Kesuma, Persembahan Gereja St. Mikael Kranji untuk Masyarakat Sekitar

0
2,731 views

 

 

 

[media-credit name=”Julius Widiantoro” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]PANAS matahari terasa menyengat. Waktu belum menunjuk  pukul 09.00 pagi. Pohon manggis yang menjulang ditambah rindangnya deretan pohon bintaro dan tanjung di halaman Sekolah Strada tidak kuasa meredam panas. Sejak pagi,  klinik pengobatan sudah buka pintu. Dokter dan perawat sudah siap sejak pukul 08.00 pagi. Sebentar kemudian, sejumlah pasien sudah mulai berdatangan. Ada yang naik motor, jalan kaki atau naik motor. Namun, mayoritas datang dengan naik angkot.

 

 

Tak lama kemudian dari ujung gang tampak seorang pria paruh baya datang naik becak. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Sampai di depan pintu Klinik Kesuma (Kesehatan untuk Umat), bapak tadi minta tolong si abang becak yang rupanya dia kenal baik, untuk memapahnya masuk ke ruang pendaftaran.

Kena ganggrene

Wajahnya sedikit cemas. Tampaknya ia baru pertama kali datang ke klinik. Rasa cemasnya seketika sirna saat satu perawat di Klinik Kesuma ternyata mengenalinya. Betul, bapak tadi adalah tukang parkir di Pasar Kranji yang jaraknya kira-kira dua kilometer dari klinik yang berada di dalam kompleks Gereja St. Mikael, Kranji.

Bapak ini lalu  masuk klinik dengan terpincang-pincang, meskipun sudah dipapah. Kaki kirinya terkena ganggrene, penyakit luka membusuk akibat diabetes. Kakinya tampak hitam karena jaringannya sudah mati. Luka di kakinya juga menebarkan bau busuk.

Berat bagi bapak yang hanya berprofesi sebagai tukang parkir pasar ini untuk berani berobat di rumah sakit. Kalau pun akhirnya berani masuk klinik, maka itu menjadi pilihan terbaik yang hanya bisa dia pilih.  Ia berani mendatangi Klinik Kesuma hanya karena mengikuti anjuran tetangganya.

Jadi, awalnya memang serba bersaput rasa enggan memasuki klinik. Namun, rasa sakit yang sudah tidak bisa dia tahan akhirnya meluluhkan rasa enggannya hingga akhirnya berani bangkit, naik becak, mendatangi Klinik Kesuma. Hari itu, dia sudah tekad bulat mau berobat.

 

 

 

[media-credit name=”Julius Widiantoro” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit] 

Kejadian ini sudah berlangsung tiga tahun lalu. Namun, peristiwa di Klinik Kesuma ini masih segar dalam ingatan Ibu Erna, suster awam yang sudah sekian lamanya membantu proses pengobatan di Klinik Kesuma. Hingga kini, Ibu Erna masih setia menunggui kedatangan pasien yang datang berobat dari sekitar lingkungan gereja. Pada hari Minggu, usai misa, tak kurang dari 300-an orang datang berobat. Pelayanan kesehatan dilakukan usai misa kedua oleh beberapa tenaga dokter antara lain dr. Hengki, dr. Endang, dan dr. Kristin.

Karena getok tular, tak jarang pasien dari luar paroki pun datang berobat di Klinik Kesuma. Malah juga datang pasien dari  Tambun atau Pondok Ungu yang rata-rata menderita TBC—penyakit khas di kalangan masyarakat kurang mampu.

Oase bagi masyarakat sekitar

Mungkin di gereja-gereja lain keberadaan sebuah poliklinik tidaklah terlalu istimewa. Namun kehadiran Kesuma di Gereja St. Mikael Kranji bagaikan oase di tengah sulitnya mendapatkan layanan kesehatan yang murah dan baik. “Inilah salah satu buah ketekunan untuk berintropeksi dan memperbaiki diri untuk membangun hubungan baik Gereja dan masyarakat,” kata Krisantono, tokoh umat.

Di tengah keprihatinan hubungan umat beragama yang kurang harmonis di beberapa tempat, Kesuma menjadi contoh cara yang bisa saling mendekatkan antara Gereja dan masyarakat. Bulan Mei 2011 kemarin, Radio KBR 68H mengangkat kisah menarik ini dengan menyebutnya sebagai  kisah jalan dami yang bisa dijadikan inspirasi di belahan lain di Indonesia.

Salah satu buah kedekatan itu juga tampak ketika pada bulan Juli kemarin Bapak Supriyono, Ketua RW setempat melayangkan surat permohonan resmi ke Kesuma. Intinya adalah permohonan agar dokter-dokter Klinik Kesuma berkenan untuk membantu para lansia di wilayah RW untuk menjaga kesehatan mereka. Diharapkan agar pelayanan yang sekarang hanya seminggu sekali ditingkatkan jadi setiap hari. Sebab repot kalau harus menunggu selama 7 hari untuk bisa berobat.

Gereja merespon kebutuhan

Dewan Paroki dan Yayasan Husada Bhakti Kesuma prihatin atas minimnya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitar. Perlahan-lahan mereka terus berusaha meningkatkan standar pelayanan agar lebih baik. Puji Tuhan izin penyelenggaraan Balai Pengobatan dari Pemerintah Kota sekarang sudah turun. Dewan Paroki juga sudah membentuk PPKGK (Panitia Pembangunan Komplek Gereja Katolik) untuk keperluan pembangunan Balai Kesehatan Masyarakat dan Kegiatan Sosial Umat.

Awal Agustus, team PPKGK mulai melakukan sosialisasi program Aksi KESUMA (Kepedulian Semua Umat). Intinya adalah bahwa sebagai paroki yang mungkin dari sudut kemampuan finansial tidaklah sekuat paroki yang lain, semua umat ingin dilibatkan untuk menyumbang. Bagi umat Kranji dana sekitar Rp 2,7 milyar bukanlah sedikit. Namun dengan semangat janda miskin yang memberi persembahan dengan sepenuh hati kendati dalam kekurangan, mereka optimis dengan pertolongan Tuhan, balai kesehatan dan kegiatan pastoral ini diharapkan bisa segera terwujud.

Tentu dibutuhkan uluran dana dari para derwaman di luar paroki. Apalagi berdirinya gedung hanyalah awal. Masih butuh banyak dana baik obat-obatan, prasarana, alat kesehatan dan lain sebagainya untuk membuat Kesuma betul-betul menjadi oase bagi masyarakat sekitar.Bahkan syukur bisa menjadi inspirasi bagi Gereja di Indonesia.

Julius Widiantoro, umat Paroki St.Mikael, Kranji, Bekasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here