Kisah Ayam 2 – Gallus: Kokokku Membuat Terpuruk

0
162 views
Ilustrasi: Ayam dalam belaian seorang suster. (Sr. Fransiska FSGM)

SAHABAT.

Aku, Gallus, Gallus domesticus, bersama banyak kerabatku dibesarkan di tengah keluarga Efraim. Tuanku memperlakukan kami dengan sangat baik.

Kami diberi makan cukup. Tempat kami istirahat sangat memadai untuk berlindung dari sengatan matahari dan keganasan alam.

Tuanku, yang tinggal di dekat rumah Tuan Kayafas, sangat senang dengan balas budi dari kami. Ia dapat menjual telor dari Si Gallina, sepupuku.

Kadang tercium bau sedap kudapan di meja makan tuanku. Pasti itu sup daging kerabatku untuk menghangatkan badan di kala musim dingin.

Sama seperti para ksatria, aku dan leluhurku suka bertarung. Berlatih untuk melawan musuh dan mempertahankan harga diri.

Inilah salah satu pertarurangan kami yang epil dan dicatat dalam sejarah manusia.

Di sebuah ruas jalan di Yunani, saat hendak melawan pasukan Persia, dekade pertama abad kelima Sebelum Masehi, Panglima Tentara Athena, Jenderal Themistocles, berhenti dan menyaksikan dua leluhurnya sedang bertarung.

“Prajurit, lihat, kedua ayam jago tidak bertarung demi dewa-dewi pelindung mereka. Tidak pula untuk tugu peringatan para leluhur mereka. Bukan pula untuk kemuliaan, kebebasan atau keselamatan anak-anak mereka. Mereka bertarung hanya karena salah satu tidak mau membiarkan yang lain lewat,” katanya (https://www.smithsonianmag.com/history/how-the-chicken-conquered-the-world-87583657/).

Kalau ada yang melewati wilayahku, itu tanda kekalahan. Aku tidak memiliki kehormatan dan harga diri. Jika terpuruk, sulit bangkit bangkit lagi.

Tanggal 14 Bulan Nisan tahun 33. Malam. Halaman rumah Tuan Kayafas penuh sesak. Orang-orang berteriak-teriak. Suara mereka sangat berisik. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan. Tapi ada dua kata yang jelas terdengar, “Bunuh dia!”

Saat dini hari, menjelang matahari terbit, aku berkokok, seperti biasa. Kukuruyuuuuuuuuk! Membangunkan tuanku Efraim. Tanda saatnya mengambil telor sepupuku, membersihkan tempat tinggal kami dan memberi kami makan.

Tiba-tiba, seorang pria perkasa jatuh terpuruk. Tak mengingat ia nglesot di tempat kami buang kotoran.

Hanya kata-kata ini kudengar, “Tuhanku, ampuni aku. Aku telah meninggalkan-Mu. Aku telah mengingkari-Mu.”

Segera setelah menguasai diri, ia berlari. Pergi entah ke mana aku tak tahu.

Kelak ketika aku ketemu temanku, Si Lamta, ayam hutan, Gallus gallus, yang tinggal di Taman Zaitun, ia bercerita, “Aku dengar percakapan antara orang itu dengan Gurunya kalau ia akan membela, menyerahkan hidup demi Guru itu dan tidak akan menyangkal-Nya.”

 Tapi, Guru itu berkata, “Sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”, In hac nocte, antequam gallus cantet, ter me negabis.

30.03.2021. bm-1982. ac eko wahyono

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here