Kiong Koe Berkicau: Merdeka

0
186 views
Merayakan HUT ke-73 Kemerdekaan RI. (Ignas Waning)

Yoh 8:31:42

DALAM sepenggal teks nyanyian Indonesia Raya bersyair begini: “Indonesia raya, merdeka…merdeka…tanahku, negeriku, yang kucinta… Indonesia raya merdeka….merdeka”.

Sepenggal syair lagu tersebut melukiskan rasa semangat patriotisme dan kegembiraan anak bangsa yang telah berhasil lepas dari cengkeraman tangan penjajah.

Selanjutnya kemerdekaan tersebut mengantar pada sebuah harapan untuk memiliki hidup yang damai sejahtera.

Dan dalam hal ini, kita semua sepakat, bahwa kehidupan manusia memang tidak boleh didikte dan dijajah oleh siapa pun, baik dari segi pikiran maupun dari segi fisik.

Semua tidak hanya bermimpi menjadi manusia bebas, tetapi kita semua berharap menjadi manusia jaya.

Indonesia sudah memasuki hampir 75 tahun mereka. Tentu sebuah rentang waktu yang sangat panjang bukan?

Namun, di usia yang sekian panjang itu, apakah pengalaman kemerdekan sudah dialami secara merata oleh umat di negeri ini?

Untuk mereka yang tinggal di pelosok dan daerah terpencil, jangan-jangan malah mereka bilang bahwa negeri ini belum merdeka?

Kok bisa? Bisa, Ketika harga sembako selangit dan masyarakat sederhana tetap dipaksakan membeli, itu tanda mereka belum jaya. Ketika akses kesehatan tidak tersedia dan memadai, itu tanda mereka belum siap melawan serangan penyakit.

Ketika mereka masih hidup dalam “gua”, gelap tidak ada lampu, akses jalan tidak ada, itu tanda mereka masih menjadi “manusia gua” seperti yang diilustrasikan oleh Platon.

Manusia tanpa pengetahuan. Dan tentu masih banyak daftar hitam yang lainnya. Dari sisi ini, bisa di simpulkan orang pedalaman tidak semerdeka orang di kota.

Syair lagu yang mengatakan: “Wahai kau burung dalam sangkar, sungguh nasibmu malang benar….”, benar-benar cocok untuk menggambarkan nasib mereka.

Di tengah merebaknya covid-19, nasib warga dunia saat ini, seperti burung dalam sangkar. Nggak bisa lagi terbang ke mana-mana. Ancaman resesi ekonomi global sudah tidak bisa dibendung lagi.

Ekonomi dunia benar-benar lumpuh. Manusia tergolek di lantai mati tersengat virus. Belum lagi yang terpapar entah jumlahnya berapa?

Saat ini, maut begitu dekat sekali dengan manusia.

Fakta berkata, “Tidak ada manusia satu pun saat ini, yang benar-benar merdeka.”

Semua tempat ibadah di tutup. Jalan raya semua mendadak pada sepi. Semua manusia tidak lagi berkeliaran sesuka hati.

Orang beriman dan lembaga agama sekaliber apapun, tidak imun dengan virus ini. Dekrit dan surat-surat pemberitahuan otoritas lembaga agama yang muncul dan tersebar ke publik, bisa saja tidak hanya ditafsirkan sebagai bentuk kepedulian sense of crisis.

Tetapi, bisa juga dinilai sebagai bentuk ketakutan manusiawi terhadap kesakitan dan kematian. Jadi, orang beriiman sekalipun masih tetap takut sakit dan takut mati. Barangkali, justru yang benar-benar merdeka hanya orang-orang mati.

Bagaimana dengan teks kitab suci yang mengatakan, “Orang yang mengimani Kristus dan sikap hidupnya selaras dengan kehendak Kristus akan mengalami kemerdekaan”.

Apakah mereka ini, benar-benar bebas dari ketakutan terhadap covid 19?

Barangkali orang tidak bisa bebas dari ancaman itu. Namun, disituasi itu, sikap iman akan tumbuh. Dia tidak bebas dari ancaman virus tetapi, melalui keadaan seperti itu, imannya kepada Kristus tumbuh bukan untuk melawan ketakutan.

Tetapi semata-mata tumbuh untuk semakin menyerahkan diri secara total di hadapan Allah. Iman yang “pastor” (pasrah total seluruhnya).

Renungan: Sebutan merdeka dan jaya tidak lebih dari slogan orang hidup yang sedang mengejar mimpi.

Apau Kayan, 1.4.2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here