
SEBETULNYA, hampir empat tahun bekerja di TimTim, saya sudah sangat enjoy. Betapa tidak, gaji besar dan utuh pula. Semua kebutuhan dipenuhi perusahaan. Termasuk dua kali pakansi setiap tahun ke Jakarta: Paska dan Natal Tahun Baru.
Akan tetapi lain halnya di mata ibu. Beliau selalu dihantui kekhawatiran soal keamananku. Jadi “korban” berita rupanya. Begitu rupa, sehingga suatu hari, ia sampai jatuh ke selokan di depan rumah ketika sedang menyapu halaman. Kakinya patah.
Mendengar itu, saya jadi kasihan. Jadi overthinking malahan: Jangan-jangan, gegara saya, ibuku jadi tak panjang umur. Maka, kuputuskanlah untuk kembali ke Jakarta. Depok, persisnya.
Kebetulan itu waktu (1986) ada lowongan kerja di Harian Suara Karya. Kebetulan pula, saya senang menulis.
Salah satu yang disyaratkan, harus menyertakan karya tulis terbaru. Maka kubuatlah itu selama penerbangan Dili-Jakarta. Judulnya aku masih ingat: Loro Tapi Sae. Mengisahkan tentang seorang gadis blasteran Timor-Porto yang sempat singgah di hatiku.
Singkat cerita, mulailah lembaran baru dalam perjalanan hidup di dunia: jadi kuli tinta. Begitu surat resmi kuterima, pulang ya kulangsung bergegas ngibrit ke Gereja Santa Maria Paroki Blok Q Jakarta Selatan yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Jalan Bangka Raya, kantor redaksi suratkabar tempat kerjaku yang baru.
Sekadar untuk bersyukur.
Eling B’Ning
Baca juga: Kisah nyata keajaiban Rosario: Di Baucau, Timor Timor, bisa maknyess…(5)