Kenapa Harus Berteriak-teriak?

0
817 views
Bunda Teresa.

Puncta 05.01.22
Rabu Biasa Sesudah Penampakan Tuhan
Markus 6: 45-52

SUATU kali Bunda Teresa memandikan anak-anak gelandangan di tepi sungai. Ia melihat ada keluarga yang sedang bertengkar. Mereka saling berteriak keras-keras.

Ia bertanya kepada anak-anak itu: ”Kenapa orang suka saling berteriak, kalau sedang marah?”

Mereka menjawab: ”Karena kehilangan kesabaran, mereka berteriak.”

”Tetapi, kenapa harus berteriak pada orang yang ada di sebelahmu? Kan, pesannya juga sampai dengan cara yang halus dan lembut?” tanyanya lagi.

Anak-anak saling beradu pandang tidak mampu menjawab lagi.

Akhirnya Bunda Teresa menjelaskan: ”Bila dua orang bermarahan, hati mereka sangat menjauh. Untuk dapat menempuh jarak yang jauh itu, mereka harus berteriak agar terdengar. Semakin marah, semakin keras teriakan karena jarak ke dua hati pun semakin jauh.”

”Apa yang terjadi saat dua insan jatuh cinta?” lanjutnya. “Mereka tidak berteriak pada satu sama lain. Mereka berbicara lembut, karena hati mereka berdekatan. Jarak antara ke dua hati tidak ada atau sangat dekat.”

Setelah itu ia meneruskan. ”Bila mereka semakin lagi saling mencintai, apa yang terjadi? Mereka tidak lagi bicara. Hanya berbisikan dan saling mendekat dalam kasih-sayang.

Akhirnya, mereka bahkan tidak perlu lagi berbisikan. Mereka cukup saling memandang. Itu saja. Sedekat itulah dua insan yang saling mengasihi.”

Bunda Teresa memandangi mereka dan mengingatkan dengan lembut: ”Jika terjadi pertengkaran, jangan biarkan hati menjauh. Jangan ucapkan perkataan yang membuat hati kita kian menjauh. Karena jika kita biarkan, suatu hari jaraknya tidak lagi bisa ditempuh.”

Saya jadi teringat kata Pemazmur, “Jangan biarkan matahari tenggelam sebelum padam amarahmu.”

Artinya jangan membiarkan kemarahan tersimpan berlarut-larut karena akan membuat jarak yang semakin tidak tersentuh.

Setelah pergandaan roti, Yesus menyuruh para murid naik perahu ke Betsaida. Orang banyak sudah pada pulang. Yesus berdoa seorang diri.

Para murid mendayung dengan susah payah, karena angin sakal.

Yesus berjalan di atas air hendak melewati mereka. Mereka berteriak-teriak sebab mereka mengira Dia itu hantu.

Karena Tuhan tidak bersama mereka, dan dengan hati marah karena beban hidup yang berat, mereka berteriak-teriak.

Ketiadaan kasih membuat orang berteriak-teriak. Tuhan dirasa jauh, maka berbicara dengan-Nya harus dilakukan dengan teriak-teriak.

Kendati baru saja terjadi mukjijat pergandaan roti, para murid itu belum juga mengerti dan hati mereka tetap degil.

Yesus mendekati mereka dan berkata dengan lembut, “Tenanglah. Aku ini jangan takut.”

Yesus berada tinggal di perahu bersama mereka dan angin pun reda.

Ketika tidak bersama Tuhan, mereka bersusah payah menghadapi badai. Mereka berteriak-teriak ketakutan.

Namun saat Tuhan bersama mereka, perahu kehidupan berjalan tenang dan damai.

Mari kita mengundang Tuhan dalam mengarungi perjalanan hidup. Jika Tuhan ada segalanya akan aman. Jika Tuhan dekat, kita saling mengasihi. Jika ada kasih sayang, kita tidak perlu berteriak-teriak.

Seperti orang yang saling mengasihi tidak perlu kata-kata keras, teriak-teriak. Cukup duduk berdua dalam hening, mata hati terpaut satu sama lain.

Seperti Yesus yang sering menyepi sendiri dengan Bapa-Nya, merajut cinta yang mesra dalam keheningan.

Sudahkah anda merasa sedekat ini dengan Tuhan? Atau sedekat apakah anda dengan pasangan hidup?

Angin dingin menerpa dedaunan,
Rumput-rumput tersentuh embun basah.
Dalam cinta yang hening ada kedamaian.
Duduk berdoa menikmati senja yang indah.

Cawas, dalam hening dan diam…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here