Kiong Koe Berkicau: Covid-19 Menjadikan Kita Lumpuh Dadakan, Enakkah?

0
275 views
Covid-19 di Italia: Solidaritas Tinggi, 9.448 Orang Daftarkan Jadi Calon Perawat by ist


Kis 3:1-10

Pasca covid 19, kita semua mendadak menjadi “lumpuh”. Tidak terkecuali, Paskah pun kita rayakan dalam suasana “lumpuh”.

Dalam situasi “lumpuh” yang serba mendadak ini, doa dan harapan kita dari tempat isolasi pun, berharap cepat segera pulih.

Setidaknya, kita semua mempunyai harapan yang sama yaitu, ingin situasinya normal kembali.

Namun, tanda-tahda kearah perubahan itu, sepertinya berjalan lamban sekali. Pasokan pelbagai macam doa dari orang-orang di berbagai tempat sudah diucapkan.

Bahkan berbarengan dengan pertobatan mendadak pun sudah dilakukan di mana-mana. Sampai-sampai ada yang bilang, “doa, puasa, dan amal sudah semua dilakukan, tetapi kok situasinya malah belum ada tanda-tanda perubahan.

Apa hidup kita tidak tambah stres?. Kalau kita di suruh doa, puasa dan amal terus ya…lama kita ikut jadi gila, sakit dan bokek. Apa Tuhan setega itu, ya… menghukum kita kayak gini”?

Rupanya, respon dan kecendrungan kita untuk mengubah situasi “lumpuh” akibat covid 19 ini, semua maunya bersifat instan. Kita maunya berlari kencang, tetapi Tuhan malah mengajak kita untuk tidak usah berlari dan memilih diam di tempat.

Kalau pun Tuhan mau mengajak kita untuk bangkit, itu pun Dia tidak meminta kita untuk berlari. Dia malah mengajak kita untuk memilih berjalan pelan-pelan.

Langkah demi langkah. Kita memang senang melakukan hal-hal yang bersifat tergesa-gesa dan terburu-buru. Semua hal, mau dilakukan dalam sekejap mata.

Apa lagi hidup di era internet 4 G, semua serba cepat. Doa dan hidup rohani pun menadadak di 4 G-kan.

Apa yang mendorong kita sehingga semua hal yang hendak kita lakukan serba instan? Apakah karena tuntutan efisien? Murah? Keuntungan yang besar? Hasil yang banyak? Atau apa?…Sejak teknologi dan internet berbasis 4 G, turut “mengintervensikan” kehidupan rohani kita, sejak saat itu pula, keutamaan kehidupan rohani kita seperti: “kesabaran, ketabahan, daya juang, relasi sentuhan personal kehidupan di tingkat publik mengalami kelumpuhan total”.

Teknologi dan internet 4 G telah menjelma menjadi penguasa yang bisa mengubah pola hidup manusia dalam waktu yang serba instan.

Dari yang tadinya kita di sebut mahkluk sosial sekarang, telah berubah menjadi manusia individualis… “Gue-gue, loe-loe, emang gue pikirin”.

Dan kedepannya, kita juga belum tahu perkembangan teknologi ini akan berimbas seperti apa terhadap kehidupan spiritual manusia?

Hari ini melalui bacaan harian pertama, kita di ajak dan ditegur untuk menoleh keiman orang yang lumpuh sejak lahir. Orang ini, sekalipun dia tidak mampu berjalan, tetapi melalui pertolongan dan kesaksian iman sesamanya, dia dilatih untuk belajar tenang, berharap, bersabar, tabah.

Dan ia menempuh semua pelajaran tentang kehidupan seperti itu, tidak diperoleh secara instan. Dia mengikuti alur proses kematangan hidup spritual bertahun-tahun.

Dalam hal kesabaran, Pengkhotbah bilang, “Jika amarah covid 19 menimpa engkau, janganlah meninggalkan tempatmu, karena kesabaran mencegah kesalahan-kesalahan besar” (bdk. Pkh 10:4).

Mungkin hikmah covid 19 ini, menjadi bagian dari cara Allah yang mengatakan, “Mari, kita mencobainya dengan covid 19, agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya” (bdk.Keb 2:19).

Orang yang lumpuh sejak lahir itu, menerima kondisi hidupnya dengan tenang. Meskipun, untuk bertahan hidup dia mesti hidup dari hasil mengemis dan hal itu dia lakukan selama bertahun-tahun.

Tangannya mengemis, tetapi hati kecilnya tetap menyimpan harapan untuk hidup normal. Dalam ketenangan batin dia berdialog dengan Tuhan sambil menguntai doa, “Tuhan, tataplah aku!”

Dari caranya menatap Rasul Petrus dan Yohanes, dia tidak sekedar berharap mendapatkan sedekah. Yang dia harapkan adalah mengalami Tuhan. Dan benar, ketika dia mengalami Tuhan melalui pewartaan kedua Rasul ini, dia berjalan sambil bergirang.

Memang betul, setiap kali orang yang bermasalah dengan kehidupan dan bisa mencari solusi melalui cara-cara Tuhan, maka dia akan mendapatkan jawaban.

Dia akan melonjak kegirangan. Namun, pengalaman kegirangan seperti itu, tidak bisa dilepaskan dari pengalaman iman yang bertumbuh melalui proses perjuangan bertahun-tahun.

Untuk kita yang lagi hidup dalam isolasi saat ini, memang covid 19 telah membuat hidup kita menjadi “lumpuh” dan mengundang banyak kegelisahan. Ayub pernah mengalami nasib serupa akibat di timpa musibah.

Dia bertutur, “Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul”(Ayb 3:26).

Namun, oleh Pengkhotbah memberikan nasihat seperti ini, “kelumpuhan” yang kamu alami saat.

Ini tetaplah kamu hadapi dengan bijak dan ketenangan. Dia bertutur, “Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin” (Pkh 4:6).

Jangan sampai kegelisahan yang mendadak ini, turut mengubah sikap kita menjadi orang tidak sabar, tenang, dan tabah. Bisa-bisa kita, menjadi cemoohan orang bijak.

Orang bijak berkata, “Jika orang bijak beperkara dengan covid 19, covid 19 ini mengamuk dan tertawa, sehingga tak ada ketenangan”(bdk. Ams 29:9).

Renungan: Apakah “kelumpuhan” yang kita alami saat ini, bisa mengajak hidup kita untuk berintrospeksi diri?”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here