Kiong Koe Berkicau: Sepeser, Memberi Sampai Gemetar dan Takut

0
117 views
Ilustrasi: Kolekte dalam sebuah misa bersama Mgr. Aloysius Murwito OFM di Stasi Sagare, tujuh jam perjalanan naik speedboat dari Asmat. (Mathias Hariyadi)

Luk 21:1-4

SAYA pernah mengunjungi sebuah keluarga di salah satu stasi di Apau Kayan. Walau sudah sangat tua, tetapi mereka masih begitu tekun bekerja di ladang.

Dalam suasana santai yang akrab saya pun bertanya kepada mereka, “Untuk siapa kalian bekerja sampai kondisi fisik yang renta begini tidak lagi kalian hiraukan? Di usia seperti ini, mestinya kalian tidak lagi terlalu banyak menguras tenaga. Sayangilah juga raga yang sudah waktunya untuk istirahat ini. Lihatlah diri kalian itu, gemetaran karena tenaga sudah mulai punah”.

Sambil santai dan tanpa beban mereka menjawab pertanyaan saya. Mereka pun juga menyebut nama anak-anaknya dengan senang. “Pastor, untuk anak-anak inilah kami bekerja. Demi mereka inilah kami bekerja seperti ini.”

Jawaban keluarga ini, sangat menyentuh hatiku. Pemberian hidup mereka hanya demi mau melihat anak-anaknya hidup lebih baik. Mereka tidak lagi menghiraukan tubuh mereka kendati sudah gemetar dimakan usia dan diperas ngengat sinar matahari.

Beginilah cinta kasih orang tua kepada anaknya, sampai melupakan kondisi diri sendiri. Kalau keseluruhan aktivitas hidup keluarga tadi dimaknai sebagai pemberian diri yang total tanpa tersisa, sangat mungkin sekali hal ini bisa diartikan bahwa hidup itu adalah persembahan tanpa akhir.

Pemberian seorang janda yang dipuja oleh Tuhan Yesus melalui bacaan Injil hari ini, bisa kita pahami bahwa ukuran pemberian itu bukan soal jumlah sedikit atau banyak barang duniawi yang kita berikan.

Sesungguhnya, pemberian berupa persembahan itu adalah soal penyerahan hidup setotal-totalnya kepada Allah. Memberikan diri atau mengembalikan hidup kepada Allah adalah persembahan sesungguhnya.

Orang yang memberikan materi tanpa mempersembahkan hidupnya kepada Allah adalah pasien lupa diri.

Uang yang hanya dua peser yang diberikan oleh janda dalam bacaan Injil, sepertinya symbol keringkihan atau kelemahan manusia di hadapan Allah.

Berhadapan dengan Allah adalah sesuatu yang mengentarkan dan menakutkan. Tubuh si janda yang dengan gemetar membungkuk memberikan sepeser uang ke kotak persembahan adalah gambaran dari sikap imannya sebagai orang yang merasa diri bukan siapa-siapa di hadapan Allah.

Dia cuma sepeser di mata Allah.

Adalah Musa tatkala berhadapan dengan Allah dalam rupa tanur api di semak belukar, Musa gemetar dan takut tidak hanya untuk melihat, tetapi takut dan gemetar mendengarkan suara Allah (bdk. Kel 3:2-5).

Ketakutan dan kegemetaran Si janda sangat menjadi, tat kala pemazmur pernah berseru begini, “Suara TUHAN penuh kekuatan, suara TUHAN penuh semarak. Suara TUHAN mematahkan pohon aras, bahkan, TUHAN menumbangkan pohon aras Libanon.

Ia membuat gunung Libanon melompat-lompat seperti anak lembu, dan Gunung Siryon seperti anak banteng. Suara TUHAN menyemburkan nyala api. Suara TUHAN membuat padang gurun gemetar, TUHAN membuat padang gurun Kadesh gemetar.

Suara TUHAN membuat beranak rusa betina yang mengandung, bahkan, hutan digundulinya; dan di dalam baitNya setiap orang berseru: “Hormat!” (Mzm 29:4-9)

Melalui ilustrasi dan gambaran persembahan dua peser dari si janda ini, kita disadarkan kembali bahwa hidup kita ini, cuma recehan di hadapan Allah. Sepeser berarti tidak berarti apa-apa.

Sadar bahwa kita cuma sepeser di mata Allah. Tidak ada lagi alasan buat kita untuk menunjukkan dan membanggakan diri dengan semua yang kita miliki. Semua yang kita punya itu, cuma sepeser di mata Allah.

Jadi, berhentilah berlagak dan bersok. Cuma sepeser saja mau berlagak apa? Ah… Hari ini, kita semua di buat malu oleh kritikan janda ini.

Renungan: “Kita ini, cuma sepeser doang di mata Allah”.

Tuhan memberkati.

Apau Kayan, 23.11.2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here