Kisah Menyedihkan Perempuan Nias yang Hamil di Luar Nikah

0
3,185 views
Perempuan Nias (ilustrasi) / Abdi Susanto

DALAM perbincangan yang melibatkan setidaknya 20 orang penggiat kesetaraan gender dari 11 paroki se-Dekenat Nias, di Gunungsitoli, diskusi tentang bagaimana memperlakukan perempuan Nias yang melakukan tindak asusila menjadi topik utama yang kami bahas selama dua hari, dari 4-6 Agustus.

Para peserta pelatihan mengemukakan kisah menyedihkan saat anak perempuan Nias dianggap sudah mempermalukan keluarga karena hamil di luar nikah. Bagi keluarga-keluarga di Nias, ini aib besar. Maka, si perempuan harus rela dikawinkan dengan duda, bahkan dengan kakek 60-an tahun yang punya kebutuhan khusus.

Lebih menyedihkan lagi, bila ada perempuan hamil di luar nikah lalu menikah dengan laki-laki yang menghamilinya, mas kawinnya tak lagi mahal seperti lazimnya dalam adat Nias. Proses nikah bakal singkat. Pengantin dirias seadanya, barang-barang yang ikut dalam iring-iringan ala kadarnya. Sang perempuan tidak ditandu sebagaimana biasanya saat menuju kediaman calon suami.

Tindakan ini tentu saja merupakan hukuman yang sangat memalukan dan memukul martabat tak hanya si perempuan tapi juga keluarganya. “Ini aib yang diumumkan secara resmi kepada publik. Hukuman sosial yang sangat berat. Masyarakat akan mencibir dan mengingat selamanya bahwa dia bukan perempuan baik-baik,”ujar Sihura Katekis dari Paroki Kristus Gembala baik saat membagikan kisahnya.

Lebih ringan
Yang lebih tidak adil, hukuman yang mesti diterima si lelaki kebanyakan lebih ringan dibanding yang harus dijalani sang perempuan. Saat seorang lelaki ketahuan menghamili perempuan di luar mikah misalnya. Meski akhirnya dia menikahi si perempuan, keluarganya harus membayar denda adat yang disertakan dengan mas kawin.

Bila lelaki yang menghamili itu melarikan diri alias tidak mau tanggung jawab, bencana besar ini dengan sendirinya mesti ditanggung si perempuan yang hamil beserta keluarganya. Untuk menutup aib ini, sang perempuan akan dikawinkan segera dengan lelaki yang bersedia. Biasanya yang mau menerimanya, pria tua alias kakek-kakek duda atau lelaki berkebutuhan khusus. Ini sekaligus menjadi hukuman bagi si perempuan karena sudah mempermalukan keluarga.

Kalau kehamilan perempuan itu disembunyikan dan kemudian ketahuan kepada masyarakat maka keluarga si perempuan dihukum secara adat dan perempuan yang hamil itu akan dipandang hina sekali di masyarakat. Bila lelaki yang menghamili lari, maka keluarganya harus membayar denda adat dan selanjutnya laki-laki itu bebas. Sanksi untuk laki-laki jauh lebih ringan dibanding yang harus ditanggung oleh perempuan.

Yang menanggung risiko bukan hanya perempuan yang hamil di luar nikah. Keluarga, anak bahkan cucunya pun kelak ikut menanggung malu. Anak itu akan diejek dan dihina sebagai anak haram, yang dilahirkan perempuan yang tidak baik.

Simbol kehormatan
Dalam budaya Nias, sama seperti suku bangsa lain yang menomorsatukan lelaki (patriarki), pada umumnya perempuan dianggap sebagai simbol kehormatan keluarga. Namun pengertian “kehormatan keluarga” ini maknanya cenderung sempit, lebih terkait dengan persoalan reproduksi.

Hamil di luar nikah, tidak bisa menghasilkan keturunan, sering gonta-ganti pacar, menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) meski terpaksa karena desakan ekonomi dianggap sebagai perilaku yang tidak pantas bagi perempuan dan membawa aib bagi keluarga. Bagi laki-laki hukuman dan risiko selalu lebih ringan.

Dalam banyak budaya, lelaki yang tidak memiliki keturunan dalam waktu lama biasanya akan mengambil isteri baru. Ini karena perempuan yang sering dianggap penyebab masalahnya. Bahkan lelaki yang sering gonta-ganti pasangan dianggap sebagai hal biasa. Malah ada yang menganggapnya sebagai jagoan. Demikian juga dengan lelaki yang gemar ke tempat pelacuran. Dianggap sebagai hal yang lumrah.

Pro dan Kontra
Cukup seru perbincangan yang terjadi antara peserta pelatihan di Rumah Pembinaan Rohani Laverna. Sebagian masih menganggap bahwa hukuman-hukuman yang ditimpakan pada perempuan akibat tindakannya (hamil di luar nikah) pantas diberikan. “Wajar saja perempuan begitu dikawinkan dengan kakek-kakek atau orang cacat. Siapa juga nanti yang mau kawin dengan dia?”ujar salah satu peserta dari Paroki Hati Kudus Yesus Telukdalam, Ina Wellson Giawa.

Namun cukup banyak peserta yang sadar bahwa hukuman adat demikian sangat tidak adil bagi perempuan. Kami mencoba memahami lebih kritis bagaimana perempuan yang sudah menderita akibat hamil di luar nikah dan ditinggalkan pasangan masih harus menanggung berbagai macam hukuman adat dan sosial dari masyarakat.

Dinikahkan dengan kakek tua atau lelaki berkebutuhan khusus yang sama sekali tidak dikenal dan belum tentu mencintainya tentu menjadi hukuman dan penderitaan seumur hidup bagi perempuan itu. Bahkan anaknya pun kelak ikut menanggung sanksi. Haruskah hukuman sedemikian beratnya ditimpakan padanya?

Refleksi
Ke-20 peserta akhirnya mesti merenung dan menyadari bahwa sebagai warga Gereja kita harus membuat perubahan. Kita tidak hendak membenarkan perilaku hamil di luar nikah. Namun solusi yang dibuat hendaknya tidak mengandung bias gender dan sangat merugikan perempuan.

Tidak harus memasung si perempuan, keluarga dan anak yang dilahirkan hidup dalam aib dan cibiran masyarakat seumur hidup. Perempuan dan laki-laki yang terlanjur jatuh ke dalam masalah demikian seharusnya ditolong dan didampingi dengan prinsip cinta kasih agar mereka bisa menemukan jalan keluar secara bijaksana dan manusiawi.

Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Tuhan Maha Pengampun dan selalu memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, lalu mengapa kita demikian kejam menghakimi perempuan yang hamil di luar nikah dan anak yang dilahirkannya seakan mereka tidak boleh lagi memiliki masa depan yang cerah?

Komunitas adat perlu dibantu untuk memasukkan pertimbangan-pertimbangan cinta kasih dan upaya memberi masa depan yang baik bagi pasangan itu. Selanjutnya, salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah dengan menolong agar perempuan hamil di luar nikah dan pasangannya tidak lagi mendapat hukuman berlipat ganda dari adat dan masyarakat. Orang yang sudah jatuh, jangan lagi kita aniaya dengan menimpakan tangga berkali-kali ke punggung mereka.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here