
Minggu, 17 Agustus 2025
Sir. 10:1-8.
Mzm. 101:1a,2ac, 3a,6-7.
1Ptr. 2:13-17.
Mat. 22:15-21
HARI kemerdekaan adalah saat di mana kita menengok kembali sejarah panjang bangsa, perjuangan, bahkan penderitaan banyak orang yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kebebasan.
Kita mensyukuri anugerah Allah yang menghadirkan kemerdekaan ini melalui tangan-tangan para pejuang. Namun, kemerdekaan bukan hanya hadiah, melainkan juga tanggungjawab.
Sebagai bangsa yang merdeka, kita diajak untuk tidak melupakan akar sejarah, sebab kemerdekaan lahir dari darah, airmata, dan doa.
Tetapi bersyukur saja tidak cukup. Kita harus mengisi kemerdekaan itu dengan sikap hidup yang membangun: kejujuran, kerja keras, kepedulian, dan persaudaraan. Tanpa itu semua, kemerdekaan bisa kehilangan makna sejatinya.
Kemerdekaan sejati belum sungguh dirasakan oleh sebagaian besar rakyat negara tercinta ini. Belenggu rakyat itu terjadi bukan karena penjajahan bangsa lain, tetapi sebagian masyarakat kita belum bebas dari perbudakan dosa: keserakahan, ketidakadilan, kebencian, dan korupsi.
Di sinilah letak tanggungjawab kita: menjaga dan menghidupi kemerdekaan dalam terang iman, sehingga hidup kita sungguh menjadi berkat bagi bangsa dan sesama.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Kemerdekaan, kesejahteraan, dan keadilan hanya bisa terwujud bila kita setia mengisi hidup dengan kesetiaan, kepada negara dengan kejujuran dan tanggung jawab, kepada Allah dengan iman dan kasih.
Sabda Yesus mengingatkan kita bahwa hidup kita selalu berada dalam dua ranah: sebagai warga negara dan sebagai anak Allah.
Sebagai warga negara, kita dipanggil untuk taat pada aturan yang adil, membayar kewajiban, bekerja sungguh-sungguh, serta berkontribusi bagi kesejahteraan bersama.
Tetapi sebagai anak Allah, kita dipanggil lebih dalam lagi: hidup dalam kasih, kejujuran, ketaatan pada sabda-Nya, serta memberi diri dalam pelayanan.
Bahaya yang kerap terjadi adalah bila kita hanya menekankan satu sisi dan melupakan yang lain. Ada yang rajin beribadah, tetapi lalai pada kewajiban sosial dan tanggungjawab sebagai warga negara.
Sebaliknya, ada yang sibuk mengejar urusan duniawi, tapi mengabaikan hidup rohani dan hubungannya dengan Allah. Sabda Yesus mengingatkan: keduanya harus berjalan seimbang.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku juga memberi yang terbaik bagi Allah: iman yang hidup, kasih yang nyata, dan kesetiaan dalam doa?