Keluar dari Persembunyian, Menghadapi Kenyataan

0
462 views
Ilustrasi - Anak berkebutuhan khusus

Senin, 28 Juni 2021

Kej.18:16-33; Mzm.103:1-2.3-4.8-9.10-11;
Mat. 8:18-22.

WAKTU yang membuka tabir kehidupan.

Perlu keteguhan hati, manakala tirai disibak oleh cahaya yang menerangi kenyataan. Setelah sekian lama sembunyi menutupi ketidaksempurnaan.

Bukan karena kejahatan yang disengaja. Namun lebih karena rasa malu dan gengsi serta alasan untuk melindungi “,jiwa” yang belum siap menerima pandangan berbeda dan pertanyaan penuh selidik dari sesama.

“Apakah pastor bisa datang ke rumah saya untuk mendoakan anak kami yang akan sekolah ke luar kota,” tanya dan pinta seorang bapak.

“Kapan, Pak?,” tanya Pastor itu.

“Besok malam,” jawabnya.

“Bisa Pak, ini pas kosong jadwal saya?,” jawab pastor itu.

Ketika pastor itu datang ke rumah bapak tadi, pada waktu yang telah disepakati, dia merasa heran karena rumah itu sepi.

“Saya tidak mengundang orang lain atau tentangga, Pastor,” kata bapak itu melihat pastornya seakan bertanya dalam hati.

“Iya ngak masalah,” kata pastor itu.

“Siapa yang akan sekolah ke luar kota?,” tanya pastor itu.

“Anak saya yang sulung. Ia akan di sekolah di kota W,” jawab bapak itu.

“Sepertinya saya belum pernah bertemu dengan anak bapak?,” tanya pastor itu.

“Benar, ia anak yang baik. Namun mengalami masalah keterbelakangan mental,” kata bapak itu.

“Selama ini, kami tidak berani mengajaknya keluar rumah. Karena kami tidak pernah siap melihat anakku jadi tontonan. Bahkan,jadi bahan ejekan dari orang-orang yang iseng dan suka gosip,” tutur ibunya.

“Namun akhirnya kami sadari bahwa kami tidak bisa selamanya bersamanya. Ia harus bisa mandiri dan minimal mampu mengurus dirinya sendiri,” kata bapak itu.

“Ini akan menjadi babak baru bagi anakku, pergi berpisah dengan kami,” kata ibunya sambil memeluk anaknya.

“Kalau menuruti perasaan, saya tidak mungkin melepaskan dia sendiri tinggal di tempat jauh dari kami,” lanjut ibunya.

“Berat rasanya kami berpisah dengannya. Tapi jauh dari kami adalah pilihan yang paling baik untuknya,” kata bapaknya.

Dalam hal tertentu, kadang kita harus berani dengan tegas menyatakan pada diri sendiri untuk berani melepaskan sesuatu yang sebelumnya seakan menjadi garansi kebahagiaan kita dan jaminan rasa aman dalam hidup ini.

Bukan diri sendiri yang harus menjadi patokan dampak positif yang akan diterima dari pilihan kita namun demi kepentingan jangka panjang dan besar bagi orang lain.

Seperti bapak dan ibu tadi yang memaksa dirinya membuka selubung rasa malu, pedih dan gengsi yang selama ini menutupinya, dan telah secara palsu memberi rasa aman, dan damai demi masa depan anaknya.

Apakah kita berani jujur dan membuka jati diri kita yang sebenarnya?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here