Keuskupan Sintang, Kalbar: Gereja dan Kebudayaan Manusia (5)

0
250 views
Ilustrasi: Kenuai, menggarap ladang. (Sr. Ludovika OSA)

SATU kenyataan yang tak bisa dipungkiri ialah Gereja Keuskupan Sintang itu hidup, bergerak dan ada di tengah sebuah konteks budaya lokal.

Atau kalau ingin menyebutnya lebih spesifik lagi, suku Dayak itulah budaya lokal yang dimaksudkan.

Membela peladang yang dituduh pembakar hutan

Gereja Keuskupan Sintang harus menyadari betul kenyataan ini. Sebab, di tengah konteks budaya lokal inilah ia menghayati identitas diri dan perutusannya, yakni untuk mewujudkan citra ilahi dan menghadirkan kerajaan Allah (bdk. Rumusan visi ardas 2002-2006 dan 2007-2011).

Salah satu momen yang menunjukkan Gereja Keuskupan Sintang sudah melaksanakan pengutusannya tersebut ialah saat dirinya hadir dan terlibat langsung dalam menuntut pembebasan terhadap keenam peladang yang waktu itu sempat ditangkap oleh aparat karena dituduh menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Keterlibatan Gereja ini memang nampak lebih sebagai perwujudan dari misi Ardas Keuskupan 2012-2016 dan 2017-2021, yakni berbelarasa dengan korban ketidakadilan dan kaum marginal.

Akan tetapi, lewat kehadirannya tersebut sesungguhnya Gereja sedang menunjukkan rasa hormat terhadap kebudayaan yang terdapat dalam komunitas lokal.

Kebudayaan yang dimaksud ialah kearifan berladang yang terdapat dalam suku Dayak.

Penghormatan terhadap budaya lokal menjadi langkah awal bagi Gereja agar bisa menggali dan menyelami kekayaan budaya yang dimiliki oleh sebuah komunitas lokal dalam dialog yang jujur dan sabar.

Keenam peladang tersebut kini sudah menghirup udara bebas.

Namun bukan berarti tugas Gereja dalam membela mereka yang mengalami ketidakadilan sudah selesai.

Begitu juga dengan kembali diizinkannya peladang untuk berladang, akan membuat Gereja lebih serius lagi menghayati identitas dirinya di tengah budaya lokal.

Sebab dengan kembali berladang, maka segala upacara dan ritual adat yang berkaitan dengan proses perladangan akan kembali mereka praktikkan.

Itu artinya, Gereja tidak bisa menghindar dari terjadinya perjumpaan dengan tradisi, budaya, adat-istiadat, kepercayaan lokal. Sebuah perjumpaan yang mendatangkan kegembiraan, namun tak jarang juga menimbulkan pergumulan.

Ilustrasi — Minum tuak sepuasnya di Kalbar. (Mathias Hariyadi)

Ritual dan upacara adat

Satu kenyataan berikut memang harus disadari oleh Gereja Keuskupan Sintang dalam menghayati identitas dan perutusannya di tengah suku Dayak. Yakni bahwa gerak hidup manusia Dayak itu hampir selalu diwarnai oleh ritual dan upacara adat.

Saat kelahiran, mandi pertama kali di sungai, saat menanjak dewasa, saat ada orang sakit, menikah, kematian, kegiatan terkait perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, masuk rumah baru, dan lain-lain, selalu ada ritual-ritual khusus yang dilakukan.

Ref: Fransiskus Gregorius Nyaming, Tradisi Beduruk Suku Dayak Desa. Harmoni antara Tuhan, Manusia, dan Alam, Nanga Pinoh: SEKABAN, 2020, iii-iv.

Dalam menghayati identitas dan pengutusannya di tengah kenyataan tersebut di atas, Gereja sudah pasti akan dan terus menjumpai berbagai tantangan dan rintangan.

Terlebih dalam mewartakan Yesus Kristus sebagai Sang Juru selamat dunia di tengah suku Dayak yang masih memegang teguh tradisi dan budaya sebagai warisan dari nenek moyang mereka.

Pengalaman lapangan

Perkenankan saya membagikan pengalaman yang pernah saya jumpai ketika selama kurang lebih dua tahun berkarya di Paroki Ambalau.

Seperti yang kita ketahui bersama, Paroki Ambalau bersama dengan Paroki Serawai dihuni oleh mayoritas suku Dayak Uud Danum.

Harus saya akui, tradisi lokal budaya suku Dayak Uud Danum, dalam beberapa hal sungguh berbeda, untuk tidak hendak mengatakan sangat jauh berbeda, dari kebudayaan kami: suku Dayak Desa.

Upacara kematian

Peristiwa sekitar kematian bagi saya merupakan salah satu bagian yang unik dalam suku Dayak Uud Danum.

Jika ada warga yang meninggal, jenasahnya harus disemayamkan selama tiga hari tiga malam di dalam rumah. Kematian umumnya penuh dengan suasana duka.

Namun, tidak demikian dalam Dayak Uud Danum. Malam-malam sambil menunggu jenasah dimakamkan akan diisi dengan permainan bola api.

Begitu juga ketika pulang dari pemakaman. Sesampai di rumah duka, sambil menunggu tuan rumah menyiapkan hidangan, beberapa warga terlihat bersukacita, menari-nari sambil diiringi musik.

Tujuannya ialah menghibur keluarga yang sedang berduka.

Namun, sepertinya ada makna lain yaitu keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian. Karenanya kematian itu harus dirayakan, bukan diratapi.

Merayakan Jumat Agung

Menggunakan pemahaman tersebut, Hari Raya Jumat Agung, yang oleh Gereja ditetapkan sebagai hari pantang dan puasa, bagi beberapa umat harus dirayakan dengan penuh sukacita.

Pemahaman demikian tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam karya pastoral Gereja.

Namun, apakah umat yang hendak merayakan Jumat Agung dengan pesta pora harus dicap rendah kualitas imannya karena menodai keagungan dan kekudusan pengurbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia?

Jawabannya tentu saja tidak cukup hanya dengan “ya” atau “tidak”.  

Seturut pengalaman pastoralnya masing-masing, rekan-rekan pastor yang bertugas melayani di Keuskupan Sintang pasti masih bisa menambah daftar tradisi dan budaya Dayak yang tak jarang menimbulkan pergumulan tersendiri dalam diri. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here