Kisah Keledai Si Uldi Milik Abraham: Senang Mengangkat Kayu Bakar (1)

0
852 views
Ilustrasi - Keledai pengangkut beban. (Ist)

PANGGIL saja aku Uldi. Sudah tua, mirip dengan kata bahasa asing, Inggris, oldy. Memang, aku sudah menemani manusia sejak 4.000 Sebelum Masehi. Kalau di Jawa, aku dikenal sebagai kuldi. Biar keren, huruf k dihilangkan tuanku yang baik hati.

Aku memiliki keluarga besar dalam keluarga mamalia. Keluarga kecilku disebut sebagai equus asinus. Moyangku dari keluarga kuda.

Karena manusia melihat kekuatan tenaga kami, mereka menjinakkan anggota keluargaku yang tinggal di Afrika, equus asinus Africanus, untuk membantu mereka.

Kami membantu dalam banyak hal. Kami digunakan untuk memuat barang, ditunggangi, dan pekerjaan lain. Tuanku sering meminta untuk menarik kereta, atau membajak ladang.

Oh, ya, tuanku sangat baik dalam memperlakukan aku. Ia tidak pernah berbuat kasar selama aku tinggal dan mengabdi padanya. Bangga aku bekerja untuk tuan Abraham selama bertahun-tahun. 

Suatu petang, tuanku datang ke kandang.

Ia cuma bergumam, “Uldi, istirahat yang cukup. Besok pagi-pagi benar kamu membatu membawa kayu bakar. Kita akan pergi Gunung Moria.”

Ada kegetiran hati yang bisa kutangkap dari nada suara tuanku. Memang, aku dianugerahi telinga besar untuk menangkap bunyi dari jauh, terutama desir suara musuh.

Maka, aku tahu tuanku sedang menanggung beban. Hanya, beban apa aku tak tahu pasti.

Pagi-pagi benar, berlima kami berangkat dari rumah menuju Gunung Moria. Tuanku Abraham, Ishak, dua pembantu – Si Eliakim dan Jonatan, dan aku. Kami berjalan pelan, tetapi melangkah dengan pasti.

Melewati jalan berbatu. Kadang debu gurun menyapu udara dan membuat nafas kami sesak. Semua membisu.

Hilang keceriaan tuanku. Saat tuan muda mulai bermadah, “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.” (Mzm. 8:1), mulut tuanku tertutup rapat.

Biasanya ia segera menyahut, “Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.” (Mzm. 8:2).

Hilang keceriaan. Dari detak jantung tuanku aku tahu kegelisahannya terus mendera. Degup jantungnya makin kencang. Kegelisahan di wajahnya makin kentara. Tetapi, aku dengar langkah kakinya yang mantap dan tatap matanya sayu dan sendu. Ada beberapa butir menetes pelan melalui kerutan di wajahnya.

“Kalian tunggu di sini. Biar kayu bakar ini dipanggul anakku. Kami berdua akan naik ke atas,” kata tuanku dengan suara parau. Nada yang tak pernah kudengar sebelumnya.

Lamat-lamat kudengar suara tuanku yang muda, “Ayah, sudah ada api dan kayu bakar. Altar pun sudah disiapkan. Di manakah domba persembahan untuk Allah?”

Slap! Saat hendak mengayunkan belati tajam, tangan Malaikat Tuhan menahan gerak tangan tuanku. Dan ia menoleh ke kanan, ke semak-semak. Katanya, “Tuhan akan menyediakan.”,  Deus providebit.

Saat pulang, dalam hati aku berkata, “Tuan, aku senang membantu mengangkat kayu bakar. Aku heran mengapa engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada Allah?” (bdk. Kej. 22:12).

https://www.sesawi.net/kisah-keledai-1-si-uldi-milik-abraham-senang-mengangkat-kayu-bakar/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here