Kita, Manusia yang Sedang Belajar Mencinta

2
2,006 views

[media-credit name=”notebookoflove” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]SAYA yakin Anda pasti pernah puas saat seseorang yang telah Anda tolong merasakan juga manfaat bantuan Anda. Dengan kata lain, Anda sangat bahagia ketika seseorang merasakan juga kebahagiaan atas pertolongan Anda.
Mungkin itulah alasannya kenapa banyak orang melakukan hal-hal serupa meski kadang-kadang pertolongannya hanya bisa membantu seseorang dalam satu periode waktu saja.

Ambil saja contoh ketika Anda memberikan uang seribu rupiah atau bisa jadi hanya dua ratus rupiah kepada anak-anak yang kerap menyadongkan tangan minta-minta di perempatan dekat pemakaman umum karet bivak, Jakarta selatan. Setelah itu, tentu saja uang yang Anda berikan bakal habis dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Alasan yang sama kemungkinan besar juga bisa kita temui ketika banyak orang berlomba memberi bantuan saat bencana besar melanda di negeri kita.

Meski kerap banyak juga diselipi motif-motif lain yang tidak begitu murni, pada dasarnya membiasakan diri memberikan sedekah atau bantuan dan berbuat baik kepada siapa saja merupakan bagian hidup kita. Bahkan ini sudah menjadi kebutuhan.

Tentu saja, hal ini positif, dan tidak ada salahnya dengan bersikap demikian.

Sifat pengasih
Dalam sebuah wawancara dengan seorang psikiater dari Phoenix, Amerika Serikat bernama Howard C. Cutler MD, tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama menuturkan, sifat pengasih secara kasar dapat didefinisikan sebagai sikap mental yang tidak mengandung kekerasan, tidak mengandung bahaya dan tidak agresif.

Sikap mental ini, lanjut Dalai Lama, didasarkan pada keinginan agar orang lain dibebaskan dari penderitaan mereka dan dikaitkan dengan suatu rasa komitmen, tanggung jawab dan hormat kepada orang lain.

Namun, ketika kita bicara mengenai sifat pengasih ini, kerap ada bahaya mencampuradukkan sifat pengasih ini dengan keterikatan. Menurut Dalai Lamai, bila kita bicara tentang sifat pengasih, kita harus bedakan antara dua macam cinta atau rasa kasihan.

Ada sikap kasih yang diwarnai dengan keterikatan atau pamrih entah itu ingin dikenal sebagai orang baik, bingung mencari cara bagaimana menghabiskan uang, atau alasan tanggung jawab moral, merasa sebagai kewajiban, keinginan untuk mengendalikan seseorang atau menyayangi seseorang agar orang itu balas menyayangi kita.

Kasih seperti inilah yang tidak utuh dan melenceng dari makna sejati. “Relasi yang didasarkan pada kasih seperti ini tidak akan stabil dan akan menjurus pada keterikatan emosional. Begitu ada perubahan sedikit, rasa kasih itu akan menguap,” jelas Dalai Lama.

Kasih sejati, itu bebas dari keterikatan. Kasih semacam ini tidak didasarkan pada kenyataan bahwa orang ini atau orang itu baik kepada saya. Kasih seperti ini didasarkan pada pola pikir bahwa semua orang mempunyai hasrat bawaan untuk bahagia dan mengatasi penderitaannya, seperti saya sendiri, kata Dalai Lama.

“Jadi, kasih sejati tidak peduli apakah orang lain yang kita tolong itu teman atau musuh,” jelas pria yang mesti mengungsi ke India akibat dimusuhi Pemerintah Cina.

Perlu upaya
Dalam sebuah perkawinan, misalnya, unsur keterikatan emosional memang ada. Tetapi jika unsur kasih sejati dikembangkan yang didasarkan pada sikap saling hormat sebagai sesama manusia, perkawinan berpeluang untuk langgeng. Sebaliknya bila keterikatan emosional itu tidak diiringi dengan kasih sejati, perkawinan tidak akan menetap dan cenderung mudah berakhir.

Dengan lain kata, untuk bisa berbuat baik, melakukan tindakan kasih, perlu ada upaya. Tidak setiap orang bisa dengan mudah melakukannya. Perlu pembiasaan diri. Itu artinya mencintai pun perlu dibiasakan. “Kita ini manusia yang sedang belajar mencinta,” jelas Dalai Lama.

Hanya Tuhanlah yang satu-satunya bisa mengatakan aku mencintaimu. Artinya kita hanya layak mengatakan aku sedang belajar mencintaimu. Sekarang tinggal keputusan kita, mau mengembangkannya atau tidak.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here