Jumat, 31 Oktober 2025
Rm. 9:1-5.
Mzm. 147:12-13,14-15,19-20.
Luk. 14:1-6
ATURAN dibuat untuk menolong manusia hidup lebih baik, bukan untuk menjerat atau menindasnya.
Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sering kali tidak sesederhana daftar peraturan. Yang lebih penting adalah tujuan dari tindakan itu, apakah tindakan itu mengalir dari kasih, membawa kebaikan, meneguhkan kehidupan, dan memuliakan Allah.
Tindakan yang sama bisa menjadi benar atau salah tergantung pada niat dan tujuannya. Misalnya, menegur seseorang bisa menjadi bentuk kasih jika tujuannya membangun, tetapi bisa menjadi dosa jika tujuannya merendahkan atau melukai.
Peraturan memang penting, ia menjadi pagar agar kita tidak tersesat. Namun pagar itu tidak boleh membuat kita buta terhadap tujuan yang lebih besar, yaitu kasih.
Tanpa kasih, peraturan berubah menjadi batu yang menindas; tetapi dengan kasih, peraturan menjadi jembatan yang menuntun langkah hidup kita.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada Hari Sabat?”
Bayangkan, seekor lembu atau anak kita sendiri terperosok ke dalam sumur pada Hari Sabat.
Apakah kita akan membiarkannya demi mematuhi peraturan? Tidak. Kasih tidak mengenal hari atau jam, kasih selalu siap bertindak, kapan pun dibutuhkan.
Yesus ingin menunjukkan bahwa kebaikan sejati tidak terikat oleh kalender keagamaan, tetapi oleh kepekaan hati.
Terkadang kita juga jatuh dalam godaan yang sama: terlalu takut melanggar aturan hingga lupa menolong sesama. Kita menilai orang lain dari apa yang “boleh” atau “tidak boleh”, bukan dari kebutuhan mereka akan kasih.
Padahal Tuhan tidak akan menanyakan seberapa ketat kita mematuhi hukum, tetapi seberapa dalam kita mengasihi dalam setiap kesempatan.
Kasih yang sejati bukanlah kompromi terhadap hukum, melainkan pemenuhan hukum itu sendiri. Ketika kita bertindak karena cinta, kita sesungguhnya menunaikan kehendak Allah yang paling murni.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku lebih sering memegang aturan daripada mendengarkan suara belas kasih dalam hatiku?



