” (kuil). Pada mulanya para pengungsi ini masih bisa pulang ke desanya untuk menggarap sawah saat perang istirahat.IDP Battambang 10 - 2

Perlu diketahui (dan bagi saya ini cukup lucu) bahwa biasanya pada musim hujan perang istirahat karena lumpur dan banjir. Para penduduk tidak lagi bisa pulang ke desanya untuk menggarap sawah ketika taktik perang berganti. Apabila salah satu pasukan sudah dapat menguasai daerah tertentu mereka memasang ranjau (baik ranjau anti-personal maupun anti-tank) di sekitar jalan dan areal  masuk ke daerah tersebut.

Dengan adanya “pagar” ranjau tersebut orang tidak berani masuk. Sawah atau ladang yang sudah dikuasai oleh salah satu pasukan dan dipagari ranjau praktis tidak dapat dimasuki oleh penduduk sipil. Maka merekapun terlunta menjadi pengungsi di negeri sendiri.

Enam belas tahun lalu, sebagai relawan bawah Jesuit Service Cambodia (JSC), saya ikut terlibat memberikan bantuan darurat pada kaum pengungsi dalam bentuk pangan, pendidikan, kesehatan, dan program penambahan income keluarga.

Dalam bidang pangan, misalnya, JSC membuat program “Food for Work”, yakni melakukan pekerjaan infrastruktur untuk kepentingan bersama dengan bayaran beras. Saya masih ingat, waktu itu salah satu infrastruktur yang dikerjakan adalah tampungan air hujan / embung, yang salah satu lokasinya di sekitar kuil. Pihak kuil dan para biarawan menyediakan tanah untuk dikerjakan oleh para pengungsi. Para pengungsi dapat memanfaatkan air dari embung tersebut, namun para biarawan / bhiksu dari kuil tersebut juga mendapat manfaatnya.

Saya mengunjungi tampungan air yang sekarang sudah dihias dengan bagus di sekitar kuil. “Monumen” hasil karya pengungsi tetap terpelihara dengan baik setelah 16 tahun.

Bantuan yang diberikan oleh JSC dalam bidang pendidikan mencakup pendirian sekolah “darurat” untuk anak-anak setingkat kelas 1-3 sekolah dasar, penyediaan guru dan alat-alat pendidikan. Oleh karena akses kesehatan pada waktu itu terbatas, setiap hari JSC datang ke lokasi pengungsian untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis.

Kendati mengungsi, mereka masih bisa mencari nafkah dengan jalan berjualan sesuatu ke pasar-pasar terdekat. Bagi yang bisa membuat tikar, memelihara ayam, atau kegiatan produktif lain, JSC menyediakan sedikit modal agar mereka mampu melakukan bisnis kecil-kecilan untuk menyambung hidup.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here