Kami di sini dipercaya oleh keuskupan untuk mengelola anak-anak asrama yang datang dari berbagai tempat dan dari berbagai suku. Anak-anak yang kami bina adalah anak-anak SMP. Tidak seperti yang Anda bayangkan sebagaimana anak-anak asrama yang kita bina di kota-kota di Jawa dan Sumatra. Meski sudah tingkat SMP, beberapa dari mereka belum lancar membaca.
Mereka hidup sederhana dan terkondisikan oleh situasi alam yang ada. Maka tidak mengherankan kalau sulit dibina untuk berkembang. Konsep menjaga atau memelihara barang belum ada dalam diri mereka. Jadi, bukan hal biasa bila kami para pembina melihat ada lemari tempat menyimpan piring rusak dan amat kotor, berkeliaran cicak bahkan tikus berlompatan di dalam lemari.
Hanya kami yang peduli dan kemudian memperbaiki lemari itu meski dua hari kemudian lemari itu sudah rusak lagi. Pintu lepas dari engselnya. Begitu juga dengan kotak sampah, kran air yang kerap kali kami ganti karena sering los (dol), jendela, dan bahkan tempat pakaian.
Segala metode sudah kami coba, tetapi tampaknya kurang memberikan hasil yang memuaskan. Namun demikian kami tetap sabar mendampingi walau tidak banyak perubahan. Kami yakin bahwa dengan kesabaran dan rasa cinta kami dapat membantu mereka untuk berkembang. Walau sesungguhnya hal ini penuh perjuangan.
Memang harus diakui bahwa untuk sekolah dan masuk asrama itu merupakan sesuatu yang belum biasa. Orang mau sekolah saja itu merupakan hal yang luar biasa. Mereka biasa hidup mandiri, bebas dan tidak terikat. Maka ketika masuk ke asrama dengan berbagai keteraturan yang ada, kekanganlah yang mereka rasakan.
Ini tampak dari sikap mereka. Saat acara rohani ada beberapa anak yang tidak ikut karena sakit. Akan tetapi kalau acara rohani diganti acara olah raga, yang awalnya sakit langsung sembuh dan lari ke lapangan untuk olahraga.
Walau demikian, dari pergumulan mendampingi anak-anak asrama saya dapat belajar banyak hal. Bukan hanya soal kesabaran dalam mendampingi, tetapi juga masuk dalam budaya mereka serta mengenali mereka secara lebih jauh. Banyak hal yang unik dan lucu ketika hadir bersama mereka entah saat makan bersama atau saat menemani mereka belajar.
Misalnya suatu saat ada dua anak asrama putri yang pergi ke kios wartel untuk telpon saudaranya. Akan tetapi ternyata setelah diberi izin, mereka tidak pergi ke kios wartel, tetapi menemui dua anak asrama putra di sebuah rumah kosong. Tampaknya mereka sedang kencan. Rumah kosong itu ada dalam kompleks kepolisian. Maka ketika bruder memberitahukan hal ini pada pak polisi, segera mereka menggerebek anak-anak asrama itu. Ternyata mereka tertangkap basah sedang asik berduaan. Yang membuat kami tertawa adalah jawaban dari anak asrama putri itu, ketika diinterogasi oleh polisi:
“Apa yang kalian lakukan?”
“Kami hanya tidur berdua, saya di bawah dan kakak Frans di atas saya, lalu kakak Frans menempelkan mulutnya ke mulut saya”
Begitulah salah satu percakapan yang kami tangkap ketika bertanya pada anak-anak asrama yang melanggar aturan. Jawaban polos ini membuat kami tersenyum-senyum.
Refleksi
Ketika anak-anak, kita semua dengan polos dan jujur mengatakan segala hal yang kita alami dengan terbuka. Namun kerap kali karena dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang kondusif, kita mulai tidak jujur. Situasi seperti inilah yang sesungguhnya terjadi di asrama dan secara khusus terjadi pada anak-anak di Papua. Siapakah yang membentuk atau menciptakan lingkungan? Kita sendirlah yang membuatnya.
Oleh karena itu, perlu kesadaran bahwa kita semua bertanggung jawab akan pembentukan karakter setiap anak yang lahir di dunia ini. Secara tidak langsung kitalah yang berurusan dalam pengembangan sifat dan tingkah laku setiap anak.
Tidak perlu jauh-jauh menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan seseorang. Lihatlah dalam keluarga kita masing-masing. Apakah kita sudah mencitpakan atau memberi pengaruh yang baik bagi orang lain?. Apakah kita sudah menghembuskan atmosfir positif pada orang-orang disekitar kita atau sebaliknya selalu berpikir negatif pada orang lain?