Kisah Miskinnya Romo Liem Tjay: Kecil Jualan Bakpao Balong, Besar Jualan Firman Tuhan (3)

0
657 views
Ilustrasi: Aneka jajanan pasar khas Solo yang dibawa para bakul dengan tenongan di punggung. (Ist)

BAKPAO dan Koko. Dalam bahasa Hokkian, koko berarti kakak laki-laki. Jadi, koko sebutan kakak dalam keluarga Cina Hokkian. 

Namun ada “koko” yang lain. Salah satu buah persahabatan yang lahir dari “bakpao” adalah Koko.

Koko ini adalah teman akrab. Menjadi sahabat Liem Tjay sejak kami bersama-sama tinggal di asrama Seminari Mertoyudan.

Nama asli Koko adalah Windyatmoko. Biasa dipanggil Koko. Kini, ia adalah imam Kongregasi MSF. Sering menerbitkan banyak karikatur lucu-lucu di Majalah Hidup.

Koko berasal dari Dusun Sengkan. Tidak jauh dari Pasar Kolombo di Jl. Kaliurang, Yogya. Ia adalah orang Jawa tulen. Kental dari desa.

Bakpao Solo telah melahirkan persahabatan antara seorang Cina tulen (Liem Tjay) dan seorang Jawa (Koko). Semua ini berawal dari pemberian bakpao dari Liem Tjay ke Koko di seminari.

Mamanya berkunjung ke Sengkan

Setiap kali ada liburan, Liem Tjay berkunjung dan bermalam di rumah Koko di Dusun Sengkan. Di samping itu, Liem Tjay juga belajar Bahasa Jawa halus. Bapak Anton Mulyono dan ibunya Koko menjadi guru Bahasa Jawa bagi Liem Tjay.

Suatu ketika ada liburan panjang, Liem Tjay mengajak mamanya yang sudah menjanda berkunjung ke Sengkan. Mamanya terlebih dahulu membuat bakpao dan matjikue untuk oleh-oleh bagi keluarga Koko.

Romo Koko Windyatmoko MSF, kartunis Majalah Hidup. (Ist)

Perjalanan panjang dari Solo ke Dusun Sengkan di Yogya dimulai dari naik colt station omprengan. Kendaraan colt station adalah angkutan umum tingkat menengah ke bawah yang lumayan laju, ongkos murah. Tapi juga kadang tidak menentu waktunya. Karena colt station suka rajin berhenti di sepanjang jalan untuk mencari penumpang.

Liem Tjay dan mamanya berhenti di Jembatan Gondomanan di tengah kota Yogya. Lalu jalan menuju ke Terminal Terban. LiemTjay dan mamanya lalu naik Bus Baker jurusan Yogya ke Kaliurang.

Bus Baker adalah perusahaan otobus tua zaman dulu sebagai angkutan umum. Bus Baker menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Yogya. Karena wong kecil –para bakul– bisa duduk nyaman bila ikut Bus Baker pergi dan tiba sampai ke tujuan.

Liem Tjay dan mamanya berhenti di Pasar Kolombo. Pak Anton dan Koko sudah menunggu lama di Pasar kolombo. Pak Anton Mulyono membawa Vespa tua dan Koko bawa sepeda onthel.

Pak Anton memboncengkan mamanya. Liem Tjay ikut Koko naik sepeda menuju Dusun Sengkan.

Di depan rumah gaya Jawa, Bu Mul dan saudara-saudara Koko sudah menunggu. Suasana desa sangat kental: keramahan dalam menerima yang datang, bunyi suara daun-daun yang tertiup angin, pohon-pohon rindang dan tinggi seperti durian, nangka, rambutan, bambu. Semuanya itu telah menambah keteduhan dan ketenangan keluarga koko.

Mama bertemu dengan simbok di rumah desa. Mamanya mengeluarkan bakpao dan matjikue sambil berkata: ”Ini oleh-oleh saking Solo, ndamel piyambak, lha sadeane mung kados makaten, mangga..” (Ini oleh-oleh dari Solo, buatan sendiri, hanya itu saja jualannya, silahkan).

Simboknya Koko juga membalas dengan santun: ”Mama e Ceti ki kok malah repot repot… Matur nuwun loh… Niki enten jatah lan tempe bacem.. Enten gudeg. Wau Koko ingkang numbasaken… Lah mangga dipun dhahar.”

Bahasa Jawa menjadi bahasa ibu yang membuka komunikasi Mama Liem Tjay dan Simbok Koko.

Mama Liem Tjay sudah terbiasa dengan Bahasa Jawa di Pasar Gede Solo dan Kampung Kepanjen. Karena Bahasa Jawa ngoko dan halus waktu itu sudah menjadi alat komunikasi dalam pergaulan dan hidup bersama di masyarakat.

Maka, Mama dan simbok di rumah ndeso Sengkan berjumpa dalam keakraban, persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan Bahasa Jawa, mereka berdua tenggelam dalam cerita dan kisah ungkapan hati seorang ibu yang memiliki anaknya sebagai calon romo.

Sementara itu Liem Tjay dan Koko asyiik bercerita duduk di encak, bangku terbuat dari bambu, sambil menikmati bakpao dan wedang teh kental. Sekali-kali, Koko mengajak Liem Tjay ke sungai melewati kebun.

Ada pohon durian, nangka, rambutan, mangga, kelapa, bambu di kebun. Liem Tjay orang Solo, Cina asal Balong, merasa sangat senang dan krasan. Bisa bermain di sungai dan di kebun sambil menunggu jatuhnya buah durian matang.

Liem Tjay saat menjadi penjaja bakpao.

Liem Tjay menjadi imam

Liem Tjay bukan lagi ikut buat bakpao, penjaja, menawarkan bakpao Balong, untuk cari uang bantu mamanya. Liem Tjay sekarang adalah imam yang mengatakan sambil memperlihatkan kepada umat: “Inilah Yesus Roti Kehidupan” dalam ekaristi.

Liem Tjay sebagai imam bukan menawarkan, menjajakan, membawa “Roti Kehidupan”. Tetapi justru menjadi pelaku. Yang menerima kuasa dari Tahbisan Imamat dengan mengatakan: ”Inilah Tubuh-Ku, Inilah darah-Ku”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here