Rabu, 27 Agustus 2025
1 Tesalonika 2:9-13.
Mazmur 139:7-12ab.
Matius 23:27-32.
MANUSIA sering kali lebih mudah menilai dari apa yang tampak di luar.
Penampilan yang rapi, kata-kata yang indah, dan sikap yang seolah-olah penuh kebaikan dapat memberi kesan bahwa seseorang hidup saleh dan berkenan di hadapan Allah.
Tuhan Yesus mengingatkan bahwa hal lahiriah semacam itu tidak berarti apa-apa bila tidak selaras dengan hati.
Para ahli Taurat dan orang Farisi menjadi contoh nyata: mereka tekun dalam ritual, menjaga aturan lahiriah, namun hati mereka jauh dari Allah.
Hidup mereka dipenuhi dengan keangkuhan, kerakusan, iri hati, dan sikap menindas yang membuat orang kecil, miskin, dan tersingkir semakin menderita. Dari luar nampak suci, tetapi batinnya keropos.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.”
Kata-kata ini bukan sekadar sindiran, melainkan peringatan serius tentang bahaya hidup dalam kepalsuan rohani.
Kuburan yang dicat putih tampak indah, terawat, bahkan menenangkan bagi yang memandang. Namun, pada kenyataannya di balik keindahan itu tersembunyi kematian, kebusukan, dan kehancuran.
Demikian juga hidup manusia yang hanya sibuk mempercantik tampilan luar, tetapi membiarkan batinnya dikuasai dosa: kesombongan, iri hati, kebencian, keserakahan, dan hawa nafsu.
Yesus menegur keras orang-orang Farisi karena mereka lebih mementingkan penampilan dan penghargaan manusia daripada ketulusan hati di hadapan Allah.
Mereka menekankan aturan-aturan lahiriah, tetapi melupakan inti dari hukum Tuhan: kasih, keadilan, dan kerahiman.
Allah tidak mencari tampilan luar, melainkan hati yang murni. Hati yang terbuka di hadapan Tuhan, mengakui kebusukan yang masih kita sembunyikan, dan membiarkan Roh Kudus membersihkan serta memperbaharui hidup kita.
Dengan demikian, hidup kita bukan sekadar tampak indah di luar, melainkan sungguh memancarkan kasih Allah dari dalam.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku lebih mementingkan penampilan luar agar dipuji orang lain, daripada membiarkan hatiku dibersihkan oleh Allah?