Kiong Koe Berkicau: Tuhan, Di Sini Aku Cuma Seorang Diri

0
164 views
Ilustrasi: sendiri di pedalaman hutan. (Mathias Hariyadi)

Est 4:10a.10c-12. 17-19

Sebagai seorang imam yang berkarya di tengah masyarakat Dayak Kenyah di pedalaman, saya mempunyai pengalaman iman yang dikepung oleh “musuh”.

Kisahnya demikian.

Di bulan November 2016, saya berangkat pelayanan dari pusat Paroki menuju Stasi wilayah Sungai Boh. Kondisi alam yang tidak bersahabat membuat perjalanan menjadi macet.

Persis di tengah hutan, hujan turun deras sekali. Jalan berlumpur, sungai banjir dan awan pekat menutupi seruruh hutan.

Dengan tenaga yang masih tersisa, saya mengangkat dan menuntun motor keluar dari lumpur. Sepanjang hari saya benar-benar berjuang sendirian.

Pada saat hari menjelang sore dan mendekati malam, saya masih di tengah lumpur. Karena kehabisan tenaga, motor saya tinggalkan di tengah jalan yang masih berlumpur.

Dari pagi sampai sore tidak ada satu mobil dan seorang pun yang lewat di sana.

Begitu menjelang malam, saya berusaha mencari air buat minum.

Dalam suasana seperti itu, saya mulai mencari tempat berlindung di bawah pohon. Sementara hujan tetap turun dan cuaca alam tidak mau bertoleransi sedikit pun dengan keadaanku.

Ketika malam menuju kusunyian total, saya mulai dikepung ketakutan, kedinginan, kelaparan, kehujanan, kehausan, kesendirian, kesunyian malam.

Benar-benar sendirian.

Barangkali ini adalah momen tangga pertama saya mencicipi pengalaman Taman Getsemani.

Ketika suasana malam semakin sunyi, perasaan dikepung ketakutan itu semakin menjadi. Di hutan lebat ini, tidak ada satu orang pun, selain saya sendiri.

Ular sawah dan binatang buas yang sedang mencari mangsa, seolah-olah sedang bergembira.

Mimpi apa aku malam ini?

Santapanku sudah tersedia di bawah pohon, enak sekali.

Karena ketakutan sudah menggerogoti tulang-tulangku, maka di sana saya pun mulai menangis sedih. Saya meratapi diriku seorang diri.

Di situ, saya mulai berdoa.

“Tuhan, di sini, aku cuma sendirian. Saya mengaku kalah. Aku tidak kuat lagi melawan alam ini. Jika mungkin, semua pohon yang ada di hutan lebat ini, Engkau ubah menjadi manusia, malam menjadi siang, sunyi menjadi sukacita, lapar dan haus menjadi kenyang, dingin menjadi hangat, hujan menjadi panas, dan tempat tinggalku menjadi rumah.”

Saya menunggu berjam jam akan adanya perubahan pada semua yang sudah saya minta itu.

Oh ternyata, tidak ada perubahan apa pun.

Ketika semua yang aku minta dalam doa tidak ada yang berubah, maka doaku yang berubah.

Di sana, saya meminjam doa Tuhan Yesus di Gunung Kalvari.

“Ya, Tuhan, kedalam tangan-Mu, kuserahkan jiwa dan ragaku”. Lalu aku tambah kata-kataku sendiri, Tuhan, Ini aku milik-Mu. Ambilah, selesai.”

Begitu saya pasrah, aku tertidur sambil duduk di bawah pohon, saat tertidur itu, perasaan ketakutan dikepung oleh cuaca alam yang serem dan perasaan kemanusiaanku, perlahan-lahan hilang.

Saya merasa dalam kelelapan tidur malam itu, hidupku serasa selesai di salib semuanya.

Dari pengalaman ini, saya menyimpulkan bahwa iman kepada Allah itu, akan terus teruji dengan kesunyian, kesendirian, keterasingan dan kesengsaraan.

Pertanyaan, soal apakah Tuhan itu ada? Akan berbunyi terus di setiap pengalaman tapal batas antar nalar dan yang mustahil.

Adalah Ester pun, yang kita dengar dalam bacaan harian hari ini, masuk dalam pengalaman terjepit dikepung oleh musuh, oleh keterbatasan nalar, dan kemampuan fisik.

Sadar akan keterbatasan itu, dia hanya bisa berlari pada Tuhan Allah. Di sanalah, dia membawa semua ketakutannya.

Doanya, “Tolonglah aku yang seorang diri ini, yang tidak mempunyai seorangpun selain dari Engkau, ya Tuhan.” (Ay.19).

Renungan: Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku.” (Mat 14:30)

Tuhan memberkati

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here