Kang Je yang Pandai Bersyukur

0
2,232 views
Ilustrasi: Bersyukur. (Ist)

AKKHH… Udara kok nggak jelas gini ya. Sebentar hujan, sebentar panas. Bikin males,” umpat seorang teman di hari Senin. Wajahnya kusut. Badannya juga antara niat berdiri sama nggak. Pokoknya berkesan lelah sekali. 

Hari Selasa, ia kembali datang sambil menunjukkan muka marah. “Gila ya, masak bos gua itu bilang kerjaan gua nggak bener. Padahal gua udah ngerjain sepenuh hati.” Untung marahnya nggak keterusan. Kalau keterusan bisa-bisa tembok kena pelampiasannya deh.

Ketika jam istirahat tiba di hari Rabu, wajahnya kuyu seperti menyimpan kelelahan sangat. “Semalam nggak bisa tidur. Jadi seharian ini ngantuk sekali.”

Di penghujung hari Kamis, terdengar suara batuk tak habis-habis keluar dari mulut temanku itu. Kasian sekali melihatnya. Dia pun tidak bisa berbuat banyak selain duduk dan meratapi sakitnya.

Pas di akhir week end, tanggal gajian. Temanku yang kemarin sakit, mendadak sehat. Gajian ini menjadi obat mujarab baginya. Mukanya terlihat berseri dan semangatnya pun membawa dia untuk masuk kerja hari ini. Begitu amplop ia terima, mulutnya seperti menggerutu, “Huh, nggak dapet uang lembur. Padahal seminggu kemarin kan gua ngelembur. Tega banget sih perusahaan membiarkan anak buahnya kekurangan gini.”

Tiba saatnya ngepelin pacar. Setelah mandi dan memakai baju rapi, temanku itu bersiap menuju rumah kekasih hatinya. Sudah ia bayangkan di kepala akan menjadikan malam minggu itu menjadi malam yang terindah dengan berdua bersama sang pacar. Tapi, apa daya, sesampai di rumah kekasih hati, ada banyak keponakan si kekasih yang mengganggu mereka berdua. Hendak pergi keluar rumah berdua kok nggak enak dengan kondisi keluarga begini. Nggak sopan gitu. Rasa sebal, tidak terima dan marah kembali melanda dalam dirinya.

“Aku salah apa sih,  Bunda… Kenapa hidupku sial terusss???” umpatnya di depan patung Bunda Maria, di kawasan ziarah yang biasa kami kunjungi. Untung tidak banyak orang yang datang sehingga umpatan temanku ini tidak terdengar. Cuma aku sendiri yang duduk di sebelahnya saja.

“Aku sudah berjuang memperbaiki hidupku agar lebih baik, tapi kenapa aku selalu mendapat keburukan selama ini?” ujarnya lagi. Demi menenangkannya, aku urut-urut bahunya. Suara emosi mulai terdengar di telinga. Nggak tega juga mendengarnya.

“Ehem.”  Sebuah suara berat mendadak hadir dari arah belakang menuju sampping kanan temanku duduk. Kini temanku itu ada diantara aku dan sosok yang baru datang itu.

Senyumku cerah seiring sosok itu duduk di sebelah temanku. “Kang Je…”

 

“Kang Je?” Temanku terbelalak kaget. Dia langsung menoleh ke arah kirinya.

Begitu yakin siapa yang di sebelahnya kini, ia langsung menciumi tangan sosok yang mungkin sejak tadi dia tunggu.

“Kang Je… Kang Je… Aku menunggumu sejak tadi,” ujarnya senang sekaligus haru.

Kang Je menepuk-nepuk bahu temanku itu sembari tersenyum. “Aku nggak usah ditunggu. Kan selalu bersama langkahmu setiap waktu.”

“Tapi, Kang… Seminggu ini rasanya aku mengalami kesialan terus. Nggak ada hal bagus yang mengiring langkahku,” adunya mendadak sendu. “Bahkan hendak bersama kekasihku saja, kenapa ada masalah sih? Hari-hariku sial semua….”

“AnakKu…,” suara Kang Je terdengar pelan, berintonansi rendah tapi sungguh bisa merasuk jiwa. Adem mendengarnya, “Sejak awal penciptaan dunia ini, BapaKu telah membuatnya baik adanya. Seperti tertulis dalam kejadian, Ia menciptakan semua dengan baik adanya. (Kej 1:10, 12, 18, 21, 25) BapaKu ingin menyatakan bahwa segala ciptaanNya tidak ada yang buruk karena Ia adalah Sang Maha Baik.”

“Ah, masa sih Kang? Buktinya seminggu ini, aku selalu mendapat kesialan. Nggak ada hal baik yang kudapat,” sanggah temanku.

“Masa sih?”

Sekonyong-konyong Kang Je seperti membawa pikiran temanku itu atas semua peristiwa yang sudah terjadi seminggu ini.  Temanku itu pun mengikuti apa yang teringat di kepalanya.

“Coba hari Senin itu, meski udara kini sedang tidak jelas, kamu masih tetap bisa istirahat malam dan tidak diganggu siapa pun,” Kang Je mulai menjabarkan yang pernah terjadi. “Biar hari Selasa kamu dapat umpatan dari bosmu atas kerjamu, tapi pekerjaanmu tetap diterima. Tidak ditolak apalagi disuruh mengulang baru.  Meski kamu tidak bisa tidur malamnya, hari Rabu itu kamu lewati dengan baik. Ngantukmu tidak menimbulkan masalah baru selain rasa ngantuk itu sendiri.”

“Nah, saat kamu sakit di hari Kamis, berbahagialah kamu meiliki teman seperti dia yang masih mau meladeni sakitmu dan mebawakanmu makanan,” Kang Je menunjukku membuatku malu sendiri. “Di saat gajian di hari Sabtu, nggak ada sepeser pun dari gajimu yang dipotong yang bisa membuat hidupmu tak berkekurangan dalam hidupmu sebulan ini. Bahkan, ketika kamu mengapeli pacarmu yang tetap berusaha menemanimu diantara kesibukannya menemani keluarga besarnya yang baru datang, tidakkah itu semua kau anggap sebagai anugerah, sesuatu yang baik?”

Temanku itu terdiam. Seperti menghayati apa yang dikatakan Kang Je.

 

“Tapi, sebenarnya dari semua itu hal baik yang diberikan Bapa padamu adalah kedatanganmu kemari  untuk berjumpa dengan ibuKu, BapaKu dan Aku sendiri…”

Kali ini temanku itu benar-benar terperangah. Seperti ada sesuatu yang menyadarkan dirinya.

Dari semua yang ia kerjakan selama ini ternyata ada kebaikan yang terselip di dalamnya. Sungguh, hal ini tidak ia sadari sebab mata hati dan akal budinya telah tertutup dengan hal buruk seturut jasmaninya. Tidak ada hal baik yang bisa membangkitkan semangat diantara semua keburukan yang terjadi.

“Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal. (1 Tes 5:17-18).” Kang Je mengutip ayat Alkitab.  “Segala yang baik dicurahkan BapaKu bagimu. Dari udara yang kamu hirup, cuaca yang kamu rasakan , sesama yang menemani, pekerjaan, kesenangan bahkan disela kesedihan yang kamu rasakan. Sebab, percayalah, apa pun terjadi, Aku akan selalu menyertai.”

Mak nyes rasanya ketika Kang Je selesai menyatakan kalimatNya barusan. Ada yang segar dan indah merasuki tubuku. Kurasa, temanku di sampingku ini juga merasakannya. Dia tengah tertunduk sambil mengangguk-angguk seperti mengiyakan apa yang dikatakan olehNya.

Tak lama, dalam emosi tertahan, sekalimat tanpa ragu ia ucapkan perlahan, “Terima kasih Bunda… Terima kasih Bapa… Terima kasih Kang Je…”

Sekali lagi Kang Je menepuk bahu temanku itu. Seraya berdiri, dikibaskan sebentar jubahnya lalu menuju sebuah tempat bunga-bunga diletakkan sebagai persembahan. Sekuntum mawar merah sudah ada di tangannya lalu ia taruh diantara bunga-bunga lain yang ada di sana.

Ajaib.

Bunga-bunga lain yang sebelumnya seperti melayu karena mungkin sudah berhari-bari, mendadak segar kembali. Mulutku ternganga kagum karenanya.

Sembari kembali, Kang Je tersenyum ke arahku dan mengedipkan sebelah mataNya. Jari telunjukNya menunjuk ke arah atas seperti hendak menyatakan itu adalah salah satu kebaikan yang diberikan Bapa.

Aku mengangguk setuju. Senyumku pun berkembang sebagai tanda syukurku yang tak kan ada habisnya.

(di antara senja, 17 januari 2012)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here