
KOMUNITAS Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) Yogyakarta, hari Sabtu 14 Juni 2025 pekan lalu menyelenggarakan lokakarya penulisan buku. Kegiatan ini digelar di Pusat Pastoral Mahasiswa Yogyakarta.
Mengambil tema “Menimba Kekuatan, Membagikan Dukungan”, lokakarya dengan pemantik materi Romo Dr T. Krispurwana Cahyadi SJ ini diadakan untuk mengenang Paus Fransiskus dan mendukung Paus Leo XIV yang terpilih sebagai pemimpin Gereja Katolik se-dunia pada 8 Mei 2025 silam.
Ada 29 penulis yang mengikuti lokakarya sehari yang diselenggarakan di Pini. Mereka terdiri dari guru, seniman, mahasiswa, karyawan, dan penulis. Buah-buah lokakarya akan ditulis dan disusun menjadi buku.

Tentang Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV
Romo Krispurwana SJ dalam lokakarya ini memaparkan banyak hal seputar Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV. Penulis buku Paus Fransiskus; Gereja yang Rendah Hati dan Melayani ini mengungkap berbagai aspek kedua pemimpin umat itu dari aspek kepemimpinan, spiritualitas, teologi, dan ajaran sosial Gereja.
Lebih dari itu, imam Jesuit asal Paroki Kalasan ini juga memaparkan berbagai terobosan mereka dalam memimpin Gereja Katolik. Taruhlah seperti arah pelayanan Gereja, perhatian pada kaum miskin dan tersingkirkan, peran perempuan dalam hierarki, dan keterbukaan mereka terhadap keberagaman.
Paparan dimulai dari prinsip-prinsip kepemimpinan Fransiskus.
Menurut Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta yang secara khusus meneliti dokumen-dokumen Gereja dan menulis buku-buku para Paus ini, Fransiskus sebagai seorang Jesuit memiliki model kepemimpinan gaya tentara.
Ia disebut menguasai metode cepat dalam mengambil keputusan. “Ini akan berbeda dengan kepemimpinan Paus Leo XIV – seorang biarawan Agustinian,” ujarnya.
Agustinian lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Lebih pelan.


Sebagai Jesuit pula, Fransiskus terlatih memutuskan seorang diri. Berbeda dengan Agustinian yang terbiasa memutuskan secara bersama-sama.
Meski beda, namun kedua paus memiliki kesamaan yang signifikan. Mereka sama-sama migran yang menghabiskan banyak waktu melayani masyarakat miskin di daerah yang banyak persoalan tentang kerusakan alam dan ketidakadilan sosial. Fransiskus pernah menjadi uskup di Argentina, Leo XIV di Peru.
Kesamaan pengalaman tersebut menjadikan keduanya lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan. “Teologi mereka tidak dogmatik,” kata Romo Krispurwana SJ – teolog dogmatik ini.
Tentang ini, Romo Krispurwana menjelaskan, Fransiskus mengidolakan Santo Fransiskus Assisi yang dikenal menerima stigmata karena penghayatannya yang mendalam akan Kristus. Ia dikenal dengan spiritualitas kasih, sebagaimana Leo XIV sebagai pengikut Santo Agustinus yang primatnya juga kasih.

Secara khusus, Leo XIV disebut Romo Krispurwana sangat mengapresiasi keindahan. “Paus Leo XIV telah mengubah wajah Gereja Katolik yang penuh sukacita dalam mengenal Yesus,” tukasnya.
Diyakini, dengan gaya yang sedikit berbeda dengan Fransiskus, Leo XIV akan meneruskan perubahan Gereja untuk lebih bergerak ke luar, terutama berperan dalam perdamaian dunia, seturut semangat Agustinian yang lebih mengedepankan persaudaraan.
Menurut kedua paus, belas kasihlah yang mengubah orang.
Banyak lagi topik yang dibahas dalam lokakarya yang digagas Adrian Diarto ini. Topik-topik tersebut diperdalam untuk kemudian menjadi bahan penulisan yang akan dibukukan.