Kering Tempe

0
889 views
Berbagi berkat (Ist)

Senin, 3 November 2025

Rm. 11:29-36.
Mzm. 69:30-31,33-34,36-37.
Luk. 14:12-14

BERBAGI tidak selalu berarti memberi sesuatu yang besar. Kadang cukup dengan sejumput kering tempe, sepotong waktu, atau seulas perhatian.

Waktu ziarah dan jauh dari rumah kami masing-masing, ada satu momen sederhana yang justru menyentuh hati, yakni saat kita berbagi kering tempe buatan sendiri.

Di negeri jauh, makanan kecil itu bukan sekadar bekal. Ia menjadi tanda kasih, keakraban, dan persaudaraan.

Di saat tubuh lelah berjalan dari satu tempat suci ke tempat lain, rasa gurih dan manis tempe yang dibagikan mengingatkan bahwa ziarah bukan hanya soal kaki yang melangkah, tetapi hati yang saling berbagi.

Kering tempe, yang mungkin tampak sepele di mata dunia, justru menjadi lambang Ekaristi kecil di antara para peziarah.

Sebagaimana Yesus memecah roti dan membagikannya kepada murid-murid-Nya, demikian pula tindakan sederhana membagi makanan menjadi bentuk nyata kasih dan perhatian. Di situ ada kehadiran Kristus yang tak terlihat tetapi sungguh dirasakan.

Dalam suasana asing dan jauh dari rumah, berbagi kering tempe membuat kita sadar: iman Katolik adalah universal, tetapi kasih selalu terasa lokal

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.”

Dalam pandangan manusia, perjamuan adalah momen kehormatan dan kebanggaan. Orang-orang biasanya mengundang mereka yang bisa memberikan balasan: sahabat, kerabat, atau orang terpandang.

Tetapi Yesus membalikkan logika itu. Ia mengundang kita untuk berbagi bukan demi keuntungan, melainkan demi kasih.

Di meja kasih Kristus, tidak ada kursi khusus bagi yang berkuasa atau kaya; setiap orang diundang, termasuk mereka yang tidak bisa membalas.

Perintah Yesus ini menantang hati kita: apakah kita hanya bersahabat dengan orang yang menyenangkan, atau juga berani hadir bagi mereka yang terluka dan kesepian?

Apakah kita mengundang orang lain ke dalam hidup kita karena cinta, atau karena kita ingin dihargai kembali?

Mengundang “orang miskin, lumpuh, buta, dan cacat” bukan sekadar tindakan jasmani, tetapi juga rohani.

Mungkin yang miskin adalah mereka yang kekurangan kasih; yang buta adalah mereka yang tidak melihat harapan; yang lumpuh adalah mereka yang tak lagi sanggup berjalan dalam iman.

Ketika kita membuka hati bagi mereka, kita sedang merayakan perjamuan sejati bersama Kristus, perjamuan yang disiapkan bukan untuk keuntungan, tetapi untuk kasih yang menghidupkan.

Bagimana dengan diriku?

Apakah aku berani membuka hati dan waktu bagi mereka yang lemah, terluka, dan terlupakan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here