ROMO diosesan baru untuk Keuskupan Tanjung Selor, Kaltara, ini punya nama lengkap: Markus Ngatun Suparno Pr. Ia lahir dan besar di Desa Rogobelah, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Desa ini boleh dikatakan lokasinya sangat terpencil, karena berada di sebuah kampung permukiman penduduk di lereng Gunung Merapi dan Merbabu.
Pengalaman akan keberagaman
Ibunya Katolik, sedangkan bapaknya dulunya tidak Katolik. Dari lima bersaudara, dua orang telah menjadi Katolik dan lainnya non Katolik. Di desa kelahirannya itu, jumlah umat Katolik hanya 0,1% saja.
Sejak muda, Romo Ngatun ini sudah intens belajar terbuka akan fakta adanya keberagaman masyarakat. Justru karena di situ ada dinamika sosial kemasyarakatan yang sangat sehat, meski ada perbedaan keyakinan iman di antara warga penduduk masyarakat di mana dia lahir dan besar serta tumbuh menjadi remaja.
Ibunya mendidik Ngatun sejak remaja menurut iman Katolik. Menyuruh anaknya rutin mengikuti pelajaran agama, kegiatan rohani, dan selalu ikut menghadiri Perayaan Ekaristi bulanan.
Imannya bertumbuh. Seiring dengan hal itu, bapaknya di kemudian hari ikut menjadi Katolik.
Karena jubah dan jip yang menawan
Romo Ngatun Suparno Pr dengan bangga diri suka mengaku diri anak desa. Ia sungguh merasa tertarik pada jubah dan kasula imam. Selain itu, juga pada mobil jip yang biasa dikendarai para imam.
Kehadiran para imam Kongregasi Imam-imam Misionaris Keluarga Kudus (MSF) setiap tiga bulan sekali di stasi selalu dia nanti-nantikan.
Jadi semacam pemandangan “hiburan” bagi anak-anak kampung di desanya, ketika para imam berjubah datang mengunjungi umat Katolik lokal yang jumlahnya hanya seberapa gelintir kepala saja.
Itu pun hanya bisa terjadi setiap tiga bulan sekali. Bukan setiap akhir pekan seperti lazimnya paroki-paroki lainnya di Jawa.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, bibit panggilan yang tumbuh subur di dalam hati terdalamnya itu malah kemudian luntur. Karena usai tamat SD, Ngatun remaja malah tidak mau melanjutkan sekolah.
Selama lima tahun itu pula, Ngatun muda lalu melakoni hidup layaknya pemuda desa minim pengetahuan dan keterampilan. Ia melakukan aneka macam jenis pekerjaan untuk mencari nafkah. Misalnya saja, Ngatun pernah menjadi buruh tani, tukang batu, tukang bangunan, dan berternak.
Ia ingin mengumpulkan banyak uang, lalu membangun rumah. Untuk secepatnya bisa menikah.
Panggilan kedua, tamu yang mengusik hati
Tahun 2003, seorang postulan calon suster biarawati Kongregasi SSpS datang melakukan program live-in selama satu bulan di stasi desanya. Cara hidup postulan yang sederhana, totalitas melayani tanpa pilih kasih membuat panggilan akan hidup bakti itu mulai tumbuh kembali.
Sejak pengalaman itu, Ngatun muda pun lalu memutuskan mau mengikuti pendidikan di SMPK Yohanes Gambriel Kesamben di Blitar, Jatim.
Kisah ini terjadi ketika dia berumur 17 tahun.
Mengubah pola hidup dan kebiasaan serta harus mengikuti berbagai aturan menjadi tantangan baginya. Apalagi umurnya berbeda jauh dari teman-temannya.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di SMAK Diponegoro Blitar, Ngatun muda sengaja melakukan live-in di sebuah biara.
Ia mulai mendaftar ke seminari, namun tidak diterima. Panggilannya sempat luntur. Ia merasa Tuhan tidak memanggilnya menjadi imam.
Panggilan ketiga, dari MSF ke diosesan
Tiga tahun setelah lulus SMA, Ngantun muda kembali bergumul di dunia yang nyata. Bekerja sebagai karyawan, juga kuliah, lalu berdagang, juga menjalin persahabatan dengan lawan jenis.
Selang beberapa lama kemudian, semua itu lalu dia tinggalkan. Ia ingin kembali menekuni “panggilan suara hatinya” sendiri: tertarik menjadi imam.
Maka, Ngatun dewasa lalu datang ke Kongregasi Imam-imam Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Ia datang melamar ingin bergabung masuk di MSF. Ia lalu diterima sebagai Postulan – calon Novis MSF
Ia masuk MSF, karena sejak kecil memang sudah sangat akrab dengan penggembalaan imam-imam MSF. Itu karena Paroki Boyolali di Keuskupan Agung Semarang ini sejak dahulu sampai sekarang selalu diampu oleh para imam MSF Provinsi Jawa.
Pada saat live-in di Paroki Kudus, Jateng, mendadak ia bisa mendapatkan info mengenai Keuskupan Tanjung Selor. Diterimanya dari Romo Ruswan MSF.
Maka, ia pun lalu menghadap Romo Herman MSF. Saat itu jadi Pastor Rekan di Paroki Katedral Semarang. Ngatun pun lalu dihubungkan dengan Romo Edy Wiyanto Pr yang saat itu masih bertugas di Tanjung Selor.
Tapi, alamak. Justru di akhir masa pembinaan di Postulat MSF di Salatiga, Jateng, Ngantun justru malah mantap mau mengundurkan diri. Sepekan setelah mundur dari MSF, maka Ngatun pun lalu berangkat ke Seminari Menengah Santo Yosep di Pulau Tarakan, Kaltara.
Menuju Tanjung Selor, kemudian Lawang dan Malang
Pada usia 27 tahun, Ngatun pun baru memulai proses formasi sebagai calon imam diosesan Keuskupan Tanjung Selor. Dengan jiwa sukacita, ia pun berkisah saat itu dia tak mengenal siapa pun di Keuskupan Tanjung Selor.
Bahkan terbang ke Kalimantan Utara itu pun menjadi pengalaman pertamanya naik pesawat.
Dari Seminari Menengah Santo Yosep di Tarakan, Ngatun dewasa ini lalu melanjutkan masa formasi di Seminari Tinggi Tahun Rohani Interdiosesan San Giovanni XXII di Lawang, Malang, Jatim.
Kemudian mengikuti kuliah filsafat-teologi program pendidikan S-1 di STFT Widya Sasana Malang dan tinggal di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang.
Setelah itu, ia kemudian Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Stefanus Malinau, Keuskupan Tanjung Selor, Kaltara.
Kemudian masih harus melanjutkan studi teologi program S-2 ke STFT Widya Sasana, Malang.
Mulai bulan Juni 2021, Fr. Markus Ngatun Suparno Pr tiba kembali ke Keuskupan Tanjung Selor untuk menjalani Masa Pra Diakonat di Stasi Silva Rahayu.
Oktober 2021 dan bertepatan dengan perayaan penutupan Tahun Solidaritas Misi di Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong, Fr. Markus Ngatun Suparno akhirnya menerima rahmat tahbisan diakonatnya di Stasi Intin, Keuskupan Tanjung Selor, Kaltara.
Campur tangan Tuhan, cinta-Nya luar biasa
Merenungkan proses perjalanan hidupnya, Romo Markus Ngatun Suparno Pr ini semakin menyadari peran serta Tuhan. Karena, Tuhan sendirilah yang akhirnya berkenan menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Romo Markus Ngatun Suparno Pr ingin membalas kisah sejarah campur tangan Tuhan pada dirinya itu dengan cara menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan dan Gereja-Nya.
“Ini sebagai persembahan diriku bagi Tuhan dan umatnya,” katanya.
Dukungan keluarga Boyolali
Kedua orangtua Romo Markus Ngatun Suparno Pr menyediakan waktu hadir menyaksikan prosesi penerimaan Sakramen Imamat anak kandung mereka. Ikut bersama mereka seorang bibi, seorang kakak perempuan dan seorang kakak ipar.
Yang menarik adalah tiga orang saudara kandung dan kerabat dekat ini adalah Muslim. Termasuk Ny. Sutinah, kakak nomor satu yang ikut hadir.
Bu Sutinah yang ikut hadir sepanjang Perayaan Ekaristi mengatakan bahwa masyarakat di tempat mereka saling mendukung. Rukun antar lintas iman.
Mereka selalu saling mengingatkan untuk beribadah.
Bu Sutinah mengaku senang adiknya akhirnya “sukses” menempuh karier hidup sebagai imam. Ia juga merasa terharu bisa menyaksikan adik kandungnya -Romo Markus Ngatun Suparno Pr ini- akhirnya ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Tanjung Selor, Kaltara.
Dalam tahbisan juga diadakan penandatanganan akta maklumat tahbisan. Maklumat itu dibacakan di depan umat oleh Sekretaris Keuskupan Tanjung Selor: Romo Agus Maming MSC.
Perayaanprosesi tahbisan imam baru ini kemarin berlangsung meriah. Para anggota koor mengenakan kostum khusus, busana tradisional Jawa.
Selain umat awam, para imam Keuskupan Tanjung Selor dan para religius dari berbagai tarekat juga menyempatkan diri hadir. (Berlanjut)