Kebahagiaanku tak Harus Sama dengan Kebahagianmu

0
427 views
Kaum remaja puteri dari berbagai daerah di Indonesia meniti jalan panjang bahagia mereka sebagai Postulan calon Suster Dominikan atau OP (Mathias Hariyadi)

Sabtu, 8 Oktober 2022

  • Gal. 3:22-29.
  • Mzm. 105:2-3,4-5,6-7.
  • Luk. 11:27-28.

SERING kita dengar pepatah, “Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.”

Pepatah ini mengandung makna bahwa seringkali kita menilai apa yang dimiliki orang lain selalu lebih baik daripada milik sendiri sehingga timbul rasa tidak puas pada yang kita miliki.

Ungkapan ini, menunjukkan salah satu kualitas manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang berbeda dari apa yang sudah dimilikinya. Kita selalu mengira kehidupan orang lain yang terlihat oleh mata kita begitu indah, begitu bahagia, tidak sebanding kebahagiaan yang kita miliki.

“Janganlah mencemburui kebahagiaan orang lain, sebab kamu sungguh tidak tahu apa-apa tentang semua yang telah ia jalani,” kata seorang pembimbing rohani.

Manusia itu punya sejarah kisah hidup yang berwarna dan tersembunyi di balik senyum indahnya. Kita ini manusia yang punya beragam dimensi. Bertumpuk pengalaman. Berlapis pergumulan.

Kita tidak mungkin bisa menangkap pergulatan pribadi seseoang secara utuh untuk kita pahami. Sudut pandang kita terbatas. Terlalu banyak segi yang tidak kita kenali tentangnya.

Seorang ibu mensyeringkan bahwa orang sering salah sangka. Seakan hidup yang dia jalani sudah sempurna menurut pandangan orang lain, tidak ada masalah dan selalu siap untuk membantu orang lain. Hingga para tetangga dan orang lain jika punya “butuh” selalu datang padanya.

“Padahal mungkin saja masalah yang saya hadapi jauh berat dari mereka,” katanya.

“Hanya saja saya dan suami serta anak-anak tidak ingin mengumbar kesulitan keluarga kami ke orang lain,” sambungnya.

“Tidak ada keluarga yang sempurna, termasuk keluarga kami, tetapi kami berjuang untuk saling hadir dan saling mendukung dalam pergulatan yang kami hadapi,” paparnya.

“Saya merasa bersyukur, ketika saya keguguran sampai dua kali, suamiku selalu hadir dan menguatkanku,” lanjutnya.

“Pengalaman kehilangan yang sangat menyedihkan bagiku dan suamiku itulah yang mengubah hati dan jiwa kami. Pengalaman itu membuat hati kami menyadari betapa rapuhnya kehidupan ini, dan betapa tergantungnya hidup kami pada kuasa Tuhan,” urainya.

“Kebahagiaan itu kami terima ketika kami boleh berjuang bersama dalam suka duka bukan dalam apa yang kami punya yang mewujud pada harta benda,” tegasnya.

“Sesuatu yang hadir pada hati dan tidak bisa diambil oleh orang lain, karena kebahagiaan adalah sebuah rangkaian perjuangan dalam kehidupan yang terjadi setiap hari dalam suka dan duka,” lanjutnya.

“Orang kadang hanya ingin senang dan suka ria tetapi menolak derita dan duka,” jelasnya.

“Kebahagiaan tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan pengalaman duka, karena jalan mengikuti Tuhan, dengan mendengarkan, memelihara Sabda Tuhan itu terjadi dalam situasi apa pun,” tegasnya.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,

Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya: ”Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.”

Tetapi Ia berkata: ”Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.”

Seorang perempuan tiba-tiba menyeletuk karena terusik oleh lamunannya akan betapa bahagia perempuan yang menjadi ibu Tuhan Yesus.

Padahal, banyak hal berat yang harus Maria jalani sebagai ibu Tuhan. Saat Maria mengandung hingga melahirkan bayi Yesus.

Setelah kelahiran Maria terpaksa mengungsi ke Mesir, sebab Herodes hendak membunuh bayinya.

Tidaklah mudah Maria memahami pikiran dan tindakan Puteranya yang adalah Anak Allah itu.

Kita sering terjebak dalam lamunan akan kebahagiaan orang lain. Kita dengan mudah merasa hidup kita tidak senikmat dan sebahagia orang lain.

Betapa bahagianya orang lain itu, karena punya ini dan punya itu, atau bisa begini dan begitu, bisa setiap waktu ‘healing‘.

Padahal, andaikan kita diminta bertukar posisi sepenuhnya, belum tentu kita mau atau sanggup. Sebab yang kita cemburui hanya bagian “enak”-nya saja.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku bersyukur atas kebahagiaanku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here