Ketika Aku Seorang Asing, Kok Kamu Telantarkan Aku?

0
175 views
Pulau Galang - Beginilah suasananya the Boat People dari Vietnam pergi mengungsi ke Pulau Galang, Indonesia.

GELOMBANG pengungsi begitu semarak tahun 1999 lalu di negeri tercinta ini. Ketika Timor Lorosae bergolak, ratusan ribu rakyatnya terpencar-pencar ke berbagai tempat di tanah air. Mereka menjadi pengungsi di kamp-kamp menanti uluran tangan dari sesama.

Sumatera Selatan pun kebagian para pengungsi Timor Leste ini.

Tahun 2003, saya mengunjungi pemukiman para pengungsi Timor Leste di Muara Klingi, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Daerah ini masih masuk dalam reksa pastoral paroki Penyelenggaraan Ilahi Lubuk Linggau.

Waktu itu, belum setahun mereka mendiami daerah transmigrasi itu. Untuk sementara mereka menemukan kepastian hidup setelah hampir empat tahun terkatung-katung di kamp-kamp pengungsi di Atambua, Timor Barat.

Namun pengungsian itu juga memisahkan orang dari sanak-saudara bahkan orang-orang yang sangat dekat. Yohanes, misalnya, hanya tinggal sebatang kara di Muara Klingi Satuan Pemukiman (SP) 7. Kedua orangtuanya tertinggal di Timor Leste. Istri dan anak-anaknya juga tidak ia ketahui nasib mereka.

Atau Florentina Bano memboyong anaknya melintasi perbatasan Timor Leste dan Indonesia, ketika terjadi hura-hura usai jajak pendapat pada tahun 1999 lalu itu. Sementara suaminya tertinggal di Timor Leste.

“Saya tidak tahu dia hidup atau mati sekarang ini. Saya hanya dengan anak saya di sini,” tutur Florentina yang menjadi guru bagi anak-anak pengungsi ini.

Pengungsian memang menceraiberaikan. Ha Tran, seorang anggota SCJ Amerika, misalnya, mesti berpisah dengan orangtuanya. Kini ibu mereka memiliki kewarganegaraan Norwegia, sedang ia dan kakaknya Andrew Tran menjadi warga negara Amerika Serikat. Sementara ayah dan beberapa saudara mereka tidak tahu di mana.

“Saya pernah menjadi pengungsi di Pulau Galang, sebelum diangkut ke Amerika. Kakak saya sudah lebih dulu ke Amerika. Ibu saya diangkut ke Eropa. Belakangan saya baru tahu bahwa dia menjadi warga negara Norwegia,” tutur Bruder Ha Tran, SCJ, ketika kami berkunjung ke Chicago, USA, 1997 lalu.

Syukurlah bahwa orang-orang di atas masih mendapatkan tumpangan untuk memulai suatu hidup baru. Dalam situasi seperti itu, mereka memiliki kesempatan untuk membangun kembali hidup mereka yang sempat porakporanda oleh berbagai persoalan sosial dan politik di tempat mereka.

Dari kacamata iman

Ketika orang-orang Israel berada di pembuangan di Babilonia mereka mengharapkan suatu hari kelak mereka akan bebas dan kembali ke kampung halaman untuk membangun negeri mereka dan memuji Allah. Di Babilonia mereka tidak memiliki kebebasan, karena orang-orang Babilonia memaksa mereka untuk bekerja keras.


Karena itu, ketika orang-orang Babilonia meminta mereka untuk menyanyikan lagu-lagu Sion, mereka menolak. “Bagaimanakah kami menyanyikan nyanyian-nyanyian Tuhan di tanah asing? Sekiranya aku sampai melupakan dikau, hai Yerusalem, biarlah tangan kananku dipotong. Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, sekiranya aku tidak ingat akan dikau; sekiranya aku tidak menjunjung Yerusalem menjadi mahkota sukacitaku” (Maz. 137: 4-6).

Mereka menyadari bahwa sebagai orang-orang yang tertindas mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun bagi Tuhan. Sebagai orang-orang asing, mereka tidak menemukan tempat mereka di pembuangan, karena orang-orang Babilonia menolak kehadiran mereka.

Kini banyak orang menjadi orang-orang asing, karena perang yang berkecamuk di tanah air mereka. Kemiskinan juga memaksa mereka untuk pindah ke tempat yang lain. Rasialisme yang masih dibudidayakan di beberapa negara memaksa manusia berbodong-bondong menuju negara-negara yang menjamin kebebasan.

Sebagai orang-orang asing, mereka berharap akan menemukan suatu tempat di mana mereka dapat melanjutkan hidup dan kegiatan-kegiatan mereka dalam damai, bebas dan penuh cinta kasih. Mereka membutuhkan orang-orang yang rela menerima mereka ke dalam rumah-rumah atau negara-negara mereka.

Yesus datang untuk mewartakan Kerajaan Allah di mana orang saling mencintai sebagai saudara. Kehadiran Kerajaan Allah bukan hanya untuk orang-orang Israel (bahkan orang Israel menolak kehadiran Yesus dengan membunuhNya di kayu salib), tetapi bagi semua orang yang menerima dan menjawab kasih Allah. Keberadaan Kerajaan Allah untuk setiap kita yang percaya dengan hati, mulut dan perbuatan bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah yang datang untuk membebaskan manusia dari dosa dan kuasa setan.

Artinya, Yesus menyambut kita ke dalam Kerajaan Allah yang penuh kedamaian, kemerdekaan, persaudaraan dan kasih.

Sebagai orang-orang kristiani, yang sedang bergulat di dunia sekarang ini, kita melanjutkan pewartaan Kerajaan Allah kepada dunia dengan mencintai sesama. Sebagaimana Yesus menerima semua orang yang datang kepadaNya, kita mau menerima orang-orang asing sebagai teman dan sesama, sebab kita juga sedang berada dalam perjalanan menuju Kerajaan Allah. Kita mesti menyadari bahwa kita juga merupakan orang-orang asing atau peziarah-peziarah yang sedang mengembara menuju kehidupan kekal.

Dalam suratnya yang pertama Santo Yohanes menulis, “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (Yoh. 4:7,19-20).

Santo Yohanes mengajak kita untuk mengungkapkan dan menghayati iman kita dengan saling mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jadi sebagai orang-orang kristiani, tidak ada alasan bagi kita untuk membenci sesama kita. Saya rasa dalam hal ini kita melihat konsern Allah terhadap orang-orang asing yang membutuhkan kasih dari kita, “Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan” (Mat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here