INI refleksi Malam Paskah dan Hari Raya Paskah 2020
Mat. 28: 1-10, bdk. Yoh. 20: 1-9)
Di Facebook, untuk menyikapi Covid-19, ada seseorang mendesain gambar, komik yang cukup gokil, sebagai humor paskah. Terlihat di sana ada tiga salib sebagai latar belakang, ada tentara Romawi, lengkap dengan pakaian perangnya.
Di hadapannya ada sebuah makam, yang tentu berdasar cerita biblis, adalah makam Yesus. Dari dalam makam kelihatan, seorang ingin menggeser “batu” yang menutupi kuburan, mungkin Yesus.
Dia ingin keluar kuburan, tapi ada sabda yang tertulis di sana: “Peraturan Karantina, Masuklah kembali!”
Covid-19, sungguh melahirkan inspirasi bagi setiap pengkotbah akhir-akhir ini. Kontekstualisasi dibarengi pesan moral, lebih tepat edukasi sosial, mewarnai berbagai wejangan dalam mimbar-mimbar Gereja, yang kebanyakan disiarkan secara langsung baik lewat televisi maupun jaringan sosial.
Covid-19 telah meruntuhkan kebebasan dasar yang melekat dalam kemanusiaan, untuk berhak menjalankan secara bebas iman dan kepercayaannya, tapi sekaligus membangkitkan solidaritas sosial dan tanggungjawab publik terhadap kesehatan masyarakat, yang sebelumnya tidak masuk dalam perhatian istimewa publik dan negara.
Melawan arus: Kebangkitan versi Penginjil Matius
Cerita Matius tentang kebangkitan, dari telaah kritis biblis, sungguh sangat tidak mudah. Matius memulai kisah kebangkitan dengan ketidaknyamanan, keributan, kekacauan dan bahkan ketakutan: Kebangkitan dimulai dengan gempa.
Apakah ini sebuah legenda, atau sebuah ilustrasi berguna untuk menunjukkan kebesaran Tuhan?
Di sisi lain, Matius (juga Yohanes) melawan tradisi patriarkal yang sudah melekat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Yahudi, baik sosial maupun religius-spiritual: yakni dengan mengangkat peran wanita sebagai “Rasul Kebangkitan” (dalam Yohanes, Maria Magdalena adalah Rasul dari para Rasul, apostola apostolorum).
Pertanyaannya, bukankah dalam 1 Korintus 15: 5 Paulus menyebut urutan “penampakan” Yesus: Ia menampakkan diri kepada Kefas lalu ke-12 Rasul-Nya, lalu kepada lebih dari 500 orang? Apakah Matius (dan Yohanes) menisbikan peran para Murid dengan tidak menghiraukan data yang diajukan Paulus?
Matius memulai kisah kebangkitan dengan keberanian Maria Magdalena dan Maria yang lain, untuk keluar dari rumah saat menjelang fajar menyingsing. Seakan menunggu kedatangan para wanita ini, saat mereka tiba di kubur, terjadilah kegaduhan alam.
Ada gempa bumi yang dashyat; dan para penjaga, yang ditugaskan oleh Pilatus sesuai permintaan para pemimpin agama Yahudi untuk menjaga kubur, menjadi takut dan “menjadi seperti orang mati”.
Pertanyaannya, bukankah dalam cerita ini Matius menghidupi kembali dongeng tentang kebangkitan raga utuh, yang dibarengi dengan peristiwa alam yang saat itu ada dalam cerita Yahudi?
Bukankah Matius (dan juga Yohanes) dalam narasi kebangkitan ini, telah menghidupkan kembali legenda tua Yahudi tentang malaikat yang menampakkan diri kepada perempuan?
Kuburan kosong
Matius tentu menghindari pikiran dangkal, yang melihat peristiwa kebangkitan sebagai kisah legenda. Perjanjian Baru secara terbuka mengungkap hoaks yang berseliweran bersama kisah kebangkitan: bahwa para murid mencuri mayat atau orang yang tidak dikenal telah memindahkan kuburNya.
Cerita yang tidak masuk akal atau hoaks ini, dibuktikan oleh Matius dengan memberi pendasaran logis: bahwa kuburan Yesus kosong karena Ia telah bangkit dari kematian.
Ini tentu sangat paradoks karena Matius harus menjelaskan peristiwa yang metahistoris melalui kisah historis. Penemuan makam kosong sebagai bukti historis, menurut Matius, adalah penjelasan yang paling masuk akal untuk mengungkapkan kisah metahistoris tentang kebangkitan.
Masuk akalnya peristiwa yang “unik, hanya sekali dan bernilai eskatologis” ini karena Matius memberinya penjelasan historis dan eksistensial-kontekstual: Gempa yang dashyat, pintu kubur terbuka, makam kosong dan kehadiran utuh Yesus.
Lebih dari Penginjil Yohanes yang melarang Maria Magdalena untuk mendekati Rabbuni-nya, Matius dalam kisah kebangkitan ini membiarkan Maria Magdalena dan Maria yang lain untuk mendekatiNya, memeluk kakiNya dan menyembahNya.
Tradisi perempuan Yerusalem
Fakta bahwa perempuanlah yang dipanggil sebagai saksi pertama tentang kubur yang kosong bukan sebuah penemuan bebas (bahkan jika ceritanya banyak diedit kembali) Matius dan Yohanes.
Pada dasarnya, Matius tidak membutuhkan kisah Maria Magdalena dan Maria yang lain, untuk komposisi Injil Paskah-nya. Secara estetis tradisionalis, lebih memberinya keuntungan untuk bercerita tentang tradisi perempuan yang mengunjungi kubur dan tradisi penampakan Yesus untuk para murid.
Tapi Matius berani menceritakan tentang penampakan kepada Maria Magdalena dan Maria yang lain di Yerusalem, menunjukkan begitu eksistensialnya tradisi perempuan Yerusalem dalam kisah vital tentang kebangkitan. Pentingnya tradisi perempuan Yerusalem ini ditegaskan kembali oleh Yohanes, walaupun Yohanes hanya menulis tentang Maria Magdalena.
Paskah bukan sekedar penemuan makam kosong
Penemuan makam kosong menjadi tidak bermakna tanpa kehadiran malaikat di sana. Di sini Matius menegaskan kepada kita, bahwa makam tidak kosong sama sekali, tapi dipenuhi oleh Logos (Sabda) Tuhan yang berbicara melalui mulut malaikat.
Kehadiran Malaikat di sana, yang memperkenalkan kubur yang kosong, menjadi satu kesatuan untuk mengerti keseluruhan biografi Yesus. Dari Malaikat kita mendengar rahasia iman tentang yang tidak mungkin menjadi mungkin: sejak Maria, Ibu Yesus menerima kabar gembira sampai kepada kebangkitan Yesus dari kematian.
Untuk menghindari manipulasi sejarah, Matius membiarkan Tuhan sendiri bersabda: “Jangan takut!“, dan sekaligus memberikan perintah: “Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku” (Mat. 28:10).
Itulah rahasia terbesar Paskah dalam kristologi Matius. Ia menegaskan tentang historisitas dan teologi kebangkitan berdasar pada sesuatu yang sungguh terjadi baik di dalam maupun di luar kubur.
Fakta ini mendahului refleksi teologis apa pun.
Mari kita pergi ke “Galilea“
Perintah Yesus kepada murid-muridNya adalah kembali ke Galilea. Sentralitas Galilea, oleh Matius, sangat penting dalam epilog kisah kebangkitan ini. Di sanalah wilayah, tempat Yesus memulai karyaNya untuk menggenapi nubuat nabi Yesaya (Mat. 4: 12-17).
Yesus mengajak murid-muridNya ke Galilea, bukan untuk bernostalgia tentang keindahan masa lalu, tapi untuk bercermin dari karya-Nya dan “memerintahkan” pengikutNya untuk melanjutkan karya yang sudah dimulaiNya.
Dengan ke Galilea, para Murid dan kita di ajak untuk melanjutkan karya Yesus: untuk mewartakan kabar gembira, untuk menyembuhkan orang sakit, untuk mencintai dan melayani sampai “rela memberi nyawa bagi domba-dombanya”.
Di tengah pandemi Corona ini, sudah banyak orang yang telah melihat Yesus di “Galilea” pengutusan mereka dan melanjutkan karya yang telah Yesus lakukan.
Merekalah para dokter dan perawat, petugas rumah sakit dan petugas di rumah-rumah jompo, mereka adalah pastor dan suster, yang bahkan rela terinfeksi dan mati oleh virus Corona itu, demi mempertahankan nyawa ribuan “domba-dombanya” yang diserang oleh Covid-19.
Untuk mereka yang terinfeksi kita berdoa agar kuasa Tuhan bekerja dan untuk mereka yang telah meninggal kita heningkan cipta. RIP. Masih banyak orang yang telah pergi ke “Galilea” dan dari sana melawan keangkeran virus Corona ini.
Mereka adalah para sopir, pilot, dan pengemudi sarana transportasi lainnya. Mereka adalah para penjual sayur, para petani, para pekerja, pegawai-pegawai dan pemerintah yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Juga banyak yang telah pergi dan melihat “Yesus di Galilea” dalam karya mereka: para pejuang hak-hak asasi manusia, para pecinta lingkungan, para relawan tim kemanusiaan. Litani mereka yang telah pergi dan melihat Yesus di Galilea tentu tak terbatas jumlahnya.
Saya, engkau dan kita juga layak ke “Galilea” untuk melanjutkan karya yang Tuhan perintahkan kepada kita: Kasihilah Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.
Selama kita tidak pergi ke “Galilea” dan melakukan apa yang Tuhan perintahkan dan melanjutkan sabdaNya: Perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku, walau dalam hal-hal kecil, paskah untuknya hanyalah Legenda dan musuh yang melawan tradisi egoisme.
Pergi ke “Galilea” dalam hari-hari ini dan beberapa minggu/bulan ke depan berarti: Social distancing, hindari keramaian, cuci tangan, sebisa mungkin untuk tinggal, doa, belajar dan kerja dari rumah.
Melanggar itu dan menganggap Corona tidak berbahaya, bukan tidak mungkin kita yang menggantikan makam kosong di “Yerusalem”.
Selamat pesta paskah 2020 untuk semuanya. Tuhan telah bangkit. Aalleluia, Alleluia.
_________
Martin Luther (1483-1546), teolog dan tokoh Reformasi: “Siapa yang tidak mengalami keheningan Jumat Agung dan keagungan hari Paskah, selama setahun dia tidak akan memiliki hari yang indah dan bahagia.“