Keluar dari Zona Nyaman Jadi Misionaris 15 Th di Kenya, Panggilan Kedua bagi Sr. Xaveria SFIC

0
609 views
Ilustrasi: Selama 15 tahun menjadi misionaris di Kenya, Afrika Timur, tugas pokok Sr. Xaveria adalah menjadi pembina calon suster SFIC. Foto ini menggambarkan Sr. Xaveria dengan aneka buah-buahan hasil panenan pekarangan Biara SFIC Kuala Dua. (Ist)

MEJA makan panjang dan kursi rotan yang begitu nyaman tersaji rapi di ruangan makan dan rekreasi di sana. Ketika pantat sudah lelah dan tuntutan fisik ingin sejenak bisa duduk, maka kondisi itu rupanya telah menjadikan saya tak lagi ngeh sedikit pun bahwa di situ juga ada Suster Xaveria Arpina SFIC, kini 71 tahun.

Ia adalah suster biarawati anggota Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan tak Bernoda Bunda Suci Allah yang dalam bahasa Latin-nya ditulis “Sororum Fransiscalium ab Immacculata Conceptione a Beata Matre Dei” alias SFIC.

Di Biara SFIC Pontianak

Beberapa kali, secara tidak sengaja saya bertemu muka menjumpai Sr. Xaveria SFIC. Kemudian, kami malah duduk bersama makan berhadapan atau berdampingan di refter (kamar makan) Biara Susteran SFIC St. Willibrordus di Jl AR Hakim, Kota Pontianak.

Itu terjadi  sepanjang hari-hari berlangsungnya kegiatan Jambore Nasional SEKAMI (Serikat Kepausan Remaja dan Anak Misioner) di Keuskupan Agung Pontianak, 3-6 Juli 2018.

Berkat Sr. Maria Seba SFIC dan Sr. Laura SFIC serta restu izin Sr. Irene SFIC selaku Provinsial, kami bertiga yakni Vincentius Dimas, Pipit Prahoro dan penulis bisa bebas duduk rileks dan makan-minum sepuasnya di Biara SFIC tersebut. Sesekali, saya sempat berbincang-bincang ringan dengan Sr. Xaveria SFIC.

Itulah momen, ketika di depan kami tengah tersaji  penganan ketan berbungkus ‘kantong Semar’ –makanan ringan khas pedalaman Sanggau- hasil oleh-oleh Sr. Romana SFIC yang baru saja ‘pulang kampung’ di Bonti untuk liburan.

Panggilan kedua

Dari omongan ringan soal makanan itu, tak ada kesan apa pun bahwa teman bicara di meja makan itu bukan suster sembarangan.

Barulah ketika Sr. Xaveria SFIC ikut dalam rombongan tim  AsiaNews.It dan Sesawi.Net serta Gerakan Words2Share dalam perjalanan panjang dan melelahkan menuju garis perbatasan wilayah Kalbar dan Serawak-Malaysia, maka maka kisah-kisah heroiknya mulai terkuak.

Kami berempat plus Sr. Xaveria datang ke Kuala Dua di wilayah Keuskupan Sanggau, Kalbar, dengan maksud ingin mendokumentasikan secara tertulis dan visual lewat video pendek profil paroki-paroki yang terletak di garis perbatasan Sanggau dengan Serawak-Malaysia.

Sr. Xaveria ikut serta dalam perjalanan kami dari Pontianak menuju Kuala Dua di Sanggau, lantaran ia adalah Piko (Pemimpin Komunitas) Biara SFIC St. Margaretha Cortona di Kuala Dua, Keuskupan Sanggau –tempat destinasi awal perjalanan kami.

“Panggilan saya pertama-tama adalah menjadi seorang suster biarawati SFIC Provinsi Indonesia,” demikian kalimat pembuka yang mengisi proses wawancara kami dengan Sr. Xaveria.

“Barulah panggilan kedua saya adalah berani meninggalkan zona nyaman untuk menjadi seorang misionaris SFIC Indonesia  di Kenya, Afrika Timur,” tambahnya.

Perjalanan kami menuju garis perbatasan Kalbar-Serawak ini juga punya maksud sampingan yakni ingin melatih dua suster muda SFIC melakukan proses liputan berita dan mendokumentasikan hasil liputan itu dalam bentuk tertulis dan visual (video).

Karena itu, dengan sengaja kami mendapuk Suster Maria Seba SFIC memandu proses wawancara dengan narasumber tunggalnya, yakni Sr. Xaveria SFIC.

Proses wawancara dengan Sr. Xaveria SFIC terjadi di Biara SFIC Kuala Dua, Keuskupan Sanggau. Sr. Maria Seba SFIC bertindak sebagai pewawancara. (Mathias Hariyadi/Sesawi.Net)

Wawancara ini dilakukan guna bisa mengorek informasi tentang kisah iman Sr. Xaveria dan sejarah panggilan hidup religiusnya. Terutama, meretas info tentang aneka  ‘konflik batin’ Sr. Xaveria,  ketika ia harus merespon tugas pengutusannya dari Kongregasi SFIC  untuk berangkat ke Kenya menjadi misionaris SFIC di Tanah Afrika. Masuk di sini tentu saja aneka pergulatan batinnya ketika harus bisa menyesuaikan diri dengan tantangan hidup dan tugas pastoral di kawasan Afrika Timur.

Proses wawancara dengan syuting ini terjadi dalam sebuah perbincangan ringan, usai makan malam yang sangat enak di hari Minggu malam tanggal 8 Juli 2018 di Biara SFIC Kuala Dua.

Sr. Xaveria SFIC berkisah tentang karya formatio yang pernah dia tangani selama menjadi misionaris 15 tahun Kenya, Afrika Timur. Di sana, ia menjalani fungsinya sebagai pembina calon-calon suster lokal Kenya. (Vincentius Dimas/Sesawi.Net)

15 tahun di Kenya

Sr. Xaveria lahir di Nangka, Kabupaten Landak, Kalbar, tahun 1947 dengan membawa nama kecil Arpina dan mengadopsi nama pelindung babtis Marietta.

Bahwa sekali waktu dalam sejarah hidupnya akan menjadi seorang suster biarawati plus misionaris SFIC Indonesia di Tanah Afrika, katanya, hal itu tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Namun, sejarah hidup sudah terjadi. Dan Nairobi –Ibukota Kenya—adalah tempat di mana Sr. Xaveria dengan sukacita berani menerima tugas pengutusannya sebagai misionaris SFIC Indonesia generasi ketiga hidup di kawasan Afrika Timur.

Ternyata, keberadaannya di Kenya malah berlangsung lama sekali hingga 15 tahun.

Sr. Xaveria meneruskan karya misi SFIC Provinsi Indonesia di Kenya yang sebelumnya telah dirintis oleh Sr. Sabina SFIC sebagai angkatan pertama. Angkatan kedua diisi oleh Sr. Yulia Oyen SFIC, angkatan keempat diampu oleh Sr. Silvy Susanti SFIC dan angkatan kelima adalah Sr. Ruth SFIC.

Sr. Sabina SFIC kini masih berkarya di RS Kusta Alverna di Singkawang. Sr. Silvy Susanti SFIC telah pergi menghadap Tuhan di Pontianak awal Februari 2018 lalu dengan catatan historis bekerja sebagai bidan selama 16 tahun di Kenya.

Ekspresi Sr. Xaveria SFIC berbagi kisah pelayanan dan karya pembinaan para calon suster SFIC di Kenya selama 15 tahun. (Vincentius Dimas/Sesawi.Net)

Jangan lupa ‘habari’

Tantangan pertama bagi Sr. Xaveria tentu saja harus belajar bahasa lokal. Namun untuk bisa belajar bahasa Swahili yang biasa dipakai sehari-hari dalam bahasa gaul orang Kenya, Sr. Xaveria harus pergi ke Tanzania –negara di sebelah selatan Kenya—lantaran ragam bahasa Swahili produk Tanzania lebih ‘halus’.

Ya, mirip-mirip bahasa Jawa logat Yogya atau Solo dengan dialek Banyumasan,  begitu kurang-lebih analogi pikirnya.

“Selama di Kenya, harap jangan lupa dengan satu kata khas ini yakni habari. Inilah salam khas Kenya,” terang Sr. Xaveria.

Habari artinya ‘apa kabar?’.

“Dengan mengucap habari sebagai awal pembuka pembicaraan dengan semua orang Kenya, maka atmosfir persahabatan dan keakraban secara otomatis akan mengemuka,” kata Sr. Xaveria.

“Kalau kita lupa beruluk salam mengucapkan habari menyapa orang Kenya, maka permintaan tolong apa pun tidak akan mereka tanggapi. Namun begitu kita mulai mengucap habari, maka kesediaan mereka membantu kita terlecut dengan sendirinya,” begitu Sr. Xaveria merumuskan konsep tata nilai sosial masyarakat Kenya.

Dingin menusuk tulang

Tantangan berikutnya adalah keharusan menyesuaikan diri dengan iklim yang teramat beda dengan Indonesia sebagai negara tropis.

“Di Kenya, kadang siang dan apalagi malam, kami harus selalu berbalut baju hangat. Di luaran, hawanya sangat dingin,” terangnya.

Hal lain yang harus diadopsi sebagai kebiasaan adalah sistem tata nilai sosial yang berbeda. Afrika dan Asia adalah dua wilayah benua dengan sistem nilai dan kebiasaan yang berlainan.

Salah satu tantangan pastoral adalah praktik hidup poligami yang dianut banyak pria Kenya.

Karya pembinaan

Di Kenya dan bersama beberapa suster misionaris asing dari Filipina, Sr. Xaveria berkarya di bidang pendidikan dan pembinaan (formatio). Tentang tugas yang terakhir itu, ia mengaku bangga ketika akhirnya Misi SFIC Kenya mampu ‘memproduksi bibit panggilan lokalnya’.

Salah satu didikan Sr. Xaveria bersama koleganya dari Belanda dan lainnya adalah Sr. Gaudencia Awino Onyango SFIC, orang asli Kenya.

“Ia hasil didikan kami, ketika saya didapuk menjadi socius, pendamping magistra di rumah pendidikan calon suster SFIC Misi Kenya,” tulisnya.

“Kini suster biarawati asal Kenya itu sudah masuk kategori senior di sana,” kenang Sr. Xaveria yang pernah menghabiskan hari-hari panjangnya di Kenya kurun waktu  tahun 1997-2012.

Kerusuhan sektarian

Sama seperti Kalimantan Barat yang beberapa kali dilanda kerusuhan sosial bernafaskan sektarian, maka Kenya pun juga tak luput dari hal itu.

Persoalan sangat krusial juga pernah dihadapi Sr. Xaveria dan para misionaris asing sebagai formator para suster lokal SFIC di Nairobi. Itu terjadi, ketika Kenya terkena imbas “perang saudara” karena pertikaian politik perebutan kekuasaan antara dua kelompok massa berbeda latar belakang etnik.

Ingat bahwa Rwanda –negara berbatasan langsung dengan Kenya di wilayah Utara– pernah hancur-hancuran dilanda kerusuhan etnis massal,  ketika “perang saudara” terjadi antara suku Tutsi dan Hutu sepanjang tahun 1990-1994.

Sisa-sisa emosi sektarianisme itu juga pernah sampai merembet ke Kenya, ketika dua suku berbeda saling berebut kursi kekuasaan.

“Sebagai misionaris asing asal Indonesia, posisi saya aman,” kata Sr. Xaveria menjawab pertayaan Sr. Seba sembari sebentar-bentar menyeka air matanya mengenang pengalaman menegangkan dan penuh tantangan ketika hidup di negara asing.

“Namun,” katanya kemudian, ”ketika menghadapi situasi genting, mau tak mau rasa kemanusiaan kita ‘berteriak’,” ungkapnya terbata-bata.

Itu terjadi padanya, ketika seorang suster lokal Kenya dari Kongregasi lain tengah dicari pihak ‘musuh’, hanya karena ia berasal dari suku etnis yang berbeda dengan kelompok pemenang kekuasaan.

Komunitas suster itu tetanggaan dengan Komunitas SFIC.

Putusan pimpinan Kongregasi suster tetangga mengatakan, suster lokal Kenya yang dicari-cari  itu harus cepat pergi dari kawasan rawan konflik untuk segera diungsikan ke daerah yang lebih aman.

Namun, caranya memang ‘tidak biasa’.

“Suster muda itu merelakan diri ‘dikubur’ di bawah tumpukan barang-barang yang mengisi penuh ruangan di dalam bak minivan,” terang Suster Xaveria.

Tentu suster Kenya itu mengalami kesulitan bernafas, tapi itulah cara paling tokcèr agar dia bisa selamat dari kejaran kelompok musuh hingga akhirnya sampai di tempat yang lebih aman.

Libur dan tidak bisa kembali lagi

Pada tahun 2012, Sr. Xaveria mendapat kesempatan libur cuti pulang kampung ke Indonesia dan selanjutnya ke Pontianak.

Namun, untung tak dapat diraih dan malang pun tak bisa ditolak. Dokter di Pontianak akhirnya merekomendasikan dia agar tidak lagi pergi bermisi ke Kenya.

Dengan tantangan karya dan kondisi iklim yang berbeda, maka kondisi kesehatannya dianggap tidak mendukung untuk tugas menjadi seorang misionaris di Tanah Afrika.

Taat pada keputusan Pemimpin Kongregasi, maka niatnya kembali lagi ke Kenya sudah tak dapat ia raih lagi. Dengan begitu pula, Sr. Xaveria  juga harus merelakan sejumlah barang pribadi dan pernak-pernik kenangannya di Kenya tetap tinggal di Kenya untuk selamanya.

Habari Kenya adalah dua kata yang hingga kini terus mengisi relung hatinya, setiapkali bicara tentang Misi SFIC Kenya. Apalagi kalau harus mengingat peristiwa ‘penting’ dalam hidupnya sebagai mantan misionaris SFIC Indonesia di Misi SFIC Kenya.

Peristiwa penting itu terjadi di tahun 2001, ketika Sr. Awino Oyango akhirnya mengucapkan kaul perdananya sebagai Suster Biarawati SFIC Misi Kenya –hasi didikannya.

“Kini, ia sudah menjadi suster senior dan malah menjadi Anggota Dewan Misi SFIC Kenya,” ungkapnya bangga.

Kenya adalah negara berkembang pesat. Penduduknya juga ramah bersahabat.

Kepada para suster SFIC muda Provinsi Indonesia, katanya, “Asante karibu Kenya alias Selamat datang di Kenya.”

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here